Perjalanan Semusim

Rafael Yanuar
Chapter #1

Simfoni Pepohonan (1)

Cinta adalah ribuan peristiwa

dalam satu kepakan sayap kupu-kupu


Malaikat perak menyelimuti kota dengan sayap putihnya. Beberapa helainya berguguran di genting dan kabel listrik. Sisanya memutihkan seluruh panorama dan membasahi syal dan topi pejalan kaki. Karena badai dan salju datang silih berganti, stasiun Gambir berhenti beroperasi, tapi deru loko tua sesekali terdengar membelah sunyi.

Laurel melewati ruko-ruko dan toko-toko yang sudah sayup bahkan sebelum pukul tujuh malam. Berjalan sepi di tanah bersalju membuatnya merindu hangatnya rumah yang mendekatkannya kepada dekap. Betapa tak ada yang didambakannya melebihi sup rempah beraroma lada dan tomat buatan Alexa, bersantai di ruang tamu yang dilapisi permadani tebal biru tua, dan menikmati hangat pendiangan di ruang tamu yang sarat dengan buku. Tapi tak ada gunanya mengharapkan sesuatu yang tak ada. Kau hanya perlu mengangkat kepala, lalu membuka mata dan telingamu lebar-lebar. Lagipula, Laurel, segalanya tidak seburuk itu. Bahkan jauh dari itu. Lampu pusparona menghiasi pohon fir di halaman-halaman rumah. Lagu-lagu Natal mengisi udara sunyi. Uap putih yang diembuskannya lenyap saat menyentuh udara.

Saat melewati jembatan, salju setinggi pergelangan kaki menghalangi langkah kecilnya. Laurel berhenti, mengibaskan serpih-serpih salju di sepatu dan celananya, kemudian melangkah lagi dengan tubuh sedikit membungkuk. Tetap saja dingin membesuk dan memasuki celah-celah bajunya.

Ah, Laurel termangu. Senyumnya merekah, seolah musim semi datang lebih cepat.

Di hadapannya, gugus cahaya bermunculan satu per satu. Kunang-kunang. Hanya sedikit yang berani menampakkan diri di permukiman warga. Sisanya bersembunyi di hutan pinus sudut kota; di antara pohon-pohon tua, berpendar seterang lampu Natal. Berbeda dengan kunang-kunang musim panas yang hanya memendarkan satu warna—yakni kuning-kehijauan—“kunang-kunang salju” memancarkan berbagai warna yang mampu ditangkap mata. Laurel sangat menyukainya, terlebih pada malam kelabu seperti sekarang, saat salju menebal dan memberatkan langkah kecilnya. Tangannya terangkat, hendak menangkap yang terdekat, tapi tak sekali pun berhasil. Kilaunya seolah mengurangi gigil di tubuhnya. Bahkan menghangatkan hatinya pula.

Di antara kunang-kunang, ada pula hewan lain yang mengisi udara. “Roh Salju”, namanya, bola bulu putih dengan dua mata dan mulut kecil, serta empat sayap tembus pandang yang menyerupai sayap capung. Bulunya selembut beludu. Warnanya sepucat rembulan. Mereka muncul saat salju pertama gugur, dan menghilang tanpa meninggalkan bekas sedikit pun, saat tunas pertama musim semi merekah.

Lalu ada dua makhluk purba, para malaikat dan naga, yang sepanjang hari menjaga langit. Malaikat memendarkan cahaya dari sumber surgawi yang tak kasatmata, yang tak silau dalam gelap dan jelas di terang siang. Begitu agung dan sunyi, tetapi juga sarat bunyi yang syahdunya melampaui nyanyi. Terkadang pendarnya gugur dalam bulu-bulu lembut yang padam saat menyentuh tanah. Jika kau berhasil menangkupnya, perasaan damai yang gaib sekaligus galib akan menyelimuti hatimu. Di sekitar malaikat, naga-naga berterbangan tanpa sedikit pun mengepakkan sayap. Satu naga muda bahkan hinggap di puncak Monas, memeluk emas yang menghiasi pucuknya. Naga dan malaikat sudah ada sejak Sang Jiwa menarikan tarian penciptaan sejenak setelah permulaan waktu.

