Perjalanan Semusim

Rafael Yanuar
Chapter #5

Simfoni Pepohonan (5)

Seiring gugurnya hari, bintang-bintang meremang di angkasa. Titik-titik cahaya yang lain berkilauan di antara awan, melayang kian kemari—kadang berkelompok, kadang sendiri-sendiri. Jika udara sunyi, samar-samar dapat kaudengar suara kepakan yang berbeda dengan kepak sayap burung-burung. Entah bagaimana kau tahu, begitulah bunyi kepakan, jika yang mengepak bukan sayap, melainkan cahaya. Seperti dering lonceng, menyerupai genta angin, tapi juga berbeda. Para malaikat, kata Mika. Laurel menutup matanya, membuka hatinya, dan menajamkan telinga. Begitu pun Mika. Hanya ketika mata terkatup kepak sayap cahaya berpendar cerlang di telingamu.

Berbagai suara bertambah jelas setelah terbenamnya hari. Ruak katak baru saja memulai paduan suara di bebatuan sungai. Pohon-pohon menderai. Suara ranting terinjak dalam. Kerpas daun disapu. Burung-burung berkicau dengan berbagai dekut—simfoni bulbul, uhu burung hantu, lengking burung layang-layang, menyatu bagai gema.

Paman tahu apa kata Santo Agustinus dari Hippo tentang malaikat?

Mika menarik bangku di sebelah Laurel. Tidak. Aku tak tahu.

'Malaikat adalah roh. Tetapi, bukan karena itu, mereka disebut malaikat. Mereka menjadi malaikat karena Tuhan mengutusnya. Malaikat adalah nama profesi, bukan sifat. Kalau kamu mencari tahu nama sifatnya, roh. Kalau kamu mencari tahu nama profesinya, malaikat. Berdasarkan siapa diri mereka, roh. Berdasarkan apa yang mereka lakukan, malaikat.'

Penerangan di halaman belakang hanya bohlam redup yang ditingkahi laron-laron. Remah-remah cahaya gugur di ujung lampu.

Seluruh panorama mengelam dengan cepat. Tiada lagi bukit hijau bermandi lembayung. Jalan setapak hanya menyisakan pendar pucat kelabu. Dunia seolah terjebak dalam selembar portrait tua. Bahkan kincir di bukit pun menyisakan decit belaka, tak terlihat wujudnya, kecuali siluet yang tak menjelaskan apa-apa. Namun, saat bulan meninggi, pancaran cerlangnya sampai jua di bukit-bukit, seakan memberi warna pada udara gelap. Karena dingin kian menggigit, Mika mengajak Laurel memasuki rumah. Cukup hangat di ruang pustaka. Tetapi Laurel menggeleng, dengan seuntai senyum dia berkata, tidak apa, aku duduk di sini saja, penyihir tahan dingin, justru tidak tahan panas.

Aku bahkan pernah tertidur di ceruk sungai pada malam bersalju, Laurel tertawa.

Bagaimana kalau kita duduk di halaman depan saja? Temani aku sebentar lagi.

Laurel tersenyum. Kalau begitu, ayo.

Saat melewati lorong-lorong pustaka, Laurel terkejut menyadari betapa ramai suasana di sana. Di hampir setiap lorong, ada yang berdiri, bercengkerama, atau mengambil buku. Di salah satu koridor, seraya menelusuri punggung buku dengan telunjuk, seorang ibu dengan bayi di selendang, menyapa Laurel. Di sisi lain, anak-anak berkejaran melintasi rak. Tetapi tak ada satu pun yang terganggu. Sejenak, Laurel curiga, entah bagaimana, dia tersesat di dalam puisi Sapardi, dengan waktu yang berjalan laun, dengan udara yang senantiasa rimbun. Lalu Laurel tersadar, yang berdiri di depan rak-rak sarat buku, yang berlarian di antara koridor, yang mengemban bayi di pangkuan, bukanlah manusia, melainkan arwah.

Lalu, di ujung perpustakaan, sampailah Laurel di halaman depan. Di seberang matanya, membusur jembatan yang terhubung dengan pekuburan tua. Kabut menghalangi pandangannya.

Dia tidak menyukai kabut.

Dia selalu khawatir berada di dekat kabut.

