Perjalanan Semusim

Rafael Yanuar
Chapter #2

Simfoni Pepohonan (2)

Beberapa hari kemudian, dengan ditemani roh salju dan kunang-kunang, Laurel berjalan memasuki hutan sepi yang ditumbuhi pohon-pohon berdaun lebar. Salju masih berguguran, tapi tidak deras. Sedikit hangat, justru. Laurel mengendurkan syal di lehernya dan membiarkan serpih-serpih cahaya kunang dan roh terbang mendahuluinya. Saat kabut menelan pendar terakhir, segala yang ada di sekitarnya menjadi segelap senyap. Namun, nyala lampu yang melambai di ufuk segera terlihat. Dia menyambut panggilan itu.

Setiap kali menginjakkan kaki di tempat-tempat baru, dalam hatinya Laurel bertanya, kisah apa yang disembunyikan jendela-jendela rumahnya, akan mengarah ke mana jalan yang kini dilaluinya? Akar pepohonan membuat tanah melesak, tapi Laurel melangkah seolah tanpa upaya.

Tak butuh waktu lama, dia berhasil mencapai perkampungan yang nyaris nircahaya. Karena hari sudah larut, dia bermalam di biara tua yang sepertinya tidak dihuni lagi—sebuah kuil yang halamannya dipenuhi guguran daun dan paviliunnya menjadi sarang burung-burung kecil.

Dia mengambil setangkup air dari sungai yang mengalir di belakang pelataran lonceng. Saat bibirnya mengecup, dia melihat sawah sengkedan yang hampir sepenuhnya tertutup salju. Namun, sejurus kemudian, bulan kembali bersembunyi di balik awan. Panorama di hadapannya meredup secepat datangnya.

Pada malam kedua dia menginap, tepat setelah matahari menghilang di balik bukit, dia mendengar bunyi seruling yang melembutkan hati. Dia memejamkan mata, mencari alamat suara. Ah, ternyata tidak jauh, hanya sepenyeberangan jalan, di rumah kecil yang ditinggali seorang ibu dan puterinya, berdua saja. Meski suaranya tenang dan hampir tak terdengar, karena hening yang bening menguasai seluruh wana, denting selirih apa pun sampai jua.

Di balik jendela yang bertirai gelap itu—hijau tua, ataukah biru bulan?—seraya menunggu ibunya pulang bekerja, seorang gadis kecil memainkan musik. Lama-lama Laurel hapal—seruling bilamana senja terbenam, piano pada malam belia, dan harmonika saat jam-jam menjelang larut. Dia pun jadi terbiasa mendengarnya.

Tahu-tahu sudah tiga malam dia di sana dan hidup laiknya pertapa. Bila cahaya terakhir senja pupus di ujung ufuk, dia duduk di bawah pohon dan meluruskan kaki. Dia melilitkan syalnya tebal-tebal dan memeluk mantelnya erat-erat. Entah apa yang membuatnya rela duduk di udara terbuka, saat cuaca mendingin dan salju memutihkan saujana. Mungkin lagu-lagu itu mengandung sihir?

Seraya sesekali menggosok-gosok telapak tangannya—demi mencari setitik kehangatan—telinganya mencoba merengkuh lagu-lagu yang menggema di udara sunyi. Ah, Laurel tersenyum. Permainan piano itu — seolah memikat seluruh semesta. Nada-nada berjatuhan bagai daun-daun yang tak lagi mampu menampung sarat usia. Lagunya sederhana saja. Untuk menikmati dan menghapalnya kau hanya butuh sekali dengar. Dunia menjadi semarak, tapi bukan semarak yang menggelisahkan. Sebaliknya, justru. Sangat menenangkan. Pada akhirnya, denting terakhir pun gugur, segalanya lesap dalam senyap. Malam yang semula sarat nada, kembali sunyi kelabu.

Laurel memandang gemintang, dan menunggu harmonika yang seharusnya menala sebentar lagi, tapi yang didengarnya justru putaran kenop pintu.

“Ternyata benar.”

Saat menoleh, Laurel mendapati seorang gadis kecil sudah berdiri di belakangnya. Rambut panjangnya tak diikat, tapi ada jepit pita mungil di dekat telinga kanannya—kupu-kupu biru yang seolah dibuat dengan cahaya bulan. Dia mengenakan gaun terusan, merah warnanya.

