Bukti-bukti dan dalil-dalil yang menguatkan jawaban pertanyaan di atas sangat banyak. Tidak ada yang mampu menghitungnya selain Allah. Indra dan peristiwa menjadi dalil yang paling nyata mengenai hal tersebut. Bertemunya ruh-ruh orang mati dengan ruh-ruh orang hidup, sama halnya dengan pertemuan antara ruh-ruh orang hidup.
Allah Swt. berfirman:
Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur; maka Dia tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir. (QS Al-Zumar [39]: 42)
Abdullah bin Mandah berkata, “Aku menerima riwayat dari Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim, yang menerima riwayat dari Abdullah bin Al-Hasan Al-Harani, menerima riwayat dari kakeknya, Ahmad bin Abu Syu’aib, menerima riwayat dari Musa bin A’yan, dari Mutharrif, dari Ja’far bin Abu Al-Mughirah, dari Sa’id bin Jubair, bahwa terkait ayat tersebut Ibnu Abbas berkata, ‘Aku mendengar riwayat bahwa ruh-ruh orang hidup, bertemu dengan ruh-ruh orang mati di dalam tidur. Sehingga masing-masing mereka saling bertanya. Hanya saja, ruh-ruh orang mati itu (tetap) ditahan Allah, sedangkan ruh-ruh orang hidup dilepaskan (kembali) ke dalam jasad-jasadnya.’”
Ibnu Abi Hâtim berkata dalam tafsirnya, “Kami menerima riwayat dari Abdullah bin Sulaiman, yang menerima riwayat dari Al-Husain, yang menerima riwayat dari ‘Amir, yang menerima riwayat dari Asbath, bahwa berkenaan dengan firman Allah Swt., Dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur. As-Suddi berkata, ‘Allah mematikannya di dalam tidurnya, sehingga ruh orang hidup dan ruh orang mati bertemu, sehingga mereka bercakap dan saling mengenal.’ Dia berkata, ‘Selepas itu ruh orang hidup dikembalikan ke dalam jasadnya di dunia hingga sisa umurnya. Sedangkan ruh orang mati ingin juga kembali ke jasadnya, tetapi ditahan.1
Hal yang menunjukkan bahwa ada perjumpaan antara ruh orang mati dan ruh orang hidup adalah ketika orang hidup bermimpi bertemu dengan orang mati, dan mereka saling memberi kabar. Sehingga orang mati memberi tahu sesuatu yang tidak diketahui orang hidup. Ternyata, apa yang dikabarkan orang mati dalam mimpi tersebut, sesuai dengan yang terjadi dalam kehidupan nyata, baik kabar tentang masa lalu ataupun yang akan datang. Terkadang, orang mati mengabarkan kepada orang yang masih hidup (dalam mimpinya itu) tentang harta yang dia pendam di suatu tempat, yang tidak diketahui siapa pun selain dia. Terkadang, dia memberi tahu utang yang menjadi tanggungannya, dan dia menyebutkan juga bukti-bukti yang menguatkan kebenaran dari pemberitahuannya.
Terlebih lagi, orang mati mampu memberi tahu suatu amal yang dilakukan orang hidup, yang tidak diketahui seorang pun di dunia ini. Bahkan, dia memberi tahu orang yang mimpi, “Engkau datang pada kami pada waktu sekian-sekian,” dan itu persis seperti yang diberitahukan. Mungkin saja, orang mati itu memberi tahu perkara-perkara yang dipastikan oleh orang hidup bahwa hal itu tidak akan diketahui siapa pun selain dia. Kami telah menyebutkan kisah Ash-Sha’b bin Jutstsamah dan perkataannya pada ‘Auf bin Malik. Kami juga telah menyebutkan kisah Tsabit bin Qais bin Syammas yang memberi tahu tentang orang yang mengambil baju perangnya, serta memberi tahu utangnya. Juga kisah Shadaqah bin Sulaiman Al-Ja’fari dan pemberitahuannya kepada anaknya atas apa yang dilakukan anaknya setelah kematian Shadaqah. Kisah Syabib bin Syaibah dan ucapan ibunya kepadanya setelah kematiannya (dalam mimpi), “Semoga Allah memberimu balasan baik,” karena dia telah menalkin ibunya dengan lâ ilâha illallâh. Juga kisah Al-Fadhl bin Al-Muwaffiq beserta anaknya, yang memberi tahu anaknya bahwa dia mengetahui ziarah anaknya kepadanya.
