Mobil mereka berhenti di sebuah tempat parkir yang cukup penuh. Dari kejauhan terlihat ada sebuah bianglala besar yang berputar perlahan. Sudah sore saat Rhu dan Arthur tiba di taman hiburan itu. Ada banyak orang yang mulai berdatangan, dari mulai anak kecil sampai orang dewasa. Tak ada yang memakai masker seperti Rhu, tak ada yang serapi Rhu.
“Ramai juga di sini,” ujar Rhu.
“Ya, karena masuknya gratis. Tapi jangan bandingkan kualitasnya dengan taman di Y, di sini agak kotor dan wahananya tidak sebagus di sana.”
Rhu memperhatikan para wanita yang ada di taman itu. Ada sekumpulan remaja yang sedang nongkrong. Baju mereka tampak minim, dengan bagian perut yang sedikit terlihat.
“Semua wanita di sini suka pakai baju kekecilan?” tanya Rhu.
“Hahaha.. tak semua, tapi kebanyakan begitu. Setelah menikah biasanya akan lebih tertutup, tergantung suaminya juga.”
“Baguslah.. “
“Ayo kita masuk.. lewat pintu sana.”
Rhu mengikuti Arthur masuk ke tempat itu. Berdesakan dengan orang lain yang juga ingin masuk ke sana. Bau parfum dan bau badan orang-orang itu samar-samar tercium di hidungnya, meski telah melewati masker berlapis. Kepalanya tiba-tiba pusing.
Arthur memegang tangan Rhu. Menggandengnya untuk pertama kali, dan Rhu tak menolaknya.
“Takut kau hilang.. hahaha..”
Rhu masih merasa canggung karena sebelumnya mereka tak pernah bersentuhan seperti itu. Setelah berjalan beberapa menit, Rhu mencoba melepaskan tangannya dan memilih memegang ujung baju Arthur saja.
“Aku tak akan hilang..” ujar Rhu dengan suara yang tak seperti biasa. Suara yang bergetar karena kelelahan dan merasa asing berada di tempat itu.
“Kau mau duduk?” tanya Arthur.
Mereka menoleh ke sekeliling. Ada beberapa tempat duduk namun semuanya sudah diisi oleh orang lain.
“Tak apa.. langsung ke bianglala saja,” kata Rhu.
Bianglala itu memang paling menonjol daripada wahana lainnya. Selain paling besar, itu terlihat masih bagus meskipun sudah bertahun-tahun ada di sana. Kabin-kabinnya dicat warna-warni. Ada lampu-lampu kecil yang juga akan menyala bergantian saat malam hari, kelap-kelip. Meriah.
Di sekeliling banyak juga para pedagang kaki lima. Gerobak-gerobak yang rata-rata menjual makanan kecil sampai makanan berat. Aroma nasi goreng bercampur dengan panggangan sate yang ada di dekatnya. Namun lalat dan debu-debu beterbangan itu mengusir wajah enak dari makanan yang dijual—setidaknya di mata Rhu.
“Kau tak mau coba makanan di sini?” tanya Arthur menawarkan.
“Tidak, langsung ke bianglala saja,” ujar Rhu dengan tegas.
Sayangnya antrean di bianglala itu ternyata cukup panjang, dan Rhu harus berdiri agak lama. Beberapa orang berusaha menyerobot namun Arthur bisa mencegahnya. Ia tak ingin bikin keributan jadi diplomasi jadi pilihan.
Rhu tak bisa menikmati pemandangan di sekelilingnya karena kotor dan orang-orang di sana membuatnya agak takut. Ia mencoba fokus melihat ke bianglala yang berputar itu.
“Kau tak apa..?” tanya Arthur.