Setelah menangkupkan tangan dan bersoja di hadapan Penghuni Langit, Laurel kembali melanjutkan perjalanan. Beruntung, dengan dua tangan terbuka lebar, dia berhasil meraih sehelai sayap cahaya yang gugur perlahan. Seketika saja, kehangatan mengisi denyut jantungnya dan mengalir bersama darahnya. Laurel tersenyum. Di sana-sini bulu-bulu berguguran, putih menyelimuti seluruh kota. Sayang tak ada yang menyadarinya selain Laurel. Ketukan tongkatnya di tanah bersalju menjadi satu-satunya suara yang menggema. Dia sudah melewati pusat kota dan tiba di daerah yang sunyi. Tak ada lagu Natal yang terdengar, hanya angin yang berembus tanpa suara. Untuk menghalau senyap, dia menyanyikan Ave Maria. Dia tidak melantunkan liriknya, sebab tidak hapal, hanya tahu bait Ave Maria / Gratia plena / Maria gratia plena. Seandainya ada Áine, pikirnya samar. Dia pasti mampu menyanyikannya dengan indah. Namun, tak ada Áine. Hanya ada kenangan yang berpendar lembut di benaknya.

Di taman-taman yang tersebar di sudut kota, bermunculan kupu-kupu yang sekilas menyerupai Rajah Brook Birdwing. Sama seperti kunang-kunang salju, sayap kupu-kupu itu juga memancarkan cahaya. Tetapi, hanya satu warna. Biru terang—sangat terang. Bakda magrib, anak-anak kerapkali mengejarnya dengan tongkat jaring, lalu melepaskannya lagi setelah berhasil menangkapnya. Tak butuh waktu lama, tongkat-tongkat itu tergeletak di bangku taman, menyisakan anak-anak yang memandang takjub pada kupu-kupu itu, yang sayapnya mengepak cepat, yang tubuhnya menari di antara butiran salju, yang pendarnya kian terang dalam sembab malam. Kupu-kupu itu hinggap di atas bunga-bunga yang hanya tumbuh saat salju berguguran—satu dari sedikit bunga yang mekar pada musim kelabu ini. Kelopaknya tembus pandang laiknya kaca. Warnanya menyerupai aurora-aurora kecil saat pendar rembulan menyentuhnya.

Lalu sampailah kita di sebuah bangunan dua lantai yang sudah sangat tua. Letaknya di dekat stasiun, di antara rumah-rumah dua lantai yang berbaris di sepanjang sempadan jalan. Cat merah di dindingnya sudah mengelupas.  Pintu kayunya pun lapuk dimakan usia. Namun, ruangan di dalamnya sehangat musim panen. Spada, Laurel berbisik begitu memasuki pintu, tapi tak ada yang menyahut. Sepi semata. Dan gelap. Dia menaiki tangga, lalu memasuki kamar yang disewanya beberapa hari lalu. Ada jendela di sisi ranjangnya, di sanalah dia biasa menghabiskan sisa malam, memandang waktu yang bekerja tanpa suara.

Salju turun sepanjang jalan, semakin larut semakin bertambah deras. Di jendela, samar-samar terdengar Adagietto Symphony 5 Mahler. Jaraknya tidak jauh. Archduke Trio Beethoven menyusul setelahnya. Laurel mendekatkan kepalanya ke kaca jendela, setengah melamun. Setiap kali musim dingin menggugurkan saljunya, dia terkenang cerita sedih yang sama, yang kelak diceritakan turun-temurun dalam dongeng.


