Perjalanan Rhu

Senjanila
Chapter #3

Rumah Rhu

“Alasan ke kota X, kita jawab apa?” tanya Rhu.

“Jawab saja kita akan berwisata, jangan bilang akan ke penjara,” Arthur menjawab sambil mengotak-atik mesin helikopter mainan.

Rhu sedang mempelajari formulir yang perlu diisi untuk pergi ke kota X. Mereka akan pergi ke sana dengan kereta api. Ia mencetak formulir terbaru yang ia dapat dari internet. Formulir yang asli baru bisa didapat saat akan berangkat.

“Ada tulisan, jika kita terlibat masalah di sana, kita tak bisa kembali ke kota Y,” Rhu sedikit kaget saat membaca peraturan itu. Masalah yang dimaksud adalah kasus kriminal. Meski dirinya tak ada niatan untuk melakukan hal-hal aneh di sana namun bukan berarti itu tak mungkin terjadi.

“Ya, mereka sangat ketat sekarang. Dulu tidak begitu, saat aku masuk ke sini dibantu saudaraku—rasanya tak seketat sekarang. Apa kau takut? Jika iya bisa kita batalkan.”

Arthur tak menghentikan pekerjaan tangannya. Ia menatap ke arah Rhu, menunggu reaksinya.

Rhu terdiam sejenak, melihat ke arah Arthur dan segera berkata, “Tidak, aku tak akan membuat masalah. Kau juga kan?”

“Ya, tentu saja. Aku akan menjagamu. Aku berjanji.” Arthur berkata dengan sungguh-sungguh. Ia menatap langsung ke mata Rhu. Rhu mengangguk, mempercayainya.

“Jika kau tak betah, kita bisa pulang lebih cepat.”

Rhu sekali lagi mengangguk.

Mereka sudah memesan tiket kereta api ke kota X untuk dua hari lagi. Hanya ada jalur kereta api yang bisa digunakan. Ada jalur udara tapi hanya para pejabat dan pegawai pemerintah kota saja yang bisa melewatinya. Dahulu ada bis yang menuju ke sana, tapi kemudian dihentikan operasinya. Jalan aspal yang menuju ke kota X hanya digunakan untuk mengangkut barang-barang bukan orang. Mereka menggunakan kendaraan tanpa awak—truk-truk besar.

Rhu sendiri tidak memberitahu ayahnya bahwa ia akan pergi ke sana. Ia mengatakan akan melakukan riset selama liburan. Setelah bertemu Arthur, siang itu ia pergi ke rumah ayahnya, rumah saudara-saudaranya yang lain.

Rhu membeli mainan untuk adik tiri kecilnya dan roti gulung dua kotak untuk oleh-oleh. Meski tak tinggal bersama, hubungan mereka cukup baik. 

Rhu pergi menaiki mobilnya. Dari balik kaca mobil itu tampak kota Y yang begitu asri, sejuk, dan rapi. Polisi-polisi tetap terlihat berjaga walau jarang sekali ada kejahatan.

Mobil itu berjalan perlahan sesuai keinginan Rhu. Saat berhenti di lampu merah, ia melihat seorang anak laki-laki menangis meminta sesuatu pada ibunya di tepi jalan itu. Ibunya menggeleng dan bersikukuh tak menuruti anaknya. Wajahnya mengeras dan akhirnya membentak anaknya. Tiba-tiba seorang polisi datang menghampiri mereka. Rhu tak tahu kejadian selanjutnya, mobilnya harus kembali melaju setelah lampu berwarna hijau.

Polisi menangani banyak hal remeh di kota itu, karena tingkat kejahatan yang minim. Ada beberapa usulan untuk membantu keamanan kota lain seperti kota X, tapi pihak kepolisian menolaknya. Mereka hanya ingin fokus di dalam kota saja, kota lain bukan urusan mereka. Perbatasan sudah di jaga ketat, tak sembarang orang bisa masuk ke kota itu.

Jalanan lancar tanpa kendala, tak ada kendaraan yang berjalan terlalu cepat atau terlalu lambat. Semuanya tampak begitu sempurna. Tubuh Rhu merasa nyaman tenggelam di kursi mobil yang empuk itu. Tapi perasaannya kadang-kadang hampa di tengah kenyamanan itu. Ia ingin merasakan hal yang lain, mungkin karena itu ia ingin pergi ke kota X.

Rhu melihat ke oleh-oleh yang ia bawa. Diambilnya oleh-oleh mainan untuk adik tirinya yang sekarang sudah berusia 3 tahun, adik laki-laki. Sebuah mainan mobil-mobilan yang dapat berubah menjadi pesawat terbang. Ia sebenarnya tak yakin adiknya itu dapat memainkannya dengan baik walau penjualnya mengatakan mainan itu cocok untuk anak usia 3 tahun. Dia memeriksa ke box-nya, benar 3 tahun ke atas. Penjual itu tak berbohong. Tak ada penjual yang berani berbohong di kota Y, sepertinya begitu.

Mobilnya lalu berbelok ke jalan kecil, menuju ke perumahan. Ada beberapa rumah besar yang juga milik keluarga ayahnya. Kakeknya memiliki semua perumahan itu, tak begitu luas tapi rata-rata dihuni orang kaya.

Rumah nomer 7, itu rumahnya. Sebuah rumah besar yang tampak megah, modelnya sudah diubah oleh Ayahnya. Aslinya merupakan rumah kakeknya yang meninggal beberapa tahun yang lalu. Rhu dekat dengan kakeknya, apalagi saat kakeknya sakit. Ia yang menemani sang kakek di rumah sakit. Saat kakeknya sakit parah, ayahnya harus sibuk mengurus kelahiran putra bungsunya dari istri baru. Rhu ingat sekali hari-hari itu.

Ia membuka pintu dan membawa oleh-oleh masuk. Seorang pembantu menyambutnya dengan ramah. Pembantu sebenarnya sulit ditemukan di kota Y, mereka biasanya dari kota lain—selain kota X.

“Nona, sudah lama tidak pulang, ibu sudah menunggu di dalam..”

Rhu tersenyum menyerahkan dua kotak roti gulung itu pada pembantu, namun kemudian menghela napas. Ia masih canggung dengan ibu tirinya, itu alasannya tak suka sering pulang.

Seorang wanita berusia 30 tahunan tampak bermain dengan anaknya.

Lihat selengkapnya