Sa’id bin Al-Musayyib berkata, “Suatu ketika Abdullah bin Salam dan Salman Al-Farisi bertemu, dan masing-masing berkata pada yang lain, ‘Jika engkau mati sebelum aku, beritahukan aku apa yang engkau jumpai dari Tuhanmu. Dan jika aku mati sebelum kamu, aku akan menemuimu dan memberitahumu. Lalu yang lain bertanya, ‘Apakah ruh orang mati dapat bertemu dengan ruh orang hidup?’ Dia menjawab, ‘Ya. Ruh mereka di surga, pergi ke mana saja dia suka.’ Lalu, salah satu dari mereka meninggal, dan menemuinya dalam mimpi. Kemudian, dia berkata, ‘Bertawakallah. Aku memberimu kabar gembira, aku tidak pernah melihat balasan seperti balasan tawakal.’”
Al-‘Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Aku pernah ingin sekali bertemu Umar di dalam mimpi. Aku tidak pernah mampu mimpi bertemu dengannya kecuali setelah hampir satu tahun. Dalam mimpi, aku melihatnya sedang menyeka keringat di dahinya, dan dia berkata, ‘Ini adalah waktu istirahatku, hampir saja ‘arsy-ku hancur andai aku tidak bertemu dengan orang yang pengasih dan penyayang.’”
Ketika Syuraih bin ‘Abid Ats-Tsumali menjelang kematiannya, ‘Afif bin Al-Harits bertamu dan memberinya keteguhan, “Dia berkata, ‘Wahai Abu Al-Hajjaj (Syuraih), jika engkau mampu untuk mendatangiku setelah kematian, berilah kabar kepada kami apa yang engkau lihat.’ Syuraih bin ‘Abid berkata, ‘Itu adalah kalimat yang diterima oleh ahli fikih.’ Selang waktu yang lama, ‘Afif bin Al-Harits tidak bermimpi bertemu dengannya. Hingga suatu ketika dia pun bermimpi dan berkata, ‘Bukankah engkau telah meninggal?’ Syuraih bin ‘Abid menjawab, ‘Ya.’ ‘Afif bin Al-Harits bertanya, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Syuraih bin ‘Abid menjawab, ‘Tuhanku telah mengampuni dosa-dosaku. Tidak ada yang hancur dari kami selain Al-Ahradh.’ Aku bertanya, ‘Siapakah Al-Ahradh?’ Dia menjawab, ‘Orang-orang yang dituding oleh banyak orang karena melakukan sesuatu.’”
Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz berkata, “Aku pernah mimpi bertemu ayahku setelah kematian beliau; seolah dia ada di taman. Dia memberiku beberapa buah apel. Kemudian, aku menakwilkannya (mengartikannya) sebagai anak lelaki. Aku bertanya, ‘Amal apakah yang engkau jumpai sebagai amal yang paling utama?’ Dia menjawab, ‘Istighfar, wahai anakku.’”
Maslamah bin Abdul Malik pernah bermimpi bertemu Umar bin Abdul Aziz setelah kematiannya. Maslamah bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, aku berharap mengetahui bagaimana keadaanmu setelah meninggal?” Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Wahai Maslamah, ini adalah waktu istirahatku. Demi Allah, aku tidak pernah istirahat melainkan sekarang ini.” Aku pun bertanya, “Lantas, di mana kedudukanmu, wahai Amirul Mukminin?” Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Bersama para imam-imam yang diberi petunjuk, di Surga ‘Adn.”
