Profesor Handy bercerita tentang masalah psikologi para kriminal yang ia temui belakangan ini di tahanan kota. Dosen berambut putih dan berkacamata itu tampak bersemangat saat bercerita di depan ruang kelas. Ia salah satu dari sebagian dosen yang lebih senang bercerita tentang pengalaman hidup mereka daripada tema mata kuliah yang sudah tertera di silabus.
“Prof, ada kabar bahwa beberapa tahanan dipindahkan ke kota X setelah melalui tes psikologi tertentu. Apakah itu benar?” tanya seorang mahasiswa.
“Aku tak tahu pasti. Tapi kepala penjara pernah mengatakan pemerintah kota tidak senang jika banyak kriminalitas di sini. Makanya, banyak psikolog yang didatangkan untuk mengetahui apakah mereka ada gangguan mental atau kepribadian. Kami hanya membantu saja, memberikan hasilnya dan melakukan terapi jika diminta.”
Kuliah berlangsung singkat, Profesor Handy memberikan tugas bagi para siswa. Siswa bernomor induk ganjil dan genap memperoleh tugas yang berbeda. Mereka kemudian keluar dari ruang kelas, Rhu tampak berjalan paling belakang.
“Ah, apa bedanya gangguan mental dan kepribadian?” celetuk seorang mahasiswa lain. Rhu menoleh ke arahnya dan ingin menjawab, tapi tak jadi. Ia lebih memilih segera pergi dari kelasnya dan mencari Arthur.
Di kampus, Rhu juga tak begitu dekat dengan teman-temannya—tapi ia selalu berusaha ramah dengan mereka. Arthur, Arthur, Arthur, kadang Rhu merasa perlu juga dekat dengan teman yang lain. Ia sering membayangkan bagaimana jika Arthur pergi, jika Arthur tak ada di sampingnya. Tapi nyatanya dia akhirnya selalu ada setiap hari, tanpa terkecuali.
“Aku bawa mobil,” kata Rhu.
“Aku bawa motor,” kata Arthur.
Mereka bertemu di tempat parkir. Arthur sudah sedari tadi menunggu di sana. Kali ini bajunya lebih rapi, kemeja tapi tetap dengan celana jeans.
Akhirnya mereka jalan sendiri-sendiri, dengan satu tujuan yaitu ke kontrakan Arthur. Arthur bilang ingin menunjukkan tentang kota X, dan berdiskusi tentang perjalanan mereka ke sana.
Kontrakan Arthur terdiri dari dua lantai, Arthur tinggal di lantai dua. Di sana ada 2 orang mahasiswa lain yang juga mengontrak. Sama seperti apartemen Rhu, semua ruangan ber-AC. Perabotannya modern dengan warna-warna yang lebih cerah dari apartemen Rhu yang hanya bernuansa monokrom.
“Masuklah,” Arthur menyilakan Rhu masuk.
Rhu agak sedikit canggung karena memang ia jarang pergi ke sana. Mereka lebih sering bertemu di kampus, restoran, perpustakaan, dan apartemen Rhu sendiri.
Lantai dua tampak terdiri dari dua ruangan. Sebelah utara merupakan kamar Arthur.
“Duduklah, aku ambil minuman. Kau mau apa?”
“Iced green tea…”
“Hahaha.. baiklah.” Arthur tertawa karena Rhu meminta minuman itu lagi. Setiap makan bersamanya, Rhu selalu memesan minuman itu.
Arthur perlu meraciknya terlebih dahulu. Ia mencari toples berisi teh hijau di lemari makan, beruntung masih ada isinya. Ia perlu menyeduh tehnya dulu, lalu menambahkan air dingin. Memasukkan irisan lemon dan madu, tak lupa empat buah es batu.
“Ini, Nona..”
“Terima kasih. Semoga enak.”
Rhu menegak minuman pahit-asam itu. Awalnya ia dulu juga tak suka dan sering menambahkan banyak gula tapi lama kelamaan ia memilih untuk meminumnya dengan lebih sehat.
“Kau libur hari apa, sampai kapan?”
“Minggu, sampai dua minggu ke depannya.”
“Bagus, sama. Aku juga demikian. Tak ada kuliah tambahan?”
Rhu menggeleng.
Arthur kemudian masuk ke dalam ruangan lain dan kembali sambil membawa sebuah kotak. Ia mengeluarkan isinya, ada beberapa buah foto cetak, koran, dan majalah.
“Apa itu?”
“Benda-benda terlarang, hahaha… hal-hal yang berkaitan dengan kota X. Tempat asalku.”
Rhu mengambil sebuah foto. Foto itu menunjukkan pemandangan sebuah taman kota yang penuh dengan orang, ada foto anak kecil yang tersenyum—itu Arthur.
“Kau dulu bahagia?” tanya Rhu.