“Hai.”

“Hai, Kak.”

“Maaf, apa aku mengganggumu?”

Gadis kecil menggeleng. Dia memiringkan kepalanya, lalu tersenyum. “Sebaliknya, aku senang. Aku merasa ada malaikat pelindung yang menjagaku. Aku jadi merasa aman.”

Laurel, dengan merapalkan sepatah mantra, memang sering menyamar menjadi bayang-bayang. Kadangkala, dia sendiri tidak tahu siapa yang mampu melihatnya, dan yang tidak. Tetapi rasanya aku belum merapalkan sebait pun mantra.

Laurel membersihkan bagian bawah jubah panjangnya yang tidak kotor, lalu menghampiri gadis kecil itu.

“Sayangnya, aku bukan malaikat, hanya pendengar yang kebetulan lewat. Aku menyukai musik yang kaumainkan.”

Gadis kecil menjulurkan tangan. “Maukah Kakak menjadi temanku? Namaku Defya.”

“Aku Laurel.”

Ketika bersalaman, barulah dia sadari ada yang salah di mata Defya.

“Kamu—” Buta?

Defya buru-buru menggeleng. “Tidak, Kak. Melihat warna-warna cerah, terutama kuning dan merah, aku sanggup, tapi selebihnya gelap. Namun, aku mampu melihat aura. Dengan bantuan aura, aku bisa membedakan yang satu dengan yang lain. Aku pun dapat merasakan Kakak. Aku melihat aura Kakak. Kakak benar-benar bukan malaikat? Apakah Kakak sejenis malaikat yang lain?”

“Bukan. Aku sama sekali bukan malaikat. Aku—penyihir.”

“Ah, Ibu pernah cerita. Mungkinkah Kakak adalah Laurel yang ada di buku-buku dongeng lama?”

“Aku tidak tahu dongeng mana yang kamu maksud," Laurel tertawa. "Tapi kenapa kamu curiga aku Laurel yang itu?”

“Sosok Kakak, suara Kakak, gerak-gerik Kakak, bahkan kata-kata yang Kakak ucapkan dalam bayanganku, sangat mirip dengan Laurel yang itu.

Laurel tertawa gugup. Alexa-lah yang pertama kali mengabadikan kisahnya dan menerbitkannya tanpa izin. Tahu-tahu sudah beredar dan menjadi cerita rakyat. Laurel merasa isinya terlalu melebih-lebihkan. Aku tidak sebaik itu. Namun, sebelum sempat mengatakan apa pun, Defya memeluknya. "Terima kasih!" bisiknya.

“Untuk apa?”

“Kakak sudah menyelamatkan dunia.”

Laurel tertawa, “Tidak, tidak. Aku hanya berusaha menyelamatkan satu desa, itu pun tidak benar-benar tulus. Aku hanya ingin diterima—sebagai tetangga.”

“Tetapi tetap saja, terima kasih. Cinta adalah ribuan peristiwa dalam satu kepakan sayap kupu-kupu." Defya berjalan seraya merentangkan tangan. “Setelah membaca dongeng Kakak, Ibu selalu berkata, 'Terkadang yang kita butuhkan hanya tindakan kecil yang mendekatkan kita kepada kebaikan. Apa yang Laurel lakukan ratusan tahun lalu, membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik daripada sebelumnya.'”

Laurel tersenyum. “Terima kasih."

Defya tertawa.

“Defya, masuklah. Sebentar lagi ibumu pulang.”

“Kakak—Kakak akan datang lagi, bukan?”

Laurel mengangguk, lalu mengelus kepala Defya.

“Janji?”

“Aku janji. Sebelum pulang, jika Tuhan mengizinkan, aku pasti menemuimu.”

"Pulang?"

Laurel mengangguk. "Rumahku jauh, jauh di seberang lautan. Tapi sebentar lagi aku berencana memasuki hutan. Aku ingin berkelana sedikit lebih lama. Kamu tahu ada apa di dalam hutan?"

Defya mengangkat dagunya dengan sidik jempol. "Setahuku, di sana ada desa kecil, perpustakaan, kafe, dan kabut."

"Penjelasanmu benar-benar samar."

Defya tertawa.

"Ah, seandainya kita bertemu lebih cepat, Kak."

Laurel tersenyum lirih.

“Tapi aku tak mau jadi penghalang. Pergilah dan hati-hati di jalan."

Tanpa mampu ditahan lagi, Laurel memeluk Defya. Air mata jatuh di pipi gadis kecil. Sudah lama rasanya Defya tidak dipeluk seseorang yang bukan ibunya. Dulu dia mempunyai kakak laki-laki yang senantiasa memanjakan dan mengelus kepalanya, yang setiap hari menceritakan dongeng-dongeng, yang membuat hari-harinya bercahaya. Dia jualah yang mengajari Defya bermain musik. Tetapi, dia meninggal dua tahun lalu.

Setelah Defya memasuki rumahnya, Laurel bersandar di depan pohon. Lamat-lamat terdengar intro Clair de Lune. Dia memeluk lututnya, lantas memandang bintang-bintang—dan malaikat-malaikat—dan naga-naga—yang berkilau indah betapapun jauhnya. Setelah denting piano terakhir jatuh di kelam sunyi, terdengarlah suara harmonika yang lembut dan lirih, yang sudah dinantinya sejak tadi. Ibu Defya pulang terlambat. Sekitar pukul sepuluh malam. Dia lelah, tetapi ada sorot teduh di matanya. Ketika mendengar Defya menyambut ibunya, Laurel berjalan menjauh.

“Bu, tadi malaikat mendatangiku.”

“Benarkah, Nak?”

“Sebenarnya bukan, Bu. Dia Laurel.”

“Laurel yang itu?”

“Hu-um.”

“Kamu tidak bermimpi, bukan?”

“Ibu tidak percaya Defya, ya?”

“Bercanda. Kapan Ibu tidak percaya Defya? Sini, Ibu peluk. Kamu mau didongengi apa?”

“Dongeng tentang Laurel!”

“Tidak bosan?”

“Tidak. Tidak akan.”

Setelah Clair de Lune, seolah semesta sengaja memanjakan Laurel, sesuatu yang kini ada di hadapannya seperti meniru lukisan Monet. Seandainya lukisan-lukisan Monet mempunyai suara, pasti suaranya mirip dengan lagu-lagu Debussy. Begitupun sebaliknya. Jika simfoni Debussy berwarna, penampakannya takkan jauh beda dengan lukisan Monet. Aku menyukai Debussy sebesar aku menyukai Monet.

Laurel membentangkan sayapnya, melambung tanpa mengepakkannya. Beberapa saat kemudian, dia sampai di bagian langit yang tak berawan. Karena tak mampu melihat apa pun, dia terbang lebih rendah. Segera saja, ketika berada dekat dengan permukaan dia menemukan pucuk-pucuk hijau purba. Ternyata, di balik gelap, tersembunyi hutan besar dengan pepohonan pinus mengisi sebahagian ceruknya. Hampir seluruhnya tertutup kabut setipis bayang-bayang. Hanya kabut tipis, pikirnya. Terlalu tipis untuk menyembunyikan sebuah dunia. Dia mencari cahaya yang bukan kunang-kunang. Cahaya yang diciptakan manusia. Dan Laurel menemukannya satu—dalam wujud lampu jalan.

Bahkan, kekosongan terlihat kesepian di bawah lampu jalan.

Laurel memutuskan melandai. Meski di kiri dan kanan terbentang rimba seluas dunia, ada jalan beraspal yang membaginya, dan ada lampu jalan di sisi-sisinya—jarak antara satu lampu dengan yang lain tidak begitu dekat, mungkin sekitar lima ratus meter, dan tidak semua menyala, ada pula yang dibiarkan padam. Dia mendapati serangga-serangga malam mengitari cahayanya yang pias manai.

Laurel menyelimuti tubuh dengan sayapnya, memejamkan mata, dan berusaha mendengar apa yang terjadi di relung rimba. Sesuatu berlari. Sesuatu berjalan. Sesuatu melompat. Sesuatu terbang. Suara jangkrik dan tonggeret, juga kuak katak, berseru nun di sana, sahut-sahutan tiada jeda.

Di sekitar bulan, ada lingkaran pelangi yang samar, dan di masing-masing warnanya, duduklah para malaikat. Alam terus bekerja, tanpa terlelap sedikit pun, tapi kesunyian yang membentang membuat Laurel enggan bersuara. Dibanding terang, gelap selalu terasa lebih panjang. Hari begitu cepat berlalu, tapi malam seolah selamanya.