Shalih bin Al-Barrad berkata, “Aku pernah mimpi melihat Zurarah bin Aufa setelah kematiannya. Aku bertanya kepadanya, ‘Semoga Allah merahmatimu. Apa yang ditanyakan kepadamu dan apa jawabanmu?’ Dia berpaling dariku. Aku bertanya lagi, ‘Apa yang dilakukan Allah kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Dia mempersilakan padaku menikmati kebaikan dan kemuliaan-Nya.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana dengan Abu Al-‘Ala’ bin Yazid saudara Mutharrif?’ Dia menjawab, ‘Dia ada di derajat tinggi.’ Lalu aku bertanya, ‘Apakah amal yang paling utama menurut kalian?’ Dia menjawab, ‘Tawakal dan pendek angan.’”
Malik bin Dinar berkata, “Aku mimpi bertemu Muslim bin Yasar setelah kematiannya. Aku sampaikan salam kepadanya, tetapi dia tidak menjawab salamku. Aku bertanya, ‘Apa yang menghalangimu menjawab salamku?’ Dia berkata, ‘Aku telah mati, bagaimana aku menjawab salammu.’ Aku katakan kepadanya, ‘Apa yang engkau temui setelah kematian?’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, aku menjumpai ketakutan dan guncangan hebat.’ Malik bin Dinar berkata, ‘Aku bertanya kepadanya, ‘Apa setelah itu?’ Dia menjawab, ‘Apa saja yang engkau lihat sebagai kemuliaan. Amal-amal baik kami diterima, amal-amal buruk kami dimaafkan, dan tanggung jawab kami ditanggung.’” Kemudian, Malik bin Dinar menghela napas panjang dan tersungkur pingsan. Dia jatuh sakit selama beberapa hari, jantungnya sakit, dan akhirnya dia meninggal.
Sahl, saudara Hazm berkata, “Aku pernah mimpi bertemu Malik bin Dinar setelah kematiannya. Aku bertanya, ‘Aku berharap mengetahui apa yang engkau persembahkan kepada Allah?’ Dia menjawab, ‘Aku mempersembahkan dosa yang banyak sekali, lalu Allah menghapus semuanya karena prasangka baikku kepada Allah Azza wa Jalla.’”
Ketika Raja’ bin Haiwah meninggal, seorang perempuan saleh bermimpi bertemu dengannya. Perempuan saleh itu bertanya, ‘Wahai Abu Al-Miqdam, bagaimana keadaanmu?’ Raja’ bin Haiwah menjawab, ‘Baik. Tapi, setelah itu kami panik. Kami mengira kiamat telah tiba.’ Perempuan saleh itu berkata, ‘Apa penyebabnya?’ Raja’ bin Haiwah menjawab, ‘Karena, Al-Jarrah masuk bersama para sahabatnya ke surga. Karena begitu banyak, mereka berdesakkan di pintu surga.’”
Jamil bin Murrah berkata, “Muwarriq Al-‘Ijli adalah saudara sekaligus temanku. Pada suatu hari aku berkata kepadanya, ‘Siapa yang mati lebih dahulu di antara kita, hendaknya dia memberi kabar tentang apa yang terjadi padanya.’ Muwarriq ternyata meninggal lebih dahulu. Lalu, istriku melihatnya dalam mimpi, seolah dia bertamu sebagaimana dia bertamu saat masih hidup. Muwarriq mengetuk pintu sebagaimana yang biasa dia lakukan. Istriku berkata, ‘Aku berdiri dan aku bukakan pintu untuknya, sebagaimana biasa aku membukakannya. Aku berkata, ‘Masuklah, wahai Abu Al-Mu’tamar, menuju pintu saudaramu.’ Muwarriq berkata, ‘Bagaimana aku masuk, sedangkan aku telah mati. Sesungguhnya aku datang hanya ingin memberi tahu Jamil atas apa yang diperbuat Allah kepadaku. Beri tahukanlah kepada Jamil, bahwa Allah telah menempatkanku di derajat Al-Muqarrabîn.’”
Ketika Muhammad bin Sirin meninggal, salah satu dari sahabatnya larut dalam kesedihan yang dalam. Lalu, dia bertemu dalam mimpi bahwa Muhammad bin Sirin dalam keadaan baik. Dia pun berkata, ‘Wahai saudaraku, aku telah melihat keadaanmu yang membahagiakanku. Lalu, bagaimana dengan Al-Hasan?’ Muhammad bin Sirin menjawab, ‘Derajatnya diangkat tujuh puluh derajat di atasku.’ Mereka bertanya, ‘Bagaimana bisa begitu, sedangkan yang kami tahu engkau lebih mulia dari dia?’ Muhammad bin Sirin menjawab, ‘Itu karena lamanya dia dalam kesedihan.’”
