Perjalanan Rhu

Senjanila
Chapter #10

Saksi

“Jangan menggoda wanita di kantor polisi!” teriak seseorang.

Rhu menoleh pada sosoknya. Seorang polisi lain, tak terlalu tua. Dia terlihat memakai tanda pangkat yang berbeda, sepertinya punya jabatan yang tinggi. Tubuhnya tinggi-tegap, berwibawa. 

“Hanya bercanda, Pak,” ujar polisi yang menggoda Rhu sembari membungkukkan badannya.

“Jika ada perlu, daftar dulu ke pos penjaga,” ujar polisi itu sambil berjalan berlalu.

Rhu merasa ada harapan. Ia lalu memberanikan diri untuk mengejarnya.

“Pak.. aku ingin bertemu temanku yang baru ditahan, tapi mereka malah meminta uang padaku,” ujar Rhu.

“Hah? minta bertemu dengan tahanan. Itu juga ada aturannya, memang kau siapa? pengacaranya?”

Rhu terdiam mendengarnya.

“Ada jadwal besuk tahanan. Lihatlah di papan pengumuman sana. Temanmu baru ditahan? Ia harus diperiksa lebih dahulu dan tak bisa dibesuk. Datanglah lagi besok jika mau.”

….

….

Rhu terdiam di dalam motel. Duduk di atas kasur dengan lesu. Menatap ke arah jendela—tatapan kosong.

“Setidaknya aku harus bertemu dengan Arthur lebih dulu sebelum pulang.. aku harus menemuinya.”

Malam itu ia tak bisa tidur. Sesekali menangis memikirkan nasib Arthur. Ia menangis karena tak bisa menolong. 

Dari balik kaca jendela yang sudah buram, bulan purnama terlihat samar. Wajah tak mulusnya terlihat lebih kusam. Sementara itu asap pabrik terus mengepul namun kali ini dengan intensitas yang lebih rendah. 

“Kota laknat…” rutuk Rhu sambil berbaring di kasur. Meremas seprai yang bernoda. 

“Bangsat..” Rhu mengumpat untuk kesekian kalinya. Kata yang sebelumnya tak pernah ia ucapkan, kata yang sebelumnya hanya tersimpan dalam pikiran.

Keesokan harinya, seperti biasa—tak banyak berubah. Kota X penuh dengan udara kotor, sampah bau, manusia-manusia yang berpenyakit tapi tak terperiksa, manusia-manusia yang kebal, dan manusia yang suka berbuat kotor.

“Aku akan pulang nanti setelah membesuknya.” Rhu membereskan barang-barangnya. Tadi malam ada beberapa orang polisi yang datang ke motel itu dan memeriksa kamar Arthur. Mereka sudah mengambil barang-barang Arthur, tak ada yang tersisa.

Rhu belum sarapan saat sampai di kantor polisi itu. Ia bahkan tidak makan semalam. Kantor polisi itu berdiri kokoh dengan fasilitas yang di atas rata-rata bangunan yang ada di kota itu. Semuanya terkesan mewah, ada beberapa patung binatang buas berlapis emas di dalamnya. Rhu masih keheranan apa gunanya membuat kantor polisi yang mewah seperti itu.

“Aku ingin bertemu dengan Arthur, kemarin dia ditahan di sini.”

Polisi yang bertugas menerima tamu kemudian membuka buku yang berisi daftar tahanan di kantor polisi itu. Ia mencari nama Arthur.

“Arthur? dari kota Y? Ah dia sudah dipindahkan ke penjara lain, tidak di kantor polisi ini lagi,”

“Apa? Dimana itu? Penjara kota?” tanya Rhu yang kaget mendengarnya

“Bukan, penjara khusus, ada di pinggir kota, dekat Bukit Mati. Tadi malam ia dipindahkan..”

Rhu bingung. Ia tak bisa pergi sendirian ke tempat yang terlalu jauh. Tak ada yang dikenalnya di sana. 

Apa sebaiknya aku kembali ke kota Y, tapi ini seperti berkhianat… aku masih ingin menemuinya..

“Dia akan diadili di sini? Apa bisa meminta pertolongan dari kota Y?” tanya Rhu.

“Hahaha.. orang Y yang berbuat masalah di sini tidak ada urusan lagi dengan pemerintah kota Y. Begitu perjanjiannya, mereka menyerahkannya pada kami.. dan itu terserah kami. Kebanyakan kami hukum mati karena bukan warga kami.. hehehe..”

Tawa polisi itu menyambar telinga Rhu. Ia sejak awal tak berharap banyak, tapi tak menyangka pemerintah akan lepas tangan begitu saja.

“Itu tak adil, bagaimana bisa.. tanpa diadili dan dengan kejahatan yang ringan.”

Lihat selengkapnya