Pada masa itu, semua mencurigai kami, para penyihir, sebagai pembawa bencana. Kami selalu dikaitkan dengan segala yang bi'dah. Gereja memburu kami untuk dibumi-hanguskan. Beserta kucing hitam kami, sekalian. Tak terhitung berapa banyak di antara kami yang meregang nyawa di tiang gantungan.
Kini, setelah banyak tahun berjalan, meski perburuan tak lagi ada, stigma buruk telanjur melekat di diri kami dan entah kapan sepenuhnya terhapus. Siapa pun yang menyadari ‘talenta’-nya dan berani mengemukakannya, kerap dianggap pendusta, bahkan pendosa. Tetapi syukurlah, perlahan-lahan dunia berubah menjadi lebih baik.
Meski aku bukan lagi penyihir, seisi desa yang seharusnya menjadi tetanggaku, masih memandangku curiga. Aku berkata, aku tak punya apa-apa lagi, tak mampu merapalkan sebaris pun mantra, tetapi tak ada satu pun yang percaya. Aku mengetuk rumah-rumah, memohon pekerjaan, apa saja dengan upah berapa saja. Tak ada yang mau menerimaku. Semua pintu tertutup. Semua mata berpaling. Hanya kibasan tangan balasnya. Aku sudah berupaya berbuat sebaik mungkin, membaur, dan tersenyum. Aku berusaha membantu dan menyembuhkan penyakit yang membawa maut dengan mengandalkan ramu-ramuan hutan. Tapi semakin lama aku semakin pamrih. Meski begitu, mau tidak mau aku bersyukur. Sekalipun berkali-kali menolak aku, penduduk desa masih mengizinkanku hidup, tidak mengusirku. Untuk makan sehari-hari, aku memancing di sungai belakang rumah, membakarnya di unggun. Dengan pemantik minyak, aku berpura-pura merapal mantra; memanggil api dengan Nama Sejatinya.
...
Laurel membuka tangannya, lalu mengatakan sebaris Kata. Seketika, bara api menyala di telapaknya. Semula berwarna oranye, tapi lama-lama berubah membiru. Api magi.
"Indah, bukan?" ujar Laurel, diiringi seuntai senyum.
Mika mengangguk. Matanya memandang pantulan api yang menerangi wajah Laurel. "Tak ada yang lebih indah lagi."
"Aku selalu menyukai api magi." Laurel berjalan menuruni undakan. Sesampainya di setapak, dia menunduk hormat, tersenyum, lalu menarikan api biru di tangannya. Api di kanan dan kirinya berpendar menyerupai kupu-kupu The Blue Morpho—atau hewan laut Nudibranch. Gerakannya begitu lembut dan tenang, seolah mengalunkan nada. Mika bahkan tak terkejut andai Laurel berubah menjadi kupu-kupu, lalu beterbangan di antara semak-semak sarat bunga dengan cahaya birunya. Mungkin, dalam satu masa hidupnya, dia pernah menjalani hari-hari sebagai seekor kupu-kupu.
"Paman, pernahkah Paman mendengar legenda Sampek Engtay?" tanya Laurel.
"Tentu. Cerita yang indah, dan menyedihkan."
"Maukah Paman menceritakannya padaku suatu saat nanti?"
Paman tersenyum dan mengangguk.
Karena takut menjatuhkan api di kebun Lusi, Laurel menangkup tangan kanannya dengan tangan kirinya. Api biru di telapak tangannya padam seketika. Masih tersisa lembut tarian ketika dia berjalan. Setelah membetulkan roknya, Laurel duduk di bangkunya semula.
...
Tetapi, ketika itu, tak ada yang terjadi. Aku menangkup tanganku dengan perasaan yang entah apa namanya; mungkin hampa, mungkin kecewa. Ketika melihat api minyak mengunyah kayu-kayu kering, aku tak mampu membendung tangis. Sebesar apa pun rinduku kepada api magi, aku tak mampu memanggilnya kembali. Di hadapan unggun, aku memeluk lutut. Seraya menunggu ikanku matang, aku menanak air. Hanya tersisa sedikit daun teh di gubuk. Aku menyeduhnya sedikit.
Rumahku dibangun di sudut hutan, di ujung bukit. Ketika penduduk desa merayakan berakhirnya wabah, aku berdