Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #39

Chapter #39 Menjadi Pimpinan Pondok Pesantren.

 

 

Terik sinar matahari tak menyurutkan niatku untuk pergi ke pesantren Kiayi Abdullah, selepas memebrikan kajian di pensantren Gus Farhan, Sejak tadi aku mengubuunginya. Namun, belum juga tersambung. Kukirim pesan Whatssap untuk memberitahu jika aku sudah jalan menuju pesantren Kiayi Abdullah, tak lupa kupinta agar ia menysulku kesanan, karena hari sudah semakin siang dan sebentar lagi menjelang sore.

Setelah kurang lebih 2-3 jam perjalanan, taksi online yang membawaku memasuki gerbang pesantren. Kulihat Kak Haikal, sudah menungguku di teras rumah.

“Assalamualaikum, Kak,” ucapku, seraya menangkupkan kedua tangan di dada, karena sedekat apa pun aku dan Kak Haikal, tetap saja kami bukanlah muhrim yang halal untuk bersentuhan meski hanya sekedar berjabat tangan.

Kak Haikal menjawab salamku, dan mengatakan jika Kak Adibba, istrinya tidak bisa ikut karena sedang hamil besar. Aku begitu bahagia mendengar kabar tersebut.

 “Di mana suamimu? Kenapa tidak ikut?”

“Gus Farhan, sedang ada ceramah. Tapi sudah kukabari agar ia menyusulku ke sini.”

Baru saja aku menjawab pertanyaan Kak Haikal, mobil berwarna putih memasuki halaman. “Nah! Itu Gus Farhan!” Kataku setengah terkejut di sambung suara Kak Haikal yang terkekeh kecil.

Setelah kedatangan Gus Farhan, kami berpindah tempat. Gazebo menjadi pilihan kami bertiga berbicara. Sudah lama sekali aku tidak pernah merasakan sapaan angin di gazebo yang dulu menjadi tempa favoritku ini.

“Sebenarnya ada hal penting yang ingin saya sampaikan kepada kalian, prihal pondok pesantren ini.” Pembicaraan Kak Haikal, terlihat serius tidak seperti biasanya.

“Saya dan Adibba, akan menetap di Tareem. Di tambah Abah dan Umi, pun di makamkan di Timur Tengah, jadi saya merasa lebih dekat jika tinggal di sana....” Kalimat ucapannya terjeda. Ada kabut mendung yang berusaha di tahan agar mata itu tidak kembali basah. Kak Haikal memandang setiap sudut Pesantren.

“Selama beberapa bulan saya melihat laporan aktivitas berjalan dengan baik di bawah komando Fatimah,” lanjutnya sambil melihat ke arahku. Aku hanya mengangguk pelan mengiyakan ucapannya.

“Jadi saya ingin mewakafkan, pondok ini untuk di lanjutkan cambuk kepemimpinannya kepada Fatimah,” ucapnya kembali. Aku terhenyak. Keningku berkerut.

“Kak, pesantren ini di bangun oleh Abah dan Umi, itu untuk kak Haikal, bukan orang lain!” seruku setengah tidak setuju.

“Fatimah, kita hanya bisa berencana, tapi Allah juga yang akan menentukan segalanya. Semua itu rencana Umi dan Abah, aku tau, makanya pondok pesantren ini belum di beri nama, karena mereka menunggu aku yang memutuskan. Tapi…, saat ini kondisinya sudah berbeda,” tuturnya.

Kutarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Tiba-tiba air mataku keluar tanpa permisi, entah mengapa aku merasakan kehadiran Umi Maryam, dia yang selalu ada di sampingku jika aku membutuhkan dukungannya, genggaman tangannya, senyumnya yang selalu membuatku merasa tenang.

“Aku tidak bisa menerimanya, Kak, aku bukan siapa-siapa. Mungkin ada sanak familiy yang bisa Kakak kasih amanah ini,” ucapku tertunduk.

“Abah dan Umi, sudah menganggapmu sebagai putrinya, aku yakin aku tidak salah memilih orang untuk meneruskan pondok ini,” ucapnya sambil memandang aku dan Gus Farhan, secara bergantian.

“Gus, apa antum tidak bisa bantu aku membujuk istrimu yang sedikit keras kepala ini.” Kak Haikal berucap seraya tersenyum.

Lihat selengkapnya