Perjalanan Ruh

Noura Publishing
Chapter #1

Pertanyaan Pertama

Ibnu Abdilbarr berkata, “Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda, ‘Tidaklah seorang Muslim melewati kubur saudaranya di dunia lalu mengucapkan salam kepadanya, melainkan Allah akan mengembalikan ruhnya sehingga dia bisa menjawab salam.’”

Dalam Shahîh Al-Bukhâri dan Shahîh Muslim—melalui berbagai sanad—disebutkan bahwa seusai Perang Badar, Nabi Saw. memerintahkan agar orang-orang musyrik korban perang dikubur di dalam sumur Badar. Setelah dikuburkan, beliau berdiri menghadap kubur mereka dan memanggil nama-nama mereka, “Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan, apakah kalian telah menemukan bahwa apa yang dijanjikan Tuhan kepada kalian itu benar? Adapun aku, sungguh telah menemukan kebenaran yang dijanjikan Tuhanku kepadaku.”

Umar bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana engkau menyeru orang-orang yang telah menjadi mayat?”

Beliau pun menjawab, “Demi Dzat yang telah mengutusku dengan kebenaran, kalian tidaklah lebih mendengar dibanding mereka terhadap apa yang aku katakan. Hanya saja mereka tak mampu menjawab.”

Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya mayat mendengar hentakan sandal orang-orang yang mengiringinya, ketika mereka pulang meninggalkan kuburnya.”

Nabi Saw. (sendiri) telah mensyariatkan kepada umatnya, agar mereka mengucapkan salam kepada ahli kubur layaknya memberi salam kepada orang yang sedang diajak bicara (dengan menggunakan kata ganti orang kedua). Yakni, dengan mengucapkan, “Salam sejahtera atas kalian, wahai para penghuni (kubur) kaum Mukmin.” Ini adalah sapaan kepada orang yang mendengar dan berakal. Seandainya orang mati itu tak mampu mendengar salam orang hidup, tentu seruan salam itu dianjurkan dengan menggunakan kata ganti orang ketiga, seperti seruan untuk orang yang tidak hadir atau benda mati.

Ulama-ulama salaf (sahabat, tabi‘in, dan para pengikut tabi‘in) pun sepakat, bahwa orang mati mampu mendengar salam orang hidup. Banyak sekali atsar yang diriwayatkan secara mutawatir dari mereka bahwa orang wafat mengetahui ziarah orang hidup kepadanya, dan itu menjadi kabar gembira baginya.

Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Abi Ad-Dunya—dalam Kitab Al-Qubur, bab “Orang Mati Mengetahui Ziarahnya Orang Hidup”—berkata:

“Kami (Abu Bakar Abdullah, yang lebih dikenal dengan Ibnu Abi Ad-Dunya [w. 281 H]) menerima riwayat dari Muhammad bin ‘Aun yang menerima riwayat dari Yahya bin Yaman, dari Abdullah bin Sam’an, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. bersabda, ‘Tidak ada seorang Muslim pun yang berziarah pada makam saudaranya lalu duduk di sisi kuburnya, melainkan dia (yang dikubur itu) akan merasa senang atas (kehadiran) dirinya, dan Allah akan mengembalikan ruh orang itu ke kuburnya, hingga saudaranya itu berdiri meninggalkan makamnya.’

‘Tidak ada seorang Muslim pun yang berziarah pada makam saudaranya lalu duduk di sisi kuburnya, melainkan dia (yang dikubur itu) akan merasa senang atas (kehadiran) dirinya, dan Allah akan mengembalikan ruh orang itu ke kuburnya, hingga saudaranya itu berdiri meninggalkan makamnya.’

—Sabda Nabi Saw.

Kami (Ibnu Abi Ad-Dunya [w. 281 H]) menerima riwayat dari Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari yang menerima riwayat dari Ma’n bin ‘Isa Al-Qazzaz, dari Hisyam bin Sa’d, dari Zaid bin Aslam, dari Abu Hurairah r.a., bahwa dia (Abu Hurairah) berkata, ‘Jika seseorang melewati makam saudaranya yang dia kenal (semasa hidupnya), lalu mengucapkan salam kepadanya, saudaranya yang wafat itu akan menjawab salam dan mengenali siapa pengucap salam itu. Namun, jika seseorang melewati makam seseorang yang tidak dia kenal (semasa hidupnya), lalu mengucapkan salam kepadanya, orang wafat itu hanya akan menjawabnya.’

Kami menerima riwayat dari Muhammad bin Al-Husain yang menerima riwayat dari Yahya bin Bustham Al-Ashgar, yang menerima riwayat dari Masma’, yang menerima riwayat dari seorang dari keluarga ‘Ashim Al-Jahdari, dia (seorang dari keluarga ‘Ashim Al-Jahdari) berkata, ‘Aku bermimpi melihat ‘Ashim setelah dua tahun kematiannya.’ Aku bertanya, ‘Bukankah engkau telah mendahului kami (mati)?’

Dia menjawab, ‘Benar.’

Aku bertanya, ‘Lalu di mana engkau?’

