Untuk jiwa-jiwa silam yang raga serta nyawanya terampas ….
Untuk raga-raga kini yang jiwa serta pikirnya menagih impas ….
Balutan kata ini sudah pasti tak akan membuat luka terlepas ….
Hanya sebagai pengingat hari depan, agar cerita tak begitu saja dianggap ampas ….
***
“Maskapai Singapore buat jam dua puluh dua sepuluh! Maskapai Singapore buat jam dua puluh dua sepuluh! Empat seat! Empat seat! Empat seat!” teriak seorang anak muda berambut gondrong. Entah sudah berapa kali, dia mengorbankan urat lehernya yang jadi terlihat jelas di permukaan kulit. Hati-hati saja putus bersama pita suaranya.
Mungkin bagi anak muda itu tak mengapa pita suaranya terputus. Asalkan, bukan harapan masa depan bangsa dan bernegaranya yang terputus. Dia juga berharap saudara setanah airnya selalu selamat dan dalam lindungan Tuhan. Siapa itu? Tentu saja mereka yang bisa saja berbeda suku, agama, dan ras darinya, tetapi jiwa dan semangatnya bernapaskan merah putih!
Nama anak muda itu adalah Gema. Mungkin karena itu dia sering menggemakan bantuan dengan suaranya yang lantang. Siang tadi saja, dia meneriakkan aba-aba agar orang-orang menjauh dari kobaran api di beberapa ruko. Ya! Beberapa hari terakhir di Bulan Mei ini, beberapa gedung, mobil, toko, bahkan manusia habis dilahap api.
“Apa, Mas? Tadi Mas teriak apa?” Meskipun suara Gema sudah diusahakan mencapai delapan oktaf, ada saja orang yang tak menangkap teriakan pemuda itu. Mungkin wajar. Karena situasi malam ini di ruang serbaguna samping rumah Pak RW begitu riuh, genting, dan tak menentu. Semua orang panik. Untuk beberapa hari belakangan ini, rasanya sudah biasa pula terdengar suara pecahan kaca, sirene polisi, ambulance, bahkan dentuman yang tak jelas asalnya. Entahlah, ibukota sedang memarodikan neraka barangkali.
“Iya, maskapai Singapore, Pak! Berangkat jam sepuluh lewat sepuluh malam!” Kalau biasanya malam-malam begini waktu Gema dihabiskan untuk menonton bola atau duduk-duduk minum kopi di pos hansip, kini aktivitasnya mengharuskan tenaganya banyak terkuras.
“Mas! Saya mau! Saya mau naik pesawat itu!” beberapa orang berkerubung di sekitar Gema. Beberapa di antaranya sebenarnya tak dikenalnya. Maklum, malam ini tak hanya warga satu RW-nya yang mendatangi gedung serbaguna. Tempat berbagai acara atau pertandingan olahraga ini pun seolah telah disulap menjadi tempat untuk mengungsi, untuk bergantung hidup. Kompor dari dapur umum pun tak berhenti memasak mie instan maupun air panas, sedangkan persediaan gas semakin menipis.
“Sakit!” kebanyakan air yang dimasak sampai mendidih di kompor itu pun bisa jadi bukan untuk diminum. Ada yang dipakai untuk mengopres luka memar para pengungsi akibat terpaan benda tumpul, atau sekedar membasuh badan yang seharian belum bersih-bersih.
“Mas! Saya mau tiketnya!” karena di sekitar Gema begitu gaduh, orang-orang yang mengerubungi pemuda ini pun terus membesarkan volume suaranya. Pupil mata mereka membesar. Ketenangan saat ini begitu langka diraih.
“Iya! Iya! Iya! Sabar!” Gema berusaha membuat orang-orang di sekitarnya tenang. Dia sendiri pada saat ini tak hanya berusaha tenang, tetapi juga waras.
“Saya mau ikut pergi naik pesawat, tapi anak perempuan saya tidak tahu ada di mana. Dia seharusnya sudah pulang kerja!” pekik seorang wanita paruh baya seraya menangis, “Bagaimana ini? Apa terjadi sesuatu dengannya di perjalanan pulang?”
“Ibu tunggu saja dulu di sini,” respons Gema dengan nada bicara yang menenangkan, “Kita pastikan dulu kabar untuk anak ibu. Kita sama-sama berdoa di sini, ya, Bu. Sementara ini, tiket pesawat untuk mereka yang sudah lengkap anggota keluarganya di sini.”
“Kalau keluarga kami sekarang sudah lengkap, Mas! Ada 4 seat pesawat menuju Singapura, kan? Pas berarti, Mas! Saya, istri saya, anak saya dua!” timpal seorang bapak berkepala botak dengan keringat yang tak berhenti mengucur. Kemejanya terkena siraman cat berwarna hijau, kuning, dan merah. Memang siang tadi dia masih berusaha menghalau orang-orang tak dikenal yang menghancurkan toko bangunannya. Nama toko bangunannya sesuai dengan namanya, ‘Cahya’. Bahan-bahan bangunan yang dijual di toko Cahya tadi siang ada yang dijarah atau dihancurkan. Beberapa di antaranya yang dihancurkan adalah kaleng-kaleng berisi cat dinding beraneka warna. Ada pula yang sengaja disiramkan kepadanya.
“Langsung berangkat sekarang ke bandara pakai mobil Kijang Kotak yang di sana, ya, Pak! Sudah ada sopir dari tim kami” Gema menepuk pundak Pak Cahya. Bersamaan dengan ini, dilihatnya kawan sesama relawannya. Dia pun berteriak, “Woy! Ini antar bapaknya sama keluarganya ke Cengkareng!”