Di ujung jalan, Laurel melihat sebuah rumah dengan pohon beringin menaunginya. Di belakangnya, barisan makam membentang sunyi.

Ketika aroma fajar mengisi udara, suara-suara malam berangsur padam.

Seekor kupu-kupu bersayap kuning bermain-main di rambut Laurel. Kupu-kupu lain bersayap biru mengitari kepalanya. Laurel tersenyum dan mengangkat tangan, berharap mereka sudi hinggap di jari-jemari, tapi sia-sia.

Selamat pagi, ujarnya.

Dan akhirnya di ufuk timur cahaya ungu pekat mulai menghulu selagi bulan menghilir. Simfoni Rêverie seolah menyelubungi Bumi, menjadi pertanda pagi sebentar lagi terbit. Terang menyebar cepat, bagai meledak dalam gelap, seolah-olah Tuhan sekali lagi bersabda "Jadilah terang!" dan semesta sekali lagi tercipta. Dunia yang semula lelap dalam bayang, kini penuh warna. Embun-embun membasahi gunung batu. Daun-daun berkilauan. Sawah-sawah sengkedan dan tegalan membentang sejauh mata memandang. Suara sungai berwujud kini.

Bukankah mengagumkan. Satu matahari mampu mewarnai seluruh dunia?

Samar, Laurel mendengar kenop pintu diputar lembut. Segera saja, terdengar suara langkah kaki. Seorang perempuan dengan sepiring kecil bunga dan dupa berjalan melewati kusen. Ketika bersitatap dengan Laurel, dia hampir menjatuhkan sesembahannya.

"Kau—Maut?"

Laurel segera bangkit dan mengibaskan tangan. "Bukan. Bukan. Aku bukan dia!"

Dia mendesah lega. 

"Meskipun aku bukan siapa-siapa, tetap saja aku lega masih diberi waktu," katanya, seraya menangkup tangan di depan dadanya. "Maaf—aku, aku sempat terkejut saat melihat sayapmu—dan jubah hitammu."

"Aku Laurel," katanya, tersenyum.

Perempuan itu membalas senyumnya. "Aku Rika. Resa Pundarika. Silakan masuk dan hangatkan tubuhmu di dalam."

Di dalam bilik, hanya ada satu buah kasur yang tidak dilengkapi ranjang, tiga buah kursi, dan satu tangga bambu yang mengarah pada sebuah lubang di langit-langit. Di tengah ruangan, ada dologan penyangga atap.

Laurel memandang langit-langit, bertanya-tanya ada apa di lantai dua. Rika, yang menyadari rasa penasaran Laurel, mempersilakannya naik. Ternyata, di lantai dua, ada satu ruangan lagi yang hanya berisi meja dan jendela yang bingkainya dilapisi kertas alih-alih kaca. Di samping kanan meja, ada bertumpuk-tumpuk buku, dan di samping kiri, juga ada buku—tetapi terlihat seperti diary. Karena dibangun menghadap selatan, suasana di dalamnya senantiasa rindang.

Setelah Rika membuka jendela di depan meja, menghamparlah rimbun hutan dengan kicau burung bersahut-sahutan. Tetapi, ketika Rika membuka jendela belakang, Laurel menemukan pemandangan yang jauh berbeda—nisan-nisan yang tidak beraturan mengisi seluruh ceruk, diselingi pepohonan yang menyerupai cemara, tetapi berdaun besar dan jatuh—entah apa namanya.

“Di antara yang hidup dan yang mati, aku membangun rumahku. Semua yang telah mati memberkati dunia dengan berlimpahnya hidup." Lalu terdengar suara perut. Rika tersenyum malu.

"Ah, benar. Aku harusnya menyiapkan sarapan. Kamu mau ikut? Di dekat sini ada padang rumput yang subur—tempatku menanam kentang, buncis, dan wortel. Di samping sungainya, ada kangkung liar yang tumbuh hampir sepanjang tahun."

Laurel mengangguk. Seraya berjalan menyusuri hutan, samar-samar terdengar kicau burung-burung. Laurel mengenali beberapa—lark, macaw—dan tidak sisanya. Burung hantu menguhu malas. Burung-burung lain melarangnya tidur.

Aku sudah terjaga semalaman, keluh burung hantu. Biarkan aku tidur.

Lihat selengkapnya