Perjalanan Menggapai Ridha sang Illahi

Violet Senja
Chapter #43

Chapter #43 Semanis Puding Kurma Bertabur Kismis

 

Tangis merdu Khodzen Adnan Sayuki, bayi mungil yang biasa aku panggil Kenan. Putra kebanggan yang mampu berjuang demi kebahagiaanku sebagai bundanya. Menjadi penghibur laraku dalam mengisi hari-hari dalam masa iddah yang aku jalani selama 130 hari, terhitung sejak wafatnya Gus Farhan.

“Salam…, kesayangan Umma dan Abi, kenapa nangis? Popoknya basah ya?” Ujarku dengan senyum bahagia di hadapan malaikat kecilku, seraya meraba popok yang di kenakan.

“Assalamualaikum,” suara salam terdengar dari arah pintu utama.

“Waalaikumssalam,” jawabku seraya mengendong Kenan.

“Umi, ada tamu yang ingin bertemu,” ucap Farah, salah satu santri yang sudah lulus dan sedang menjalani masa pengabdian di pondok.

“Siapa?” Farah, menggeleng pelan.

“Laki-laki,” jawabnya terlihat canggung.

“Minta tamu itu untuk menunggu Umi, di kator yayasan, setelah itu kamu kembali ke sini untuk menemani Kenan.” Tidak baik rasanya aku menerima tamu laki-laki di rumah, sementara aku masih menjalani masa iddah.

Setibanya aku di kantor yayasan, masih ada beberapa ustad san ustadzah di sana, mereka masih melakukan aktivitas administrasi pondok.

Kulhat sosok yang tak asing sedang duduk memainkan ponsel di tangannya. Aku mengernyitkan kening sesaat melihat keberadaannya di sini, untuk apa?

“Assalamualaikum…, Iqbal?” sapaku setelah berada di dekatnya.

“Walaikumssalam…, Fatimah, bagaimana kabar Kenan?” Perhatian kecil lewat ucapan sapanya terhadap putraku membuatku tersenyum, seraya menjawab pertanyaannya prihal kondisi Kenan.

“Ada hal apa yang membawamu kesini?” Tanyaku langsung.

Iqbal, terdiam sesaat, mungkin karena ada orang lain selain aku dan dia dalam ruangan ini, hal itu membuatnya sedikit canggung.

“Tidak apa, mereka ustad dan ustadzah di pondok ini, aku rasa akan lebih baik jika kita berbicara tidak hanya berdua saja,” ucapku menangkap keraguan Iqbal.

“Ada yang ingin aku bicarakan,” ucapannya terhenti.

“Prihal apa?”

Ia menyodorkan ponsel ke arahku, meminta kau memutar sebuah suara rekaman yang ada di dalamnya. Suara itu membuatku tercengang, suara rekaman Gus Farhan, saat di Rumah Sakit.

Iqbal, maukah kamu berjanji untuk menerima amanatku? Aku mohon jika aku kalah dalam melawan virus ini, jika Allah memanggilku ke haribaan-Nya. Aku titip anak dan istriku. Menikahlah dengannya, aku tau kamu sangat mencintainya,” suara itu terjeda beberapa detik.

Teruskan perjuanganku mendampingi Fatimah, hanya kamu orang yang tepat. Jangan biarkan dia berjuang sendiri, beban di pundaknya akan sangat berat setelah kepergianku,” lanjut suara Gus Farhan. Suara yang begitu kurindukan.

Lihat selengkapnya