"Oke!" seru si sopir yang sama-sama anggota relawan seperti Gema. Mobil Kijang kotak itu sendiri adalah milik Pak RW.
“Terima kasih, Mas.” timpal Bu Cahya yang sudah memakai kapas dan plester di dahi kanannya. Ketika siang tadi dia berlari mencari tempat aman, wajahnya tak sengaja terkena serpihan kaca dari etalase sebuah toko. Dia memang berhasil menghindari beberapa buah batu yang dilemparkan kepadanya, tetapi sayangnya ada satu batu yang terlempar memecah kaca dan mengenai ibu muda ini.
“Papi, aku belum pamitan sama Edrea. Besok kan aku janjian mau main bekel di rumahnya. Besok libur sekolah soalnya. Bolanya pakek bola baruku yang gambar Sailor Moon,” kata salah satu anak dari Pak Cahya seraya menarik lengan papinya. Kelihatannya usianya masih sekitar enam atau tujuh tahun.
Pak Cahya mengusap rambut anak bungsu perempuannya itu agar lebih tenang. “Iya, Sayang. Kita lagi buru-buru," katanya. "Papi janji, nanti kalau kita sudah sampai Singapura, kita telepon Edrea, ya. Papi aja sekarang belum ganti baju.”
“Mami sempat bawakan kaos untuk Papi di tas.” Bu Cahya menunjuk tas ransel hitam bergambar tokoh Superhero Power Rangers yang dipanggulnya. Sepertinya tas besar itu milik anak sulung laki-lakinya yang berusia sembilan tahun. Namanya juga sedang terburu-buru. Asal saja mengambil tas dan barang bawaan.
“Edrea pasti bingung ke mana bisa hubungin aku. Makanya, aku yang bisa telepon dia sekarang di rumahnya. Aku hafal nomor telepon rumahnya. Harusnya aku sekarang telepon Edrea, Pi.”
“Iya, Sayang. Nanti setelah kita selesai segala urusan, kita telepon Edrea, ya.”
Dipikir dapat mengulur waktu, Pak Cahya memutuskan untuk menggendong anak perempuannya. Di sampingnya, Bu Cahya dan anak laki-laki sulungnya memegangi lengannya. Terlihat jelas sekali bahwa satu keluarga ini tak ingin berjauhan satu sama lain. Pemadangan yang mereka saksikan hari ini cukup meyakinkan mereka bahwa pada saat ini hanya anggota keluarganya yang dapat dipercaya, khususnya, hanya papinya yang dapat diandalkan.
“Edrea!” teriak anak perempuan berusia enam tahun itu. Dia terus meneriakkan nama sahabatnya. Dia sudah menantikan hari esok untuk bermain. Dia tak mengerti apa pun mengenai situasi saat ini. Satu hal yang ada dipikirannya hanyalah bermain dengan Edrea. “Aku mau di sini aja! Biar Edrea bisa ketemu aku!” energi anak kecil ini masih cukup kuat untuk berontak. Dia berhasil terlepas dari gendongan papinya dan berlari menjauhi keluarga kecilnya itu.
“Meylisa! Meylisa!” seru Pak Cahya. “Mas! Mas! Maaf, Mas! Anak saya!” lagi-lagi, dia meminta bantuan Gema.
“Dek? Dek? Dek?” refleks, Gema mengejar anak kecil bernama Meylisa itu. “Meylisa!” Karena mendengar papi dari Meylisa meneriakkan nama anak kecil menggemaskan ini, dia pun mencoba mengikutinya.
“Edrea!” Meylisa berlari melewati gerbang gedung serbaguna. Suara imutnya tak berhenti memanggil nama sahabat sekaligus tetangganya itu. Dia sampai tak peduli kedua kaki mungilnya sempat masuk kubangan air dan mengotori sandal bergambar Sailor Moon-nya. “Kamu di mana?” dia sebenarnya juga tak ingin berpisah dengan lingkungan rumahnya. Apa benar papinya saat ini akan membawa dirinya sekeluarga ke Singapura? Meninggalkan tanah air? Lalu, bagaimana dengan Edrea? Sekolahnya? Mainan-mainannya di rumah? Apa semua hal menyenangkan itu harus segera dia tinggalkan malam ini juga?
“Dek! Dek! Dek Meylisa!” teriak Gema. Takut terjadi sesuatu jika Meylisa semakin jauh dari gedung serbaguna, dengan susah payah, pemuda ini terus berlari. Kaki kanannya sendiri sedikit pincang karena pernah terkilir ketika memisahkan dua massa yang tawuran hebat dua tahun lalu di depan kantor Partai Politik. “Auw!” Walau sakit, dia terus berusaha menahannya. Salah satu caranya untuk kuat dan menerobos saja rasa sakit di kakinya itu adalah dengan menganggap bahwa semua ini adalah cara Tuhan untuk mengingatkannya kembali dengan peristiwa tak mengenakan itu. Soal perdamaian di tanah ibu pertiwi, Gema memang sudah menganggapnya sebagai tugas yang mendarah daging. Mendiang ayahnya adalah orang kepercayaan RW yang dahulu diminta mengawasi jam malam masyarakat pada peristiwa '65. Mendiang kakeknya adalah sipil yang membantu konsumsi pasukan Siliwangi Angkatan Darat dalam gerakan Agresi Militer Belanda.
“Edrea!” Meylisa memanggil Edrea terus-menerus. Dia sampai memasuki gang sempit. Jujur saja, Gema jadi takut jika anak itu malah diketahui keberadaannya oleh sekelompok orang yang tak dikenal. Dia sendiri tak bisa menebak akan ada siapa di ujung gang sana. Penerangan sekitar pun hanya lampu kuning temaram di beberapa sudut.