Kereta menjauh dari kota Y, masuk ke perkebunan dan persawahan. Rhu menyenderkan kepalanya mendekat ke jendela. Di sebelah kanan, ada aliran sungai yang airnya cukup jernih. Perkebunan di sebelah kiri berupa perkebunan sayuran dan buah, sedangkan di sebelah kanan merupakan persawahan, padi dan gandum. Sebagian orang Y masih makan nasi putih walau pemerintah kota menganjurkan pilihan makanan pokok yang lebih sehat.
“Ada banyak tempat bersenang-senang di sana?” tanya Rhu.
“Bersenang-senang seperti apa? Hahaha..”
“Berwisata..”
“Oh.. sepertinya aku sudah pernah bercerita. Sebenarnya tak jauh berbeda, selain museum, ada kebun binatang, dan taman hiburan. Ah, ada bianglala besar di alun-alun, tapi aku tak yakin apa masih berfungsi. Masalah kualitas fasilitasnya bisa sangat timpang, ada juga yang benar-benar bagus dan mewah.”
“Hmm.. Arthur berapa usiamu sekarang?” tanya Rhu tiba-tiba
“Sama sepertimu kan?”
“Berapa?”
“20 tahun.”
Rhu mencoba memejamkan matanya yang tidak mengantuk. Ia tiba-tiba mempertanyakan sosok Arthur, sahabatnya itu.
“Aku ke kamar kecil dulu,” kata Arthur.
Arthur meninggalkan Rhu sendirian. Ia merasa Rhu bersikap sedikit aneh padanya hari itu, sepertinya tak mempercayainya.
“Dia pacarmu?” tanya Pak Tua di seberang. Kali ini topinya tak menempel di kepala, tampak wajahnya dengan mata besar yang melotot. Ada kumis dan janggut yang menempel.
Rhu menggeleng.
“Pertama kali ke kota X?” tanyanya lagi.
Rhu mengangguk pelan seperti malas menjawab.
“Jangan percaya dengan laki-laki, apalagi saat berada di kota X. Haha.. aku tak menakut-nakuti, hanya memberitahu…”
Rhu berusaha tak menanggapi dan memalingkan wajahnya. Ia menatapi kaca jendela tapi tak fokus melihat apa. Pemandangan berlalu tanpa berkesan apa-apa. Tak ada rumah penduduk kecuali persawahan dan perkebunan yang seragam.
Tak lama kemudian Arthur kembali. Wajahnya tampak habis dibasahi, rambutnya masih basah. Ujung lengan jaketnya ikut basah sedikit. Ia tersenyum lalu duduk di samping Rhu.
“Kau tak mengantuk kan? Boleh minta tolong?” tanya Rhu.
“Iya apa?”
“Isi kuisioner ini… tugas kuliah.”
Arthur menerima lima lembar kertas berisi puluhan pertanyaan dengan jawaban ganda, serta satu pertanyaan dengan jawaban esai.
“Hahaha.. harus sekarang?”
“Ya, jika kau mau..”
Arthur kemudian mengisinya perlahan. Sesekali ia melirik ke arah Rhu yang terus memandang ke arah jendela.
“Ini tentang kepribadian?” tanya Arthur.
“Ya, tipe kepribadian. Tidak ada tipe kepribadian yang salah… ini bukan tes tentang gangguan atau sejenisnya. Kau hanya perlu menjawab dengan jujur.”
Arthur mengangguk-angguk lalu meneruskan mengisi kuisioner itu. Dalam hati ia tak yakin kalau ini benar-benar tugas kuliah.
Kereta masuk ke sebuah terowongan. Sedikit gelap, tapi dalam kereta terang karena ada lampu. Setelah terowongan, yang muncul adalah hutan. Pohon-pohonnya rapat dan menjulang tinggi. Perbatasan kota X dan Y memang berupa hutan. Tak ada rumah penduduk yang boleh di bangun di sana, hanya ada beberapa bangunan pos penjagaan milik petugas dari masing-masing kota.
Tiba-tiba kereta berhenti, seperti mengerem mendadak. Pena yang Arthur pegang terjatuh, ia sedang mengisi pertanyaan terakhir. Pertanyaan esai yang perlu diisi dengan tulisan tangan.
“Ada apa?”
“Aku lihat ke depan,” kata Arthur sambil menyerahkan kertas kuisioner tadi pada Rhu. Rhu jadi khawatir dan berdiri mencoba melihat ke depan.