Perjalanan Ranum

Faiqotun Nafiah
Chapter #3

Ranum - 3

"Cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Ketika seorang anak perempuan ditinggalkan sang ayah untuk selamanya, ketika itulah dia akan merasakan dunia begitu kejam padanya."

🌸

Aku tidak pernah membayangkan jika aku akan berpisah dengan ayahku secepat ini. Siapa yang menyangka sakit yang diderita ayahku membuatnya tak sanggup bertahan dan memilih untuk berpulang. Hanya lima belas tahun, rasanya sangat sebentar waktu yang kumiliki dengan beliau. Andai bisa mengulang waktu, aku tidak akan membiarkannya merasakan kesedihan dalam hidupnya.

Ayahku berpulang di usia lima puluh empat tahun. Masih sangat muda bukan? Aku tidak percaya jika saat itu aku ditinggalkan ayah tanpa sepatah kata pun. Tidak ada pesan terakhir untukku. Kata ibuku, ayah pergi membawa banyak cinta. Aku tidak perlu khawatir, karena beliau sudah pasti akan bahagia.

Empat tahun berlalu, rasanya sulit sekali mengikhlaskan ayah pergi. Setiap kali ingat kenangan bersamanya, aku tidak bisa berhenti menangis. Dulu - jauh sebelum merantau - ibuku yang selalu menenangkanku setiap aku merindukan ayah. Tanpa berucap pun, ibu sudah tahu apa yang kurasakan. Sakit hati yang tak akan pernah hilang selama aku masih diberi penghidupan. Tidak ada yang bisa mengobati dan menyembuhkan lukanya. Aku pernah berpikir untuk menyusul ayahku ke dunianya. Tapi melihat ibu yang semakin menua, aku mengurungkan niatku.

Saat masih sehat, ayahku selalu mengatakan hal-hal baik padaku. Hal-hal buruk yang dialaminya, cukup beliau sendiri yang tahu, katanya. Ayah adalah orang baik dan terbaik di dunia. Meski dulu hidupnya kelam, ayah sangat beryukur bisa berakhir dalam keadaan baik. "Kehidupan itu berputar, tidak mungkin selamanya orang akan menjadi buruk. Pun sebaliknya, tidak mungkin selamanya orang akan menjadi baik. Tapi kalau bisa, kita harus berakhir dalam keadaan baik. Bagaimana pun masa lalunya, bukankah manusia hidup di dunia yang dicari adalah kebaikan? - Ayah saat bersantai denganku di sore hari.

Ayah mengajarkanku banyak hal. Sifat-sifat nabi yang sedikit orang bisa melakukan, ayah mampu menanamkan di akhir hidupnya. Selama hidup, ayah tidak pernah merugikan orang lain. Ayah selalu berusaha untuk menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain. Hampir setiap hari beliau memberikan nasihat padaku dan ibu. Bahwa kami harus bisa dan selalu ikhlas menerima setiap keadaan yang diberikan Tuhan. Ketika disakiti, ayah memang tidak pernah membalas sendiri. Beliau hanya berkata jika suatu saat dia yang menyakiti pasti akan mendapat balasan dari Tuhan. Bagi beliau, berdoa baik adalah satu-satunya cara terbaik untuk membalas kejahatan seseorang.

Tapi aku tak bisa menjadi seperti ayah. Aku terlalu emosional dalam menyikapi sesuatu. Apalagi jika itu menyakiti perasaanku. Aku tidak bisa jika harus bersikap lembut pada orang yang jahat. Orang-orang seperti itu terlalu beruntung jika hanya diperlakukan baik. Mereka hanya akan semakin semena-mena pada orang yang selalu diam ketika dijahili. Aku benci jika harus kalah dari orang lain. Maka dari itu, aku selalu membalas seperti apa yang mereka lakukan padaku.

Ayah dan ibuku adalah orang yang begitu sabar, lembut, dan bijaksana. Entah kenapa, sifat-sifat beliau tidak menurun padaku. Banyak sekali orang yang bilang kalau aku ini tidak sopan. Tidak seperti ayah dan ibuku. Aku ini orang yang bodo amat akan komentar orang. Bagiku, asal aku tidak mengganggu dan merugikan orang, aku akan melakukan apapun sesuai keinginanku.

🌸

Setiap kali duduk berdua, ayahku selalu memberikan nasihat-nasihat baiknya. Aku ingat setiap kata yang beliau sampaikan. Dibandingkan ibu, aku memang lebih dekat dengan ayah. Oleh karena itu, aku ingin sekali hidup seperti ayah di detik-detik akhir hidupku nanti.

Sebelum ayah pergi, aku pernah pamit untuk merantau. Ayahku tidak pernah melarang keinginanku. Hanya karena saat itu aku masih sangat kecil, ayah mengizinkanku merantau setelah usiaku tujuh belas tahun. "Merantaulah, pergilah kemana pun kamu mau selagi masih muda dan bujang. Kamu harus menikmati hidupmu, Nduk. Bahagiakan dirimu dulu, sebelum kamu berusaha membahagiakan orang lain. Tapi, kewajibanmu saat ini adalah belajar, bukan bekerja. Kamu boleh pergi setelah usiamu lebih dari tujuh belas. Dan berjanjilah, bahwa kamu akan selalu bahagia. Dengan begitu, ayah dan ibumu juga pasti akan bahagia." - ayah ketika duduk di teras rumah bersamaku sambil menatap langit penuh bintang.

Sejak hari itu, aku semakin giat belajar. Agar di perantauan kelak aku semakin bisa diandalkan. Ayah dan ibu tidak pernah menuntutku jadi anak yang pintar. Aku saja yang ingin bersaing dan mendapat gelar. Aku selalu berambisi membuat ayah dan ibu bangga padaku. Tapi ternyata, ayah tak sempat merasakan apa yang aku perjuangkan. "Ayah bilang aku harus berjuang demi bahagiaku agar Ayah dan Ibu juga bahagia. Tapi kenapa Ayah malah pergi sebelum aku bisa mewujudkan itu? Ayah, aku berjanji pada Ayah. Aku akan menjaga dan selalu membuat Ibu bahagia. Ayah tak perlu khawatir lagi pada kami. Bahagialah di surga bersama Tuhan ya, Ayah." - aku yang tak berhenti menangis sesaat setelah tubuh ayahku tertutup tanah sepenuhnya.

Lihat selengkapnya