***


Sudah bertahun-tahun berlalu sejak terakhir Laurel meninggalkan Desa Salju, tapi kenangan ketika bersama ibunya menetap di rumah kayunya yang mungil, tak kunjung hilang dalam ingatan. Biliknya dibangun di dekat sungai kecil nan dangkal, tapi deras dan berair jernih. Di halamannya, tumbuh pohon damar tua yang sudah ada sejak bermulanya ingatan. Laurel sering duduk dalam naungannya, menghadap perapian dapur yang ranting-rantingnya berkeritik dan membumbungkan aroma tanak nasi.

Sudah matangkah, Bu?

Belum, Nak. Sebentar lagi. Sudah lapar?

He'eh. Lapar.

Lalu tangan yang hangat membelai puncak kepalanya, menyisir rambutnya dengan jemari beraroma rempah dapur. Laurel meraih tangan ibunya, yang kini hanya angan-angan, lalu mendekatkannya ke pipi.

Ah—sudah berapa lama berlalu?

Saat itu, dia belum jua dewasa, tapi sungguh ingin dia mengulang masa kecilnya yang tak mengenal sakit ataupun derita. Setiap pagi, ibunya mengepang rambutnya dan memujinya cantik. Alangkah manis kamu, Laurel kecilku. Lesung pipimu melekukkan pipi bundarmu. Suaramu serupa kicauan pipit yang hanya mengenal hangat pagi. Dalam remang miang, kerap dalam benaknya terngiang, sop hangat yang selalu ibunya buat untuk sarapan, dan ketika berdua duduk di hadapan sungai nan tenang, dilatari riuh suara burung yang beradu kicau. Namun, semenjak ibunya mengembuskan napas penghabisan di tiang pancang, sebagai korban perburuan penyihir, Laurel menjalani harinya sendiri—bersembunyi dan mendekam sunyi, berharap tak terlihat.

Sudah lama sekali dia tidak memakan nasi, apalagi mencium aroma tanaknya. Sudah bertahun-tahun pula, perapian dapurnya tidak lagi mengepul. Sehari-harinya, Laurel menyantap buah-buah liar yang tumbuh di dalam hutan, atau menangkap ikan di sungai belakang rumahnya. Dia menyukai pemandangan bunga azalea yang putih seperti salju di rimba yang tidak terlalu dalam. Ketika matahari menyentuhnya, bunga-bunga yang semula putih itu, memantulkan cahaya hijau yang lembut seperti batu olivin. Ketika malam menjelang, dia kerap duduk dalam naungan pohon damar, lalu mempelajari mantra sihir yang setiap silabel mewakili sebuah nada. Setiap kata yang dia ucapkan menjelma nyanyian yang indah dan melangutkan hati—andai saja ada yang mendengarnya.

Lalu, suatu penyakit yang muskil disembuhkan, menyerang siapa saja di Desa Salju. Para tua, bayi, anak-anak, laki-laki, perempuan, dewasa, dan muda, bagai disentuh jemari Maut yang dingin. Sudah ribuan penawar diramu, tetapi nihil belaka hasilnya. Tabib-tabib menyerah. Dukun-dukun mengangkat tangan. Hanya pusara di pekuburan yang semakin banyak jumlahnya. Para penduduk yang putus asa memandang curiga kepada penyihir, satu-satunya kaum yang tak terjangkit. Tulah merekakah ini? Begitulah tanya tersebar di seluruh penjuru.

Dalam kabut putus asa, harapan satu-satunya tersiar dalam kabar samar. Konon, di relung gunung, tumbuh tanaman mujarab yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Meski terasa seperti angan-angan, banyak yang ingin membuktikannya. Sayangnya, tak sedikit yang kembali dengan tangan hampa. Barulah ketika tak ada lagi yang mencari, Laurel menyiapkan perbekalan. Dengan tongkat berhuruf rune, sekantung makanan, dan baju ganti, serta buku salinan berbagai Nama dan Kata, dia memasuki setapak dengan harapan dapat menemukan penawar. Dia berhasil, tentu saja, tapi jalan yang ditempuhnya tidak mudah.

