Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #38

Chapter #38 Dukaku dan Duka Dunia

 

Kepergian kak Aisyah, untuk selama-lamanya menyisakan duka yang teramat dalam terutama untuk gus Farhan. Sebegitu besar cintanya kepada wanita yang menamaninya selama kurun waktu 8 tahun. Banyak tamu yang berdatangan untuk takziah. Sebagian menyapaku dengan ramah menyampaikan belasungkawa. Namun ada pula yang menatapku sinis dan dingin, aku paham, posisiku di sini sebagai istri ke dua. Ada banyak stigma negataif akan hal itu. apa pun statmen mereka aku terima dengan ikhlas. Hanya Allah yang tahu apa yang tersurat dan tersirat di hati ini.

Aku duduk terpaku dalam ruangan rumah yang masih menyisakan harum dupa, lepas pemakaman kak Aisyah. Ada sesal dalam hati perhal rasa yang sempat tumbuh. Rasa cemburu yang tidak seharusnya ada, untuk wanita solehah sebaik kak Aisyah. Aku benar-benar meyesali sikapku di hari-hari terakhirnya. Walau bagaimana pun, keikhlasan dan ketulusan hati kak Aisyahlah yang membuat aku berada di sini. Di sisi gus Farhan sebagai istrinya.

Kini dia telah pergi untuk selamanya, apakah aku harus bahagia dengan keadaan sekrang? Kepergiannya menjadikan aku satu-satunya wanita dalam kehidupan gus Frahan, apakah hal itu yang sebenarnya aku inginkan jauh di lubuk hatiku sebagai seorang wanita. Kupejamkan mata, berkali kuucapkan kalimat istigfar. Memohon ampunan atas rasa yang seharusnya tidak kupupuk dalam hati ini.

“Fatimah,” suara gus Farhan, lembut seraya menyentuh punggungku. Aku berbalik dan menghamburkan diri ke dalam pelukannya. “Maafkan aku Gus,” ucapku lirih.

“Aku yang meminta maaf, tidak seharusnya aku berlaku seperti itu terhadapmu,” ucapnya seraya mengecup pucuk kepalaku. “Rasa takut kehilangan membuatku hilang akal, mengikuti ego dan emosi yang tidak seharusnya. Maafkan aku,” lanjutnya.

Belum lagi hilang duka dalam hati atas kepergian kak Aisyah, kabar duka kembali kami terima. Kak Haikal, memberi kabar atas meninggalnya kiayi Abdullah dan di susul umi Maryam, setelah mengalami sakit beberapa hari di sana. Menurut kak Haikal, perubahan cuaca yang ekstreem membuat daya tahan tubuh lansia mereka semakin drop.

Seakan di tikam dan di tenggelamkan diam-diam oleh keadaan. Suaraku tercekat di tenggorokan, bahkan air mata mengalir tanpa permisi. Perlahan sekakan tak menerima kenyataan. Tapi semua sudah di gariskan.

Tangisku semakin menderas, sebagai ungkapan hati yang teramat menjeruji. Semua berlalu begitu cepat. Ponsel dalam genggamanku terlepas dan aku tertunduk lemas dalam simpuh di atas lantai.

Hingga gus Farhan, mengahmpiriku. “Apa yang terjadi? Telpon dari siapa?” tanyanya seraya mengambil ponselku yang terjatuh dan meletakkan dalam pangkuanku.

Kusampaikan berita yang disampaikan kak Haikal, di tengah isak tangisku yang tak dapat terbendung. “Aku telah kehilangan semuanya, Allah, telah mengambil semua yang ada dalam hidupku.”

Lihat selengkapnya