Laurel terpaku memandang bunga-bunga pusparona yang membelukar di sebelah utara kebun. Ada yang kelopaknya kuning, merah jambu, merah jambu muda, dan putih. Ada pula yang mempunyai dua warna—merah dengan sudut kuning dan putih dengan sudut merah jambu. Semua tumbuh di kebun yang sama. Ah, berbeda dengan warna-warni kota, yang menggelisahkan, mengapa semaraknya bunga-bunga justru terasa menenteramkan? Laurel menghidu aromanya dalam-dalam. Harum dan segar, bagai menyembunyikan rasa manis di dada. Biar aku petikkan untukmu. Lusi menunduk, rambut panjangnya menyentuh sekelompok mawar yang rekah. Saat tangan kecilnya hendak mematahkan leher kembang jambu itu, Laurel mencegahnya.
Lusi, Lusi, tidak perlu. Biarlah bunga-bungamu tumbuh di kebunmu yang rimbun. Jangan dipatahkan. Dengan memandangnya saja, aku bahagia.
Lusi termenung dengan mata berselimut sunyi. Namun, sesaat kemudian, senyum menghias wajahnya.
Di samping semak krokot, ada semak bunga yang lagi-lagi sarat warna. Ungu tua, ungu muda, ungu manai, merah jambu tua, merah jambu muda, dan putih. Karena bentuknya mirip, Laurel sempat menyangkanya bunga lili, tetapi Lusi membetulkannya. Campanula, katanya. Aku pikir, Lusi menunjuk keningnya. Jika manusia berpuisi dengan kata-kata, alam berpuisi dengan bunga-bunga. Alam selalu selangkah lebih baik, bukan?
Laurel tertegun. Dia terkenang kata-kata seseorang yang juga sangat mencintai alam. Tidak, Lusi. Alam tidak hanya selangkah lebih baik, tapi jauh, jauh lebih baik dibanding kita. Tapi, kamu juga benar. Kerap kali memandang bunga-bunga, aku seperti mendengar puisi, puisi tanpa kata.
Sekarang pun begitu?
Laurel mengangguk.
Aku jadi ingin menyematkan puisi Kakak di kebunku.
Menyematkannya? Bagaimana bisa?
Dengan memperdengarkannya.
Tapi aku tak pandai berpuisi, Rika yang lebih—
Chi Rika dan Paman Mika sudah sering menyematkan sajak-sajaknya di sini, sampai-sampai mereka menyebutnya Taman Persajakan. Mungkin, karena di setiap seluk dan ceruknya puisi-puisi indah bermekaran, kerap kali berdiri di sini, aku merasa berada di Taman Negeri Awan. Aku selalu meminta siapa pun yang berpuisi di taman ini, tapi aku tidak memaksa.
Laurel tidak sampai hati menolak permintaan Lusi. Tetapi, siapa pula yang sanggup tidak berpuisi di Taman Persajakan. Sekarang pun, dorongan merangkai kata sudah Laurel rasakan. Tapi,
Bagaimana aku harus menyusunnya?
Seperti apa puisi seharusnya ditulis?
Dapatkah aku membuatnya seindah mungkin, sebagus mungkin?
Seseorang bisa saja memiliki kamus yang merangkum seluruh kata, lengkap dengan maknanya, tapi tetap tak menjaminnya mampu menyusun sebaris pun kalimat bermakna.