Dari luar tak terlihat buruk, di depannya ada papan nama neon berbentuk vertikal dari bahan vinyl. Tulisan di papan nama itu “Parturo Motel”.
“Aku bercanda hahaha…” Arthur akhirnya kembali tertawa.
“Itu tak lucu.”
Rhu merasa lega temannya itu bercanda. Motel itu masih punya banyak kamar yang tersisa. Mereka lalu masuk ke dalam motel berdinding kuning itu. Motel kecil dengan 30 kamar dan 3 lantai.
Berjalan masuk, Rhu masih memakai masker yang menutupi sebagian wajahnya. Beberapa tamu motel itu berpapasan dengan mereka. Sekilas memandang, Rhu melihat banyak juga tamu yang berpasangan—bergandengan tangan.
“Kau tak takut tidur sendirian?” tanya Arthur sembari menoleh ke belakang. Kali ini Arthur yang berjalan di depan.
“Aku kan biasa tinggal sendiri..”
“Baiklah, hati-hati.. kalau ada apa-apa, berteriaklah yang keras. Ponselmu tak bisa digunakan.. ok?”
“Ya.”
Rhu masuk ke dalam kamarnya, begitu juga Arthur. Kamarnya tidurnya 3 kali 4 meter saja. Tempat tidurnya juga tampak sederhana, dari kayu imitasi. Ia melihat ada AC di atas, tapi ada suasana yang tak disukainya. Suasana lembab. Cat dindingnya tampak buruk sekali dengan beberapa bagian yang mengelupas.
Rhu lalu menaruh tasnya dan memeriksa kamar mandi. Tak ada bathtub di sana, Rhu kecewa—walau ia sebenarnya tak berharap juga. Hanya ada pancuran dan satu ember besar bulat. Toilet jadi satu di kamar mandi itu. Di bagian dinding kamar mandi bisa terlihat noda-noda yang sepertinya menempel kuat. Melihat saja buluk kuduknya jadi merinding.
Rhu yang awalnya ingin mandi jadi mengurungkan niatnya. Ia beralih ke jendela, menyingkap gorden dengan jemarinya. Seakan tahu gorden berwarna gelap itu kotor, jari-jarinya hanya mau menyentuh sedikit saja.
“Aku tak menyangka seburuk ini… apa mereka tak membersihkannya secara rutin?”
Dari balik jendela, ada sebuah jalan kecil—seperti sebuah gang. Beberapa motor lewat dengan suara yang berisik, lalu ada seorang gadis kecil yang berjalan perlahan. Ia memakai seragam sekolah yang seperti kekecilan. Rhu menggelengkan kepalanya, tak suka dengan apa yang dilihatnya. Beralih ke langit, ada cerobong-cerobong asap yang mengeluarkan sisa pembakaran berupa gas hitam.
“Mengerikan… bagaimana bisa pabrik seperti itu ada di tengah kota.”
Ia tak mau memeriksa apakah tempat tidur yang ia tiduri kotor atau tidak. Ia mencoba terpejam saja berharap bisa tidur dan beristirahat sejenak.
Kelelahan, Rhu cepat tertidur. Tak disangka, bantalnya lumayan empuk dan nyaman untuk ditiduri. Belum sempat bermimpi tidurnya kali ini harus terganggu, ada suara dari luar.
Tok..tok.
“Rhu, ini aku…”
Suara Arthur membangunkannya, ia masih terhuyung saat membukakan pintu. Arthur tampak sudah rapi, bajunya sudah ganti, dan rambutnya sudah berminyak karena gel rambut.
“Haha.. kau baru bangun tidur? Aku ingin mengajakmu jalan-jalan, sebelum malam datang.”
“Ya, kepalaku masih pusing..”
Arthur duduk di sebuah kursi satu-satunya di kamar Rhu. Sementara Rhu berbaring tengkurap di kasur.
“Jelek sekali posisi tidurmu… itu tak baik.”
“Aku masih lelah.”
“Kita belum makan,.. kau tak lapar?”
Benar, perutnya kelaparan juga. Rhu akhirnya bangkit dan menuju ke kamar mandi. Tak seperti biasanya, ia mandi dalam waktu sesingkat-singkatnya. Mandi bebek.
“Kau masih di sana?” tanya Rhu.