Ibnu ‘Uyainah berkata, “Aku pernah bertemu Sufyan Ats-Tsauri dalam mimpi. Lalu aku berkata, ‘Berilah aku wasiat?’ Sufyan Ats-Tsauri berkata, ‘Kurangilah dirimu dari popularitas.’”
‘Ammar bin Saif berkata, “Aku melihat Al-Hasan bin Shalih di dalam tidurku dan aku berkata, ‘Aku sangat ingin bertemu denganmu, apa yang terjadi padamu, beri tahukanlah kepada kami?’ Al-Hasan berkata, ‘Sampaikanlah kabar gembira, sesungguhnya aku tidak melihat satu pun (amal baik semulia) berprasangka baik kepada Allah.’”
Ketika Dhaigham bin Al-‘Abid meninggal, salah satu muridnya bertemu dalam mimpi. Dhaigham berkata, “Tidakkah engkau mendoakanku?” Mereka lalu mengatakan alasan. Dhaigham berkata, “Adapun jika engkau berdoa untukku, tentu engkau sangat beruntung.”
Ketika Rabi’ah meninggal, seorang murid perempuannya melihatnya dalam mimpi. Dia melihat Rabi’ah mengenakan baju brokat dan hijab dari sutra. Padahal, jasad Rabi’ah dikafani dengan jubah dan hijab dari kain wol. Muridnya bertanya, “Apa yang terjadi dengan jubah dan hijab dari kain wol yang dikafankan kepadamu?” Rabi’ah menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya pakaian itu dilepas dariku dan diganti dengan pakaian ini, seperti yang engkau lihat. Kafan-kafanku dibuang dan disingkirkan. Lalu, aku diangkat ke derajat ‘Illiyyîn, agar sempurna pahalaku pada Hari Kiamat kelak.”
Muridnya berkata, “Aku bertanya padanya, ‘Apakah untuk ini engkau beramal di dunia?’ Rabi’ah menjawab, ‘Bukan untuk ini, (terutama) setelah aku tahu semua ini adalah kemuliaan yang diberikan Allah kepada para aulia-Nya.’
Aku bertanya padanya, ‘Apa yang terjadi pada ‘Abdah binti Abu Kilab?’ Rabi’ah menjawab, ‘Sungguh, sungguh, ia lebih unggul dari kami. Demi Allah, ia ada di derajat yang tinggi.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana bisa? Sedangkan engkau adalah manusia paling kuat ibadahnya di antara manusia?’ Rabi’ah menjawab, ‘Sesungguhnya ia tidak pernah peduli bagaimana pun kondisinya ketika pagi, saat di dunia, dan ketika sore hari (selalu bersyukur dan mengingat Allah).’
Lalu aku bertanya, ‘Bagaimana dengan Abu Malik?’ Maksudnya adalah Dhaigham. Rabi’ah menjawab, ‘Allah mengunjunginya kapan saja yang Dia kehendaki.’ Aku bertanya, ‘Apa yang terjadi dengan Bisyr bin Manshur?’ Rabi’ah menjawab, ‘Wah wah, demi Allah, dia diberikan (anugerah) lebih dari yang dia harapkan.’
Aku berkata, ‘Perintahkanlah aku dengan sesuatu yang membuatku mendekatkan diri kepada Allah.’ Rabi’ah berkata, ‘Engkau harus banyak berzikir, hampir dipastikan amal itu dapat membahagiakan di dalam kuburmu.’”
Ketika sosok yang ahli ibadah, Abdul Aziz bin Sulaiman meninggal, salah satu dari muridnya melihatnya dalam mimpi. Dia memakai baju berwarna hijau, dan di kepalanya ada mahkota dari mutiara. Muridnya bertanya, “Bagaimana keadaanmu, bagaimana rasanya kematian, bagaimana kondisi di sana?” Abdul Aziz menjawab, “Adapun kematian, jangan tanya tentang betapa dalam kesedihan dan kegundahannya. Hanya saja rahmat Allah menyembunyikan semua aib kami dan kami tidak disambut kecuali dengan keutamaan-Nya.”
