Perjalanan Sembilan Delapan

Silvarani
Chapter #2

Hari Terakhir Diantar Sekolah

Mei 2023

“Halo? Edrea? Kamu sudah sampai di Singapore? Kok baru telepon ibu siang ini?” tanya seorang ibu pada panggilan telepon anak perempuannya.

Dua puluh lima tahun telah berlalu. Anak kecil bernama Edrea yang ikut menginap di gedung serbaguna pada suatu malam bulan Mei tahun 1998 itu tentunya sudah tumbuh dewasa. Usianya tahun ini menginjak tiga puluh satu. Statusnya masih single alias lajang karena tahun lalu baru dikhianati mantan tunangannya yang diam-diam selingkuh. Setelah putus, dia resign dari pekerjaannya sebagai seorang sekretaris di perusahaan tour and travel.

Perubahan Edrea setelah putus cinta tampaknya lumayan "Revolusioner" alias meluas dan cepat. Tak hanya mengundurkan diri dari aktivitas berkantornya, tetapi dia juga memotong rambutnya dari sepinggang menjadi sebahu. Dia merasa butuh ketenangan sekaligus suasana baru.

Di waktu-waktu kosong pada kesehariannya yang baru ini, Edrea kembali ke pekerjaan serabutannya sejak usia remaja, yaitu membantu ibunya berjualan nasi uduk di samping rumah mereka. Selain itu, dia menggunakan uangnya untuk bersenang-senang. Misalnya saja seperti menonton konser musik band favoritnya di luar negeri. Dia sendiri kesal karena band asal Inggris itu tidak manggung di tanah air. Namun, biarlah! Mungkin karena inilah, dia jadi tergerak liburan ke luar negeri untuk pertama kalinya. Seorang diri.

Ngomong-ngomong, mengapa aku tahu betul segala hal tentang Edrea ini?

Jawabannya adalah ....

Karena dia adalah aku.

“Bu? Ibu bisa dengar suaraku? Aku sudah sampai Singapore tadi malam. Sekarang aku lagi makan siang Nasi Lemak. Nggak jauh dari capsule hotel tempatku menginap,” ungkapku pada ibu yang kini merupakan satu-satunya anggota keluarga yang kumiliki. Pada suatu siang di bulan Mei tahun 2023, aku yang tengah duduk di Foodcourt Jellicoe Road Singapura menelepon ibu di Jakarta. Mata bermaskaraku berbinar. Malah sesekali, mulai mengeluarkan air mata. Aku terharu. Aku tak menyangka di usiaku yang sudah menginjak tiga puluh satu tahun ini, pada akhirnya, aku bisa pergi agak jauh dari rumah.

Berlebihan?

Mungkin bagi sebagian orang yang biasa berlibur ke luar negeri, ekspresiku ini berlebihan. Apalagi jarak Singapura sebenarnya tak seberapa jauh dari tanah air jika dibandingkan dengan berbagai negara yang terletak di benua lain. Atau bahkan, mungkin ada yang beranggapan bahwa langkahku ini terlambat. Bisa saja ada orang lain yang jauh lebih muda dariku dan mereka sudah menginjak Singapura beberapa kali.

Namun, tidak apa-apa bagiku. Menurutku, pencapaianku lumayan juga jika ditelisik dari latar belakang dan kondisiku. Aku adalah anak satu-satunya dari orang tua tunggal, seorang ibu penjual warung nasi uduk sederhana yang paling tidak mau ditinggal jauh oleh anaknya.

Jadi, aku tak dapat mengatakan bahwa apa yang kudapat hari ini adalah suatu hal yang mudah. Kurang lebih sudah sepuluh tahun lamanya aku bekerja sebagai pegawai di beberapa kantor, baru kali ini aku dapat mengumpulkan uang untuk berjalan-jalan ke luar negeri. Asal-muasal diriku bisa sampai ke sini sebenarnya berawal dari konser musik band barat favoritku. Saking inginnya menonton aksi panggungnya, aku sampai memerlukan waktu seharian untuk war ticket. Untungnya, aku dapat pula tiket konsernya.

“Wah, syukurlah kamu sudah sampai, Nak. Akhirnya kamu bisa juga sampai ke luar negeri, tapi kok, sudah jauh-jauh ke sana masih makan nasi lemak? Kamu harus coba makanan yang beda jauh sama nasi uduk buatan ibu, dong,” kelakar ibu. Suara lemah lembutnya yang biasa kudengar setiap hari di rumah, kali ini harus kuterima cukup berjarak keberadaannya. Berterima kasihlah pada teknologi karena dia mendekatkan jarak.

 “Iya, Bu. Nanti aku makan laksa,” ucapku asal menjawab, “Habisnya, aku kangen sama masakan ibu."

“Padahal kamu baru satu hari di sana, tapi kok sudah kangen nasi uduk ibu?" tanya ibu.

"Memang kangen."

“Katanya kangen, tapi kok kamu baru telepon ibu sekarang?”

Lihat selengkapnya