Setelah melewati pintu belakang, sampailah kita di sebuah ruangan yang meremang dibasuh matahari senja. Ruang itu sederhana saja, hanya berisi peralatan masak seadanya, kulkas kecil yang terisi setengah penuh, kompor, bak cuci, dan sebuah meja di dekat jendela, dengan empat kursi di masing-masing sudutnya. Saat Lusi dan Laurel datang, Rika baru saja meletakkan menu terakhir, tempe dan tahu goreng, di atas meja. Di sekitarnya, sudah tersaji sebakul nasi, sepiring tumis kangkung, dan sambal terasi. Mika membiarkan jendela nako terbuka.
Angin masuk membawa sejuk daun-daun.
Angin masuk mengantarkan suara kincir yang berdecit dari puncak bukit.
Seusai bersantap, Mika menyuruh Laurel memilih antara kopi dan teh. Laurel menjawab teh, tanpa gula. Mika tersenyum. Berarti hanya aku yang memilih kopi.
"Tidak ada yang seenak teh melati buatanmu, Mika. Setiap sesapnya mengingatkanku pada masa lalu. Tidak semuanya membahagiakan, tetapi keindahan tak ada hubungannya dengan penderitaan atau kegembiraan, bukan?" Rika mengangkat gelas tehnya dan memejamkan mata. "Sepertinya aku menyukai teh karena warnanya mengingatkanku pada waktu."
"Padahal itu teh celup yang kubeli di pasar."
Rika tersenyum seraya menghirup dalam-dalam aroma teh di tangannya. "Tetap saja."
Lusi mengambil pecahan mangkuk di saku celananya dan memperlihatkannya pada Laurel. Aku meminum teh keemasan itu dengan mangkuk ini. Bagian lain dibawa ragaku, tapi aku tak tahu dia masih menyimpannya atau tidak. Aku bahkan tak tahu dia di mana.
Boleh aku melihatnya?
Lusi mengangguk.
Dengan mengucapkan sebaris mantra, Laurel menggandakan pecahan mangkuk Lusi, tetapi ternyata hasilnya tidak simetris. Dalam sekejap, sihir tiruan Laurel lenyap, tapi tetap saja mampu membuat Rika dan Mika menahan napas. Sementara Laurel menunduk malu, Mika mengalihkan pandang pada Lusi.
"Sihir Laurel membuatku teringat, beberapa hari lalu, pengunjung tak kasatmata berkata, di ujung selatan desa, berdirilah sebuah gubuk yang masih baru. Di sana tinggal seorang pengelana bernama Fris. Sehari-harinya dia hanya melukis di luar ruangan, dalam naungan pohon yang entah apa namanya. Dia melukis apa saja dan menjualnya dengan harga berapa saja. Konon, dia mampu menciptakan mukjizat dengan lukisannya." Mika menyajikan secangkir teh kepada Lusi, lalu, setelah airnya tak terlalu panas lagi, menuangkan beberapa sendok madu. Lusi tidak suka gula karena menurutnya merusak rasa alami teh. Teh dengan gula hampir tidak ada bedanya dengan air gula, katanya. Tetapi, dia tak pernah menolak madu. Aromanya menenangkan.
Keajaiban—seperti apa, Paman?
"Lukisannya hidup dan mewujud. Beberapa hari lalu para penduduk mendapatinya melukis kupu-kupu berekor cahaya. Sejenak kemudian, dari rahim kanvas bermunculan kupu-kupu yang sama, beterbangan mengitari jemarinya, dengan warna yang tertinggal di udara gelap, menyala cerlang bagai kunang-kunang. Pernah pula dia melukis seekor rusa kaca yang tubuhnya memantulkan konstelasi bintang-bintang."
Ah, aku—aku ingin melihatnya.
"Aku ingin mempertemukanmu dengannya. Aku yakin dia mampu melukis pecahan lain dari mangkukmu."
Laurel menengadah. "Sepertinya dia penyihir—sepertiku."
"Apakah semua penyihir mampu menghidupkan lukisan?"
Laurel menggeleng. "Sayangnya, tidak—aku tidak. Dan aku benar-benar menyesal karenanya. Aku menyihir dengan Kata, dengan menyebut Nama Sejati benda-benda. Fris dengan Lukisan. Dan itu, benar-benar sihir yang luar biasa, tapi harus hati-hati menggunakannya."
Kenapa, Kak?