Laurel memulai kelana dengan menyeberangi sungai di belakang gubuknya.

Sudah lama dia sadar, dengan gerak tak kasatmata pohon-pohon beranjak. Hutan semakin menjauhi desanya. Tanda-tandanya terlihat jelas. Bagian rimba yang semula rimbun, mulai kering, bahkan kerontang, hanya menyisakan padang yang melayu cepat.

Sekalipun laun, nyatanya beberapa makhluk tidak mampu mengimbangi pergerakan pohon-pohon. Banyak jasad burung di kawasan yang tadinya rimbun, begitupun hewan-hewan besar, seperti tupai, bajing, dan rusa. Saat berjalan di antara tetumbuhan yang akar-akar purbanya mencekungkan setapak, Laurel menemukan ceruk-ceruk baru di sela rumpun paku-pakuan dan lumut.

Lalu semua senyap.

Kepak sayap menggema dalam redup cuaca. Beberapa burung pergi dan beberapa lainnya datang. Hanya burung pelatuk yang bertahan memantulkan suara bagai ketukan palu.

Di depan batang-batang pohon yang tertutup bayangan, Laurel menghentikan langkahnya. Dia duduk di sebuah batu dan menengadah. Tidak ada apa pun di langit, selain manai matahari yang nyaris tidak nampak cahayanya. Laurel memangku tongkatnya dan mengambil harmonika sebesar jari kelingking yang senantiasa dikalungkannya di leher. Dia mencoba meniru kicau burung-burung dan menerjemahkannya sebagai lagu — sebuah nada Fa yang panjang, barangkali? Atau So? Mereka saling beradu rinai sampai salah satunya menyerah. Laurel dengan harmonikanya. Burung-burung dengan siulnya.

Saat menjelang senja, Laurel memutuskan bermalam di padang datar luas yang tersembunyi di ujung tanjakan. Dia mengambil persediaan air, tapi menyurutkan niat. Karena tidak tahu harus berapa lama berada dalam hutan, dia tidak mau menghabiskan perbekalannya terlalu dini.

Laurel menghangatkan wajahnya dalam tudung. Uhu burung hantu menandakan malam sebentar lagi datang. Kabut menyelinap cepat dan merabunkan pandangan. Laurel memandang sekitar, berharap tak menemukan hewas buas. Beruang lelap dalam gua musim seminya, tapi serigala dan macan kumbang tidak. Tidak ada apa-apa, pikirnya, setengah lega. Dia mencari sepetak tanah yang cukup hangat baginya melewatkan malam, tapi menemukan yang lebih baik.

Ada tanggul sungai kering di padang rumput. Cukup dalam untuk menghindari hawa dingin dan hewan buas. Laurel merayap turun memasuki bagian bawah sungai. Tanah yang keras di sekelilingnya melindungi punggung dan kepalanya. Dengan menopangkan tangan pada batu-batu yang menyembul di antara dinding, dia mendarat dengan sangat hati-hati. Tidak ada tiupan angin yang mampu mencapai bagian dalam tanggul. Dia memeluk mantel bulunya erat-erat, berusaha menjaga tubuhnya tetap hangat. Tak jauh di sebelah sungai, ada cemara purba yang, meski sudah tak hijau lagi, di dahannya tersisa daun-daun tua. Laurel menyandarkan tubuh dalam naungannya.

Untuk berjaga-jaga, Laurel mengumpulkan ranting-ranting dan daun-daun basah yang terserak di sekitar. Jumlahnya cukup untuk membuat kayu bakar, tapi mungkin, jika disulut, baranya hanya bertahan beberapa jam saja. Sementara sebisa mungkin, Laurel ingin membuat unggun yang mampu bertahan sepanjang malam, setidaknya hingga fajar menyingsing. Setelah berjalan seharian, dia butuh cukup tetirah, dan dia tak ingin diganggu dingin cuaca.

Lihat selengkapnya