Shalih bin Bisyr berkata, “Ketika ‘Atha’ As-Sulami meninggal, aku bertemu dengannya dalam mimpi. Aku berkata, ‘Wahai Abu Muhammad, bukankah engkau telah meninggal?’ ‘Atha’ As-Sulami menjawab, ‘Benar.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana keadaanmu setelah kematian?’ ‘Atha’ As-Sulami menjawab, ‘Demi Allah, aku menjadi lebih baik, dan mendapatkan ampunan dari Allah yang Maha Pengampun dan Maha Pembalas.’
Aku berkata, ‘Demi Allah, bukankah engkau di dunia dalam keadaan sedih berkepanjangan?’ ‘Atha’ As-Sulami tersenyum dan berkata, ‘Demi Allah, Dia telah menggantikan kesedihan itu dengan kenyamanan yang panjang dan kebahagiaan abadi.’ Aku bertanya, ‘Di derajat manakah engkau?’ ‘Atha’ As-Sulami menjawab, ‘Bersama orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.’”
Ketika ‘Ashim Al-Jahdari meninggal, salah satu dari keluarganya bermimpi melihatnya. Dia berkata, “Bukankah engkau telah meninggal?” ‘Ashim Al-Jahdari menjawab, “Benar.” Dia bertanya, “Lalu di mana engkau?’ ‘Ashim Al-Jahdari menjawab, “Demi Allah, saya ada di salah satu taman surga. Saya dan beberapa orang dari sahabatku berkumpul setiap malam dan pagi Jumat pergi menemui Bakr bin Abdullah Al-Muzanni, lalu kami minta diberi tahu tentang kabar kalian.” Aku bertanya, “Jasad kalian ataukah ruh kalian?” ‘Ashim Al-Jahdari menjawab, “Jasad-jasad telah hancur, yang bertemu hanya ruh-ruh saja.”
Seseorang pernah bermimpi tentang Al-Fudhail bin ‘Iyadh setelah kematiannya, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat hamba terbaik dari Tuhannya.”
Murrah Al-Hamadzani pernah sujud hingga dahinya tenggelam ke tanah. Setelah dia mati, seseorang dari keluarganya bermimpi bertemu dengannya. Dia melihat tempat sujudnya itu seperti bintang berkilauan. Saudaranya itu bertanya, “Bekas apakah yang aku lihat di wajahmu itu?” Murrah Al-Hamadzani menjawab, “Tempat sujudku yang dibungkus dengan tanah yang bercahaya.” Saudaranya itu berkata, “Aku bertanya, ‘Di mana kedudukanmu di akhirat?’ Murrah Al-Hamadzani menjawab, ‘Tempat yang paling baik. Rumah yang penghuninya tidak akan pindah darinya dan mereka tidak mati.’”
Abu Ya’qub Al-Qari berkata, “Aku melihat dalam tidurku seseorang yang tinggi besar dan orang-orang mengikutinya. Aku bertanya, ‘Siapakah dia?’ Mereka menjawab, ‘Uwais Al-Qarni.’ Aku pun mengikutinya dan aku berkata, ‘Berilah aku wasiat, semoga Allah merahmatimu.’ Dia menatap wajahku. Aku berkata, ‘Pemberi petunjuk, berilah aku petunjuk, semoga Allah merahmatimu.’ Lalu dia menghadap ke arahku dan berkata, ‘Berharaplah rahmat Allah dalam mencintai-Nya, takutlah akan siksa-Nya karena bermaksiat kepada-Nya, janganlah berhenti berharap dari-Nya di sela-sela itu.’ Kemudian, Uwais Al-Qarni pergi meninggalkanku.”
‘Berharaplah rahmat Allah dalam mencintai-Nya, takutlah akan siksa-Nya karena bermaksiat kepada-Nya, janganlah berhenti berharap dari-Nya di sela-sela itu.’