Karena lukisannya hidup. Kita tak benar-benar memahami ciptaan kita, bukan? Bayangkan kamu melukis sebuah dunia, atau menulis sebuah buku, sejauh mana kamu mengetahui apa yang dialami tokohnya? Sejauh mana kamu memahami dunia dalam lukisan atau bukumu?
"Ada yang bilang, dia juga membawa pisau."
"Penyihir tidak membawa pisau." Laurel menyesap tehnya. "Tapi, jika kamu Penyihir Lukis yang benar-benar lihai, dengan kuas dan kanvas, kamu mampu menciptakan sebuah pisau—atau benda tajam lain—untuk memotong ruang. Tetapi setahuku hanya sedikit yang berani melakukannya. Kita tidak tahu pisau jenis apa yang keluar, bukan? Barangkali tanpa sengaja kita justru menciptakan sesuatu yang jauh lebih berbahaya."
Mika penasaran. Namun, sebelum sempat bertanya, Lusi sudah menarikan tangannya. Bagaimana caranya, Kak?
"Dengan pisau khusus, penyihir mampu menorehkan jalan di udara. Kau hanya perlu membayangkan ranah yang ingin kaudatangi, lalu memusatkan pikiran sepenuhnya pada pisau yang kaugenggam. Setelahnya, kau dapat menarik pisau pelan-pelan, seperti membelah perut ikan, lalu berjalan memasukinya. Jika sudah tak terpakai lagi, kau harus menutupnya kembali dengan tangan, seperti menaikkan ritsleting. Beberapa penyihir tak bertanggung jawab membiarkan pintasan terbuka dan menyebabkan banyak malapetaka di dunia. Beberapa lubang tertutup sendiri, beberapa lagi tetap terbuka untuk waktu yang lama—sangat lama. Ketika aku muda, aku pernah memasuki pintasan sihir dan tersesat di ujung dunia."
"Ujung dunia?"
"Aku tak tahu di mana letaknya. Tetapi, setelah pingsan di derasnya sungai, aku terjaga di dalam gua yang pada setiap ceruknya, tumbuh berbagai tanaman bercahaya, dengan sulur-sulur memanjang menutupi sebagian besar gua. Saat aku membuka mata, makhluk pipih berbagai bentuk berterbangan di sekitarku. Ada yang menyerupai kerangka daun-daun, bunga, spiral, hati, benang, ulat berkaki seribu, dan bentuk-bentuk lain yang muskil aku jelaskan. Semua memancarkan cahaya manai pusparona. Ketika aku meraihnya, aku seperti menyentuh udara. Selebihnya, hanya air, menyungai di sekelilingku. Di sebuah pulau kecil, di pusat gua, aku bertemu sosok yang mirip denganku. Dia Sang Jiwa."
Di samping dapur, ada balkon berlantai kayu, dengan dua pilar dologan menyangga bagian depan. Di sebelah Mika, Rika duduk menikmati kursi goyang seraya membuka buku sketsanya. Dia hendak mengabadikan senja yang jatuh di bukit dandelion, yang juga ditumbuhi semak gelagah. Mika sengaja tidak memangkas rerumputan liar itu, sebab menurutnya indah, tapi sebenarnya dia hanya malas.
"Lagipula, para arwah menyukainya. Mirip padang Asphodel."
"Kamu mengada-ada, adikku."
Di tengah bukit, tumbuh satu pohon beringin yang rimbun menutupi sepertiga tanah.
Di samping bukit dandelion, ada bukit yang lebih besar, dengan kincir angin yang berdecit setiap kali angin menggerakkannya—dan sebuah rumah kayu kecil di sebelahnya. Rika selalu ingin mengabadikan pemandangan senja di pendopo, tetapi goyangan bangku membuat benaknya lena, dan dia tidak menolaknya. Alih-alih menarikan jemarinya di atas kertas, Rika memejamkan mata.
Ah, apakah waktu benar-benar berdetak?
Senja memerah pelan dan rembulan tak sabar membuat cahaya.
Tetapi, benarkah waktu berdetak?
Kepada siapa waktu sebenarnya berdetak?
Rika menyukai perasaan tenang saat dia duduk di kursi goyang. Dia menemukan nama "Biduk Kecil" karena goyangan kursi mengingatkannya pada lautan. Dia memejamkan mata. Di benaknya, dia berlayar di samudra hening.
aku mencintai laut
sebesar aku mencintai rindu
yang membuat jarak kita
jadi berarti. engkau pesisir
yang didamba segenap harap
yang kujalani seorang diri.