Laurel tahu, ada makam-makam muram di balik halimun—pusara-pusara tanpa nama yang setiap sisinya ditumbuhi semak merah, tapi yang paling ditakutinya justru makhluk-makhluk indah penghuni kabut. Elf. Meski begitu, sudah lama dia tak melihat Kabut Mistik, ranah yang dihuni para makhluk dongeng. Kabut di seberang matanya juga bukan salah satunya. Dia sudah menajamkan telinga, berusaha mendengar suara atau apa pun yang menandai kehadiran Elf—terutama Áine, sahabatnya—tapi tak mendengar apa pun selain yang biasa ditawarkan hutan. Akhirnya, bunga-bunga pusparona di Taman Persajakan, yang menguarkan aroma selembut puisi, mengalihkan perhatiannya.

Mika menghilang sejenak, lalu muncul membawa dua cangkir cokelat. Dia memberikannya secangkir kepada Laurel, pun menyelimuti Laurel dengan selimut beludu yang tidak terlalu tebal, lengkap dengan boneka beruang yang cukup besar untuk dipeluk. Karena udara dingin, cokelat itu, yang semula mendidih hingga uapnya meliuk bagai tarian, menghangat dengan cepat. Laurel menyesapnya sesiup dan teringat cokelat buatan Rika.

"Chichilah yang membuatkanku minuman ini," ujar Mika, seolah mengetahui isi hati Laurel.

"Terima kasih, Paman. Paman baik sekali. Chichi juga, Lusi juga. Kalian sungguh baik."

"Aku sebenarnya malu saat kamu memanggilku Paman. Aku sudah membaca banyak kisah tentangmu, dan tidak menyangka suatu hari kita benar-benar bertemu. Usiamu pasti jauh—jauh lebih tua dibanding aku. Tetapi kamu persis keponakanku, Mei."

"Paman orang kedua yang mengatakan itu padaku. Tapi kalau Mei mirip denganku, pasti dia cantik sekali."

Paman tertawa.

"Mei gadis kecil yang baik, dan pemberani. Dialah alasanku menjadi pendongeng. Jika Chichi dan Tji-hoe pulang, lalu menginap di rumah kami, sebelum lelap Mei selalu mendatangiku—menagih cerita. Sekarang, rasanya masa-masa itu sudah jauh berlalu, tak mungkin terulang lagi."

Laurel terdiam. Dia memandang Mika dan menyentuh punggung tangan kanannya. "Aku turut menyesal, Paman."

Paman tersenyum, lalu mengelus rambut Laurel yang jatuh di pelipis, tapi matanya sepi. "Karena setiap hari bercengkerama dengan hantu dan arwah, aku tidak terlalu sedih saat mendengar kabar kepergian wàishengnǚ dan Tji-hoe. Aku percaya, Maut hanya perpisahaan sementara—demi menyongsong perjumpaan yang abadi. Hanya saja, ketika Chichi datang dengan hati hancur, aku tak mampu membendung duka. Aku menangis bersamanya, seolah kesedihannya adalah kesedihanku sendiri. Dia memintaku berkali-kali untuk mempertemukannya dengan arwah Mei dan Tji-hoe, tapi aku tak mampu. Aku tak berdaya."

Cici terlihat kecil dan rapuh, seolah dapat hancur kapan saja—angin mungkin mampu menerbangkannya. Aku memeluknya, tetapi pelukanku terasa tidak utuh. Aku selalu membutuhkan kata untuk mengisi kekosongan itu. Dan aku tak mampu berkata-kata lagi.

Di rumah duka, Cici berpindah dari satu peti ke peti sebelahnya—dua-duanya seputih salju, tapi yang satu lebih kecil dari yang lain. Dengan jemari bergetar, dia menyembunyikan isak. Aku berdiri di sisinya, tanpa mampu berbuat apa pun. Lidahku kelu. Dengan apa aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaannya, jika kalimat penghibur hanya menambah beban luka? Begitu banyak kenapa dan bagaimana-jika.

Aku tersentak oleh suatu kesadaran—peti mati yang terberat adalah yang terkecil justru. Aku memandang Mei, gadis kecilku, yang berbaring dengan tangan terkatup, seperti berdoa. Wajahnya begitu mirip dengan sosoknya yang tidur lena, setelah aku mendongenginya. Bukankah dia bisa bangun kapan saja? Tetapi ke mana dia sekarang?