—Pesan Uwais Al-Qarni kepada Abu Ya'qub Al-Qari
Ibnu As-Samak berkata, “Aku bertemu Mis’ar bin Kidam di dalam tidurku. Aku bertanya, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Dia menjawab, ‘Majelis zikir.’” Al-Ajlah berkata, “Aku melihat Salamah bin Kuhail dalam tidurku, lalu aku bertanya, ‘Amal apakah yang engkau jumpai sebagai amal yang paling utama?’ Dia menjawab, ‘Qiyamul Lail.’”
Abu Bakar bin Abu Maryam berkata, “Aku mimpi melihat Wafa’ bin Bisyr setelah kematiannya. Aku bertanya, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai Wafa’?’ Dia menjawab, ‘Aku selamat setelah melakukan berbagai usaha keras.’ Aku bertanya, ‘Lalu, amal apakah yang engkau jumpai sebagai amal yang paling utama?’ Dia menjawab, ‘Menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla.’”
Al-Laits bin Sa’d menerima riwayat dari Musa bin Wardan yang berkata, “Sesungguhnya aku bermimpi melihat Abdullah bin Abu Habibah setelah kematiannya. Dia berkata, ‘Ditampakkan kepadaku, amal-amal baikku dan amal-amal burukku. Aku melihat pada amal-amal baikku biji-biji delima. Aku mengambilnya dan memakannya. Dan, aku melihat pada amal-amal burukku dua benang sutra yang ada di peciku.’”3
Sunaid bin Daud berkata, “Aku menerima riwayat dari keponakanku, Juwairiyah bin Asma’ yang berkata, ‘Kami pernah tinggal di Kota ‘Abbadan, lalu datang seorang pemuda yang ahli ibadah dari penduduk Kufah. Kemudian dia mati di ‘Abbadan pada hari yang sangat panas. Aku berkata, ‘Kita tunggu cuaca dingin lebih dahulu, baru kita urus jenazahnya.’
Kemudian aku tertidur, dan bermimpi seolah aku ada di komplek pemakaman. Tiba-tiba di sana ada kubah berlian yang memancar indah. Aku lihat tiba-tiba kubah itu terbelah dan muncul darinya seorang gadis yang kecantikannya tidak pernah aku lihat. Dia menghampiriku dan berkata, ‘Demi Allah, jangan engkau tahan dia (jenazah anak muda itu) dari kami hingga waktu Zuhur.’ Juwairiyah bin Asma’ berkata, ‘Lantas aku tersentak dan terbangun, aku pun segera mengurus jenazah anak muda itu, kemudian aku gali kuburan untuknya di tempat aku melihat kubah (dalam mimpiku). Lalu, aku makamkan dia di sana.’”
Abdul Malik bin ‘Attab Al-Laitsi berkata, “Aku melihat ‘Amir bin ‘Abdul Qais dalam mimpiku. Aku bertanya, ‘Amal apakah yang engkau jumpai sebagai amal yang paling utama?’ Dia menjawab, ‘Amal yang aku lakukan demi mengharap ridha Allah Azza wa Jalla.’”
Yazid bin Harun berkata, “Aku melihat Abu Al-‘Ala’ Ayyub bin Miskin di dalam tidurku. Aku bertanya, ‘Apa yang dilakukan Tuhanku terhadapmu?’ Dia menjawab, ‘Dia telah mengampuniku.’ Aku bertanya, ‘Karena apa?’ Dia menjawab, ‘Dengan puasa dan shalat.’ Aku bertanya, ‘Apakah engkau melihat Manshur bin Zadan?’ Dia menjawab, ‘Sungguh, dia itu, aku melihat istananya dari jauh.’”
Yazid bin Na’amah berkata, “Seorang gadis meninggal karena wabah penyakit yang sangat ganas. Lalu, ayahnya bertemu dengannya dalam mimpi setelah kematiannya. Bapaknya bertanya, ‘Wahai anakku, beri tahukanlah aku tentang akhirat.’ Anaknya menjawab, ‘Wahai ayahku, kami dihadapkan pada perkara yang besar, kami mengetahui (balasannya) tapi kami tidak (mampu) mengamalkannya. Sedangkan kalian beramal, tapi kalian tidak mengetahui (balasannya). Demi Allah, satu atau dua bacaan tasbih, satu atau dua rakaat di dalam catatan amalku, lebih aku cintai daripada dunia dan seisinya.’”
