Bangunan tiga tingkat sampai lima tingkat banyak bertebaran. Tak ada yang terlalu tinggi, lima tingkat itu yang tertinggi. Jalanan dilalui mobil-mobil beremisi rendah dan berteknologi mutakhir, beberapa bahkan self-driving car—tak ada sopirnya. Pohon-pohon berdaun menyirip berderet di samping kanan dan kiri jalan. Rapi, bersih, hijau, penampakan kota itu tampak hampir sempurna. Rhu, seorang mahasiswi psikologi, berjalan keluar dari kampusnya, di tangannya ada buku Psikologi Kognitif.
Di seberang jalan, tampak seorang tua dengan baju yang kumal, penampilannya seperti seminggu belum mandi. Kulitnya berminyak dan rambut putihnya memanjang tak beraturan. Dua orang polisi mengangkutnya ke atas mobil, tak ada perlawanan berarti. Orang tua itu pasrah saja atau mungkin senang karena akhirnya ada yang mempedulikannya.
Pria yang malang. Rhu tiba-tiba teringat kakeknya, setua laki-laki itu.
Rhu menghentikan langkah, ada Arthur yang berjalan ke arahnya. Pria muda itu tampak gagah walau tak begitu tinggi, baginya teman yang sempurna. Tak ada tas atau buku yang ia pegang menandakan ia tak sedang pulang atau pergi kuliah. Sayangnya, pakaiannya hanya kaos biasa bertuliskan “BLITZ KID” dan celana jeans yang sudah sering dipakai—pudar warnanya.
“Kau mau pulang?” tanya Arthur.
“Iya.. kau sedang apa? Tidak ada kuliah?”
“Tidak ada, biar kuantar.. aku bawa motor.”
“Motor… “
“Ya… sudah kuperbaiki, tak bersuara aneh lagi. Ayolah!”
Saat motor melaju, tangan Rhu mencengkeram kuat di bagian bawah jok. Ia selalu begitu walaupun sudah lama kenal dengan Arthur. Tak ada pelukan ataupun sentuhan yang terlalu lama. Helm yang sedang ia pakai adalah helm miliknya yang dibelikan oleh Arthur untuknya, tapi disimpan oleh Arthur. Helm itu berwarna putih dengan tulisan “Rhu” kecil di bagian belakang. Hanya digunakan saat Rhu naik motor dengannya. Rhu sendiri tak punya motor dan tak bisa naik motor. Gadis itu lebih suka jalan kaki atau naik mobil jika pergi jauh.
Ini tahun keempat Arthur menjadi teman dekatnya, teman dekat yang bukan kekasih. Mereka berteman sejak Sekolah Menengah Atas. Arthur yang lebih dulu mengajaknya berteman, banyak yang tak mau berteman dengannya karena ia dari kota itu—kota X.
Rhu ingat sekali waktu itu Arthur tak seperti sekarang, badannya dulu kurus, tak sebesar sekarang. Ia tampak seperti anak laki-laki yang polos dan baik-baik saja. Arthur sendiri mengungkapkan bagaimana kehidupan susahnya di kota itu, dan Rhu sangat tersentuh mendengarnya.
Gara-gara sering bersama Arthur, ia jadi tak punya banyak teman lain atau kekasih. Padahal Arthur sendiri sudah beberapa kali berhubungan dengan wanita, walaupun tak pernah bertahan lama. Kebanyakan orang tuanya tak menyukainya karena asal-usul yang kurang jelas.
Motor Arthur berhenti di sebuah bangunan apartemen yang berlantai 4. Apartemen Rhu berada di lantai paling atas.
“Kau mau ke dalam?” kata Rhu.
“Ya.”
Arthur mengikuti langkah Rhu yang tergolong pelan. Ia berada di belakang, seperti seorang penjaga yang melindungi majikannya. Rhu menoleh ke belakang, ia menarik kaos Arthur memintanya untuk berjalan beriringan.
“Aku tak suka diikuti dari belakang,” kata Rhu.
“Hahaha… aku suka melihatmu dari belakang.”
“Hah?”
“Lupakan.”
Apartemen Rhu cukup mewah untuk seorang mahasiswa. Sejak kuliah, ia tak tinggal lagi bersama orang tuanya. Walaupun mereka satu kota, Rhu lebih senang tinggal sendirian. Ayahnya menikah lagi setelah ibunya meninggal beberapa tahun lalu. Jadi pilihan tinggal sendiri adalah pilihan terbaik, ia tak betah satu rumah dengan orang yang menggantikan ibunya, meskipun bukanlah ibu tiri yang jahat seperti di cerita-cerita dongeng.
Saat masuk ke dalam apartemen, Arthur langsung menuju ke lemari es di dapur, memilih mana minuman ringan yang paling menyegarkan. Haus di tenggorokannya tak tertahankan, ia mengambil sekaleng minuman soda. Membawanya ke depan televisi, membukanya, dan meminumnya. Seperti berada di rumah sendiri.
Ia melirik ke kamar Rhu yang sudah tertutup, gadis itu sedang berganti pakaian atau mungkin mandi. Arthur sangat tahu kesukaan mandi Rhu, berendam di bathtub berjam-jam.
“Rhu! Kau juga libur minggu depan?!” Arthur berteriak.
Tak ada jawaban, tapi tak lama kemudian pintu terbuka. Rhu sudah berganti pakaian, Rhu memakai baju rumahnya, baby doll dengan tema panda. Gadis mungil itu kemudian duduk di samping Arthur, meminta kaleng soda untuk berbagi.