Waktu berjalan begitu cepat. Tidak terasa usia kandunganku sudah menginjak 5 bulan, tidak lagi kurasakan mual di setiap paginya. Gus Farhan memperlakukanku bak ratu di rumah ini, bahkan untuk sekedar pergi mengajar pun tidak di perbolehkan jika aku tidak bersikeras menolaknya.
Entah apa yang membuat Gus Farhan, terlihat gelisah malam ini. sejak sore tadi pembawaannya tak tenang.
“Gus, ada apa?” Tanyaku saat ia sibuk membolak-bailkan buku dalam genggamannya.
“Besok ada jadwal safarai dakwah ke luar kota,” ucapnya pelan.
“Gus, akan pergi?” Aku menyentuh lengannya.
“Sepertinya, tidak ada yang mau membadalkan (Menggantikan) aku cermah di sana.”
“Di musim pandemi seperti ini, apa tidak sebaiknya di cansel saja,” saranku, seraya menatap wajah gelisahnya.
“Tidak bisa, karena semua sudah di jadwalkan beberapa bulan lalu, pasti banyak jamaah yang kecewa jika di batalkan.”
“Kalau begitu istirahat malam ini, biar kondisi Gus, fress saat pegi besok,” ucapku. Kami pun beranjak ke kamar, seperti biasa kubuatkan susu dan air putih hangat, lalu membawanya ke kamar. Gus Farhan hanya meminum air putih, sementara susu di biarkan hingga dingin.
Subuh ini Gus Farhan, bangun terlebih dahulu, sendiri ia menyiapkan beberapa helai gamis dan surban yang akan ia kenakan di tempat acara nanti. Semenjak aku hamil besar ada banyak pekerjaan yang di ambil alih oleh suamiku, bahkan pekerjaan yang aku anggap ringan sekali pun.
“Selama aku pergi, kamu tidak boleh kemana-mana. Aktivitas cukup di pondok ini saja. Jangan lupa minum vitamin dan gunakan masker jika keluar rumah. Untuk aktivitas di pondok Kiayi Abdullah, lakukan secara daring,” ucapnya seraya mengemas baju-baju ke dalam koper.
Aku hanya diam, jujur berat rasanya melepas kepergian Gus Farhan, kali ini. Entah mengapa, mungkin karena saat ini kondisi di setiap daerah sedang tidak baik-baik saja. Sejak merebaknya virus covid, seolah kami sedang berperang dengan musuh yang tak nyata.
Kulepas kepergian Gus Farhan, dengan doa dan kekhawatiran. “Ya Allah…, lindungi suamiku dari segala ancaman, bahaya dan juga penyakit. Hanya Engkau sang maha melindungi.” Doaku dalam hati, menatap kepergian suamiku hingga mobil yang di tumpanginya menghilang di balik gerbang.
Hingga siang Gus Farhan, belum mengabariku, mungkin masih terlalu sibuk. Kuambil wudhu dan membaca Alquran untuk menghilangkan rasa gelisah.
Notif pesan Whatspp berbunyi di posel yang sengaja kusimpan di sisi tempat tidur. Gus Farhan, mengirim pesan jika ia sudah tiba satu jam lalu. Namun, belum bisa menelpon. Acara ceramah pun di kansel, terkait surat izin keramaian. Aku sedikit lebih tenang.