Katsir bin Murrah berkata, “Dalam tidurku aku bermimpi, seolah aku masuk ke dalam derajat yang tinggi di dalam surga. Aku pun berkeliling di dalamnya dan aku dibuat takjub dengannya. Tiba-tiba saya bertemu dengan sekumpulan perempuan, dari perempuan-perempuan yang biasa ke masjid. Mereka ada di ujung tempat itu. Aku pun pergi dan aku ucapkan salam kepada mereka. Kemudian aku bertanya, ‘Dengan apa kalian bisa sampai ke derajat ini?’ Mereka menjawab, ‘Dengan sujud dan takbir.’”
Muzahim, pelayan Umar bin Abdul Aziz berkata, “Fathimah binti Abdul Malik, istri Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Pada suatu malam Umar bin Abdul Aziz terbangun dari tidurnya dan dia berkata, ‘Aku bermimpi mengalami sesuatu yang menakjubkan.’ Istrinya berkata, ‘Aku bertanya, ‘Aku rela jadi tebusanmu, ceritakanlah kepadaku mimpi itu.’ Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Aku tidak akan memberitahukan perihal mimpi itu hingga pagi menjelang.’
Ketika terbit fajar, Umar bin Abdul Aziz keluar dan menjalankan shalat. Kemudian dia kembali ke majelisnya. Istrinya berkata, ‘Aku mencuri kesempatan saat dia sendirian. Dan aku berkata, ‘Beri tahukanlah aku mimpi yang engkau alami itu.’ Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Aku bermimpi seolah aku diangkat ke suatu bagian bumi yang hijau dan luas, seolah itu adalah karpet warna hijau. Tiba-tiba di sana ada istana putih seakan ia terbuat dari perak. Dan tiba-tiba ada seseorang keluar dari istana itu.
Lalu, dia memanggil dengan suaranya yang paling keras. Dia berkata, ‘Di mana Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib? Di mana Rasulullah Saw.?’ Tiba-tiba Rasulullah Saw. datang hingga akhirnya masuk ke istana itu. Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Kemudian ada orang lain keluar dari istana itu dan dia memanggil, ‘Di mana Abu Bakar Ash-Shiddiq? Di mana Ibnu Abi Quhafah?’ Tiba-tiba Abu Bakar datang hingga akhirnya masuk ke istana tersebut.
Kemudian, orang lain keluar dan memanggil, ‘Di mana Umar bin Al-Khaththab?’ Maka datanglah Umar bin Al-Khaththab hingga akhirnya masuk ke istana tersebut. Kemudian, keluarlah orang lain dan dia memanggil, ‘Di mana Utsman bin ‘Affan?’ Datanglah Utsman bin Affan kemudian masuk ke istana tersebut. Kemudian, orang lain keluar dan memanggil, ‘Di mana Ali bin Abi Thalib?’ Maka datanglah Ali bin Abi Thalib dan kemudian masuk ke istana tersebut.
Kemudian, orang lain keluar dan memanggil, ‘Di mana Umar bin Abdul Aziz?’ Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Aku pun berdiri dan masuk ke istana tersebut.’ Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Aku langsung menuju Rasulullah Saw. dan orang-orang sudah berkumpul di sisi beliau. Aku berkata dalam hati, ‘Di mana aku duduk?’ Maka aku duduk di sisi bapakku, Umar bin Al-Khaththab.
Kemudian aku memperhatikan, Abu Bakar berada di sisi kanan Rasulullah Saw. dan Umar ada di sisi kirinya. Lalu, setelah aku cermati, ternyata di antara Rasulullah Saw. dan Abu Bakar ada seseorang. Aku bertanya, ‘Siapa orang yang ada di antara Rasulullah Saw. dan Abu Bakar itu?’ Dia menjawab, ‘Dia adalah Isa bin Maryam.’