Ada sebuah konsep cinta yang diperkenalkan oleh seorang rabi bernama Abraham Twerski sebagai the fish love, cinta ikan. Saya akan menjelaskan konsep ini perlahan-lahan.
Suatu hari seorang pemuda didatangi orang tua yang bijaksana. Pemuda itu sedang lahap memakan ikan panggang di hadapannya.
“Mengapa kau memakan ikan itu?” tanya orang tua yang bijaksana tadi.
“Karena aku cinta ikan,” jawab pemuda itu.
Barangkali kalimat “karena aku cinta ikan” terasa agak janggal karena kalimat aslinya, “because I love fish”, diterjemahkan begitu saja ke dalam bahasa Indonesia. Kita biasa menggunakan kata suka (like) dibanding cinta (love) untuk mengungkapkan ketertarikan kita pada jenis makanan tertentu. Namun, di sini kita akan pakai terjemahan ini apa adanya untuk mendapatkan pemahaman yang sama tentang “fish love” yang disampaikan Twerski.
“Nggak. Kamu nggak cinta ikan!” sergah orang tua tadi.
Sambil mendelik, pemuda itu menaruh ikannya dan menatap kepada orang tua tadi—semacam meminta konfirmasi.
Orang tua bijaksana tadi menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu nggak cinta ikan, kamu mencintai dirimu sendiri,” lanjutnya, “kalau kamu mencintai ikan itu, kamu tak mungkin mengambilnya dari air tempat ikan itu hidup, membunuhnya, membakarnya, lalu menggigitnya untuk kamu makan.”