Lama aku menunggu di samping Mei; berharap dia membuka mata, lalu menagihku bercerita. Tetapi, dia tak jua terjaga. Ketika suara mulai lesap, di dalam hati, aku merangkai dongeng; menyusunnya sebaik mungkin dengan hanya mengandalkan pikiran. Nanti, jika Mei terjaga, aku sudah siap.

Malam bertambah dalam seperti sumur tua tak berair yang pada ceruknya kenangan-kenangan mengendap. Senyap membuana. Tidak lagi terdengar deru kendaraan, hanya sesekali menggema suara osengan nasi goreng dari seberang rumah duka. Tidak jauh, bernyanyilah sekelompok pengamen, dengan gitar patah senar menghabiskan malam dengan suara-suara sumbang. Lalu hening. Sama sekali hening.

Aku tak menyangka, malam ternyata sepanjang dan sedalam ini. Padahal aku tinggal di sempadan hutan yang sarat sunyi. Tetapi, tak pernah aku menyadari betapa lamanya malam, betapa sepinya kesendirian. Aku mengambil teh panas dengan gelas tanpa telinga. Agar tanganku tak lepuh, aku mengangkat bibir gelasnya, lalu duduk di samping penjual rokok yang berjualan di depan kelenteng. Aku tidak menyukai teh manis, tetapi aku ingin menambahkan sedikit gula, entah kenapa. Aku membuka kaleng rokok berisi gula di sudut etalase, dan mengambilnya dua sendok makan. Di belakang etalase, beberapa petugas rumah duka bermain kartu dan merokok.

Lalu subuh membelah gelap dan terungkaplah pagi. Lampu-lampu rumah duka dipadamkan sebagian. Aku membuka mata semalaman, tak mengantuk sama sekali. Begitu terdengar hiruk pikuk di depan pintu, pertanda hidup telah bermula, Cici yang tertidur, membuka mata dengan diselimuti penyesalan, seolah terjaga dari mimpi indah. Para pelayat berdatangan lagi. Disusul pandita. Kami melangitkan doa pelepasan. Lalu mobil jenazah datang membawa jenazah Mei dan ayahnya. Aku duduk di depan, di samping sopir, sementara Cici di sebelah peti, tak henti menangis. Di pelukannya ada foto putri dan suaminya dengan bingkai hitam.

Selanjutnya, segalanya sesamar mimpi. Seolah ikut bersedih, langit menggugurkan gerimis dengan isak duka mendalam. Hujan turun rintih-rintih, hampir tak terlihat. Aku hanya mampu merasakan tetesannya meremang di kulit. Tahu-tahu, prosesi permakaman sudah selesai. Aku bahkan sama sekali tak ingat, kapan para petugas pekuburan menurunkan peti-peti, kapan upacara persemayaman dilaksanakan.

Beberapa hari setelah permakaman, Cici kembali membuka tokonya, dan aku pulang. Ketika aku memasuki rumah, menyusuri lorong-lorong pustaka yang meremang dalam cahaya siang, perasaan kosong dan hampa menghantamku. Padahal aku hidup sendiri, tetapi segalanya terasa berbeda, seolah ada yang hilang dalam rumah ini.

Ketika mencintai seseorang, kita membiarkan mereka mengisi sebagian dunia yang kita pijak. Kehilangan mereka akan membuat dunia tak lagi sama.

Lalu, Mika menyadari aroma parfum yang menguar di tubuh Laurel. Seperti buah beri yang merimbun di hutan perawan. Dia membayangkan hidup Laurel yang panjang dan entah sudah berapa kali mengalami pahitnya perpisahan. Tetapi, dia tak berkata sepatah pun. Dia hanya mengelus lembut rambut Laurel yang menyembunyikan wajahnya di balik boneka. Samar, Mika mendengar tangis tertahan.

Kini, setiap kali aku memandang langit dan melihat para malaikat beterbangan, aku membayangkan wàishengnǚ dan Tji-hoe-ku ada di sana. Tapi, katamu, sesuatu yang aku anggap malaikat, bukan malaikat, melainkan naga. Benarkah?

Lihat selengkapnya