Dia menjawab, ‘Demi Allah, saya ada di salah satu taman surga.1 Pada setiap malam dan pagi Jumat, saya dan beberapa teman pergi bersama menemui Abu Bakar bin Abdullah Al-Muzanni, dan kami mencari tahu kabar-kabar kalian.’

Anggota keluarga ‘Ashim Al-Jahdari—yang bermimpi—itu melanjutkan, ‘Aku bertanya, ‘Jasad kalian ataukah ruh kalian?’’

Dia menjawab, ‘Bagaimana mungkin sementara jasad-jasad (kami) telah hancur? Yang bertemu hanya ruh-ruh saja.’

Aku bertanya, ‘Apakah kalian mengetahui ziarah yang kami lakukan pada kalian?’

Dia menjawab, ‘Iya. Kami mengetahui ziarah kalian (khusus) pada Jumat sore maupun seluruh Jumat, dan Sabtu hingga matahari terbit.’

Aku bertanya, ‘Kenapa itu tidak di setiap hari?’

Dia menjawab, ‘Karena keutamaan hari Jumat dan kemuliaannya.’

Kami menerima riwayat dari Muhammad bin Al-Husain yang menerima riwayat dari Bakr bin Muhammad, yang menerima riwayat dari Hasan Al-Qashshab yang berkata, ‘Dahulu, setiap Sabtu pagi, aku biasa pergi bersama Muhammad bin Wasi’ hingga kami sampai di Al-Jabban. Kami berhenti di suatu makam, mengucapkan salam pada ahli kubur dan mendoakan mereka. Lalu kami pergi.’

Suatu hari, aku berkata kepada Muhammad bin Wasi’, ‘Bagaimana jika aku ganti hari ziarah ini dengan hari Senin?’

Muhammad bin Wasi’ berkata, ‘Aku menerima riwayat bahwa orang mati mengetahui orang yang menziarahi mereka, pada hari Jumat, satu hari sebelumnya, dan satu hari setelahnya.’

Aku menerima riwayat dari Muhammad yang menerima riwayat dari Abdul Aziz bin Aban, yang menerima riwayat dari Sufyan Ats-Tsauri yang berkata, ‘Aku mendengar bahwa Adh-Dhahhak berkata, ‘Siapa yang menzairahi suatu makam pada hari Sabtu sebelum terbenam matahari maka orang yang mati akan mengetahui ziarahnya.’ Lalu, Adh-Dhahhak ditanya, ‘Bagaimana bisa begitu?’

Adh-Dhahhak menjawab, ‘Karena kedudukan hari Jumat yang mulia.’

Kami menerima riwayat dari Khalid bin Khaddasy yang menerima riwayat dari Ja’far bin Sulaiman, dari Abu At-Tayyah yang berkata, “Mutharrif bin Abdullah biasa bepergian di pagi hari. Namun pada hari Jumat, dia biasa berangkat pada malam hari (Kamis Malam).” Ja’far bin Sulaiman mendengar Abu At-Tayyah berkata, ‘Aku mendengar riwayat bahwa pada perjalanan di malam hari, cambuk Mutharrif biasanya bersinar menerangi dirinya. Pada suatu malam, dengan menunggang kuda dia tiba di komplek pemakaman. Mutharrif lalu tertidur dan bermimpi melihat setiap penghuni kubur duduk di atas makamnya. Para penghuni kubur berkata, ‘Ini adalah Mutharrif yang biasa datang pada hari Jumat.’ Mutharrif berkata, ‘Apakah kalian juga mengenal hari Jumat?’ Mereka menjawab, ‘Iya. Bahkan, kami mengetahui apa yang dikatakan burung pada hari itu.’ Mutharrif bertanya, ‘Apa yang dikatakan burung-burung itu?’ Mereka menjawab, ‘Mereka berkata, ‘Salam, salam.’’

Aku menerima riwayat dari Muhammad bin Al-Husain yang menerima riwayat dari Yahya bin Abu Bakar, yang menerima riwayat dari Al-Fadhl bin Muwaffiq—putra dari pamannya Sufyan bin ‘Uyainah—yang berkata, “Ketika ayahku meninggal aku sangat sedih. Aku mendatangi kuburnya setiap hari. Selang beberapa lama aku semakin jarang menziarahinya sebagaimana Allah kehendaki. Hingga pada suatu hari, aku menziarahinya. Ketika aku duduk di sisi kubur, aku pun mengantuk dan tertidur. Aku bermimpi seolah makam ayahku terbelah, dan seolah dia duduk di makamnya dengan kain kafan compang-camping dan terlihat seperti wajah orang mati.”

Al-Fadhl bin Muwaffiq melanjutkan, “Dalam mimpi itu aku menangis melihatnya. Ayahku berkata, ‘Wahai anakku, apa yang membuatmu terlambat dari menziarahiku?’ Aku berkata, ‘Apakah engkau mengetahui kedatanganku?’ Dia menjawab, ‘Tidaklah engkau datang, meski sekali saja, kecuali aku mengetahuinya. Dahulu, ketika engkau sering menziarahiku, aku bahagia karenamu, aku senang dengan kedatanganmu, dan orang-orang di sekitarku juga senang dengan doamu.’ Al-Fadhl bin Muwaffiq berkata, ‘Setelah itu, aku sering mendatanginya.’”

Kami menerima riwayat dari Muhammad yang menerima riwayat dari Yahya bin Bustham, yang menerima riwayat dari Utsman bin Saudah Ath-Thafawi, yang menuturkan bahwa ibunya termasuk orang yang ahli ibadah, dan mendapat julukan Râhibah (pendeta perempuan).

Utsman berkata, “Ketika ajal mendatangi ibuku, aku mengangkat kepalanya dan dia berkata (kepadaku), ‘Wahai simpanan dan perbendaharaanku, yang menjadi pijakanku dalam hidup maupun setelah kematianku, jangan tinggalkan aku menjelang kematian, dan jangan engkau buat aku terasing di kuburku.’”

Lanjut Utsman, “Ibuku lalu meninggal. Aku menziarahinya setiap hari Jumat, mendoakannya dan memohonkan ampun untuknya dan juga semua penghuni kubur. Pada suatu malam, saat aku tidur, aku melihatnya dalam mimpi. Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai ibuku, bagaimana keadaanmu?’ Dia menjawab, ‘Wahai anakku, sesungguhnya dalam kematian ada kesedihan yang dalam. Adapun aku, Alhamdulillah, di dalam Barzakh (alam kubur) dalam keadaan tersanjung. Kami di sana beralaskan Al-Raihan dan kami berbantalkan sutra dan brokat hingga Hari Kebangkitan tiba.’

Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau butuh sesuatu?’ Dia menjawab, ‘Iya.’ Aku bertanya, ‘Apakah itu?’ Dia menjawab, ‘Jangan engkau tinggalkan apa yang sudah engkau lakukan ini, yakni menziarahi kami dan mendoakan kami. Sesungguhnya aku sangat senang dengan kedatanganmu pada Hari Jumat. Bila engkau mengunjungi kami, dikatakan kepadaku, ‘Wahai Râhibah, ini anakmu telah datang.’ Maka, aku bahagia dan orang-orang yang mati di sekitarku juga ikut bahagia.”

Aku menerima riwayat dari Muhammad bin Abdul Aziz bin Sulaiman, yang menerima riwayat dari Bisyr bin Manshur yang berkata, “Ketika datang wabah Tha’un (sampar), ada seseorang yang sering pergi ke Al-Jabban untuk mengikuti shalat jenazah. Saat sore, dia berdiri di pintu pemakaman. Lalu dia berkata, ‘Semoga Allah menemani kesendirian kalian, menyayangi saat kalian terasing, mengampuni keburukan kalian, dan menerima kebaikan-kebaikan kalian.’ Hanya itu kalimat yang dia ucapkan.”

Bisyr bin Manshur melanjutkan, “Pada suatu malam, tidak seperti biasanya, aku pulang ke keluargaku tanpa menziarahi makam. Aku hanya berdoa dengan doa yang biasa aku baca. Ketika aku tidur, tiba-tiba banyak makhluk mendatangiku. Aku berkata, ‘Siapakah kalian dan apa yang kalian inginkan?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah ahli kubur.’ Aku berkata, ‘Apa yang kalian inginkan?’ Mereka menjawab, ‘Kami ingin agar engkau rutin memberi hadiah kepada kami, saat engkau pulang ke keluargamu.’ Aku bertanya, ‘Hadiah apakah itu?’ Mereka menjawab, ‘Doa-doa yang telah engkau ucapkan.’ Aku berkata, ‘Aku akan rutin membacanya.’ Sejak itu, aku tak pernah melewatkannya.”

Aku menerima riwayat dari Muhammad yang menerima riwayat dari Ahmad bin Sahl, yang menerima riwayat dari Rasyid bin Sa’d, dari seseorang, dari Yazid bin Abi Hubaib yang berkata, “Sesungguhnya Sulaim bin ‘Umair pernah melewati kuburan dalam keadaan menahan kencing. Sebagian sahabatnya berkata, ‘Bagaimana jika engkau turun (dari tungganganmu) lalu buang air kecil di sebagian kuburan yang ada.’ Sulaim pun menangis dan berkata, ‘Subhanallah! Demi Allah, sesungguhnya aku sangat malu pada orang-orang mati, layaknya aku malu pada orang-orang yang masih hidup. Seandainya orang mati tak dapat mengetahui kencingku, tentu aku tidak malu melakukannya.’”

۞

Perbuatan Orang Hidup Ditampakkan pada Kerabat-Kerabatnya yang Telah Mati

Bahkan, orang mati mengetahui apa yang dilakukan saudara dan temannya yang masih hidup. Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Aku menerima riwayat dari Tsaur bin Yazid, dari Ibrahim, dari Abu Ayyub yang berkata, ‘Amal perbuatan orang yang masih hidup ditampakkan pada orang mati. Jika mereka melihat (amal yang dikerjakannya) baik, mereka bahagia dan bergembira, dan jika mereka melihat (amal yang dikerjakannya) buruk, mereka berkata, ‘Ya Allah, jauhkanlah itu.’”

Lihat selengkapnya