“Ada apa?!” tanya Rhu terkejut.
Seorang anak terlihat menangis, sedangkan ada anak lainnya yang pipinya merah.
“Kau menamparnya?” tanya Rhu pada seorang pemuda, Tama, salah satu pengajar di sana.
“Dia mengambil mainan temannya. Dia bilang tak mau berbagi dan bahkan memukul kepala temannya…”
“Dia memang begitu, selalu tak bisa berbagi dengan temannya,”
imbuh Agnes.
“Aku rasa dia autis!” ujar Tama.
Rhu tak suka mendengar Tama berteriak soal autis. Teriakan yang menyudutkan anak kecil yang masih belum mengerti. Apa benar dia autis? Jika ya, lalu mengapa penderita autis jadi seperti pendosa.
Rhu lalu menggandeng anak yang tadi ditampar. Anak yang dibilang autis itu. Ia membawa anak itu ke dalam kamar.
“Siapa namamu?” tanya Rhu.
Anak itu tak menatap matanya. Tapi ia menjawab pertanyaan Rhu, “
Namaku Rico..”
“Kau mau bu..”
Belum selesai bicara, anak itu buru-buru melepaskan pegangan tangan Rhu di lengannya. Ia lalu berlari keluar.
Agnes masuk ke dalam kamar.
“Dia pergi, mungkin pulang ke rumahnya. Tenanglah dia tak akan mengadu.. hanya tamparan itu biasa di sini. Banyak orang tua yang menampar anaknya untuk mendidik. Ya.. mungkin terdengar sedikit keras untuk orang Y."
Rhu menganguk saja mendengar penjelasan Agnes. Ia tak suka kekerasan, apalagi pada anak-anak. Di Y, anak-anak sangat dilindungi. Orang tua tidak boleh berbuat kasar dan memberi hukuman fisik pada anak-anaknya. Meski demikian ia sadar, hukuman non fisik pun kadang tak jauh lebih baik. Setiap tekanan memberikan dampak yang berbeda, dan tak bisa dipungkiri ia kadang berpikir lebih baik dipukul daripada dihina dengan kata-kata.
Siang itu masih ada satu sesi pelajaran sebelum anak-anak itu pulang. Ia mengenalkan dirinya. Banyak anak yang penasaran karena Rhu menyebutkan dirinya dari kota Y.
"Di sana sekolahnya bagus-bagus ya?" tanya seorang anak yang rambutnya keriting.
"Ya, bagus. Semua dibiayai pemerintah jadi gratis. Tapi belajar tak harus di tempat yang bagus, dimana saja bisa."
"Aku lihat di internet, sekolahnya bersih bertingkat, seragamnya keren tak seperti di sini.." ungkap anak yang memakai kacamata. Kacamata yang tebal.
"Kalian suka melihat kota Y?"
Anak-anak itu tak menjawab, terdiam.
Agnes lalu berbisik pada Rhu. "Di sini tak boleh memuji kota lain, apalagi kota Y."
"Ah.."
Rhu kemudian membagikan buku-buku anak yang ia bawa. Anak-anak itu tampak riang menerimanya, berebut mengambilnya dari Rhu. Sayangnya, hanya buku pendidikan anak yang bisa masuk ke kota X, buku jenis lain tak bisa seenaknya dibawa ke sana.
Setelah anak-anak itu pulang, Agnes ingin mengajak Rhu untuk jalan-jalan. Namun Rhu ingin beristirahat dulu. Ia lelah karena baru saja dalam perjalanan kereta.
"Bagaimana kalau nanti malam?" tanya Agnes.
"Kemana?"
"Ke alun-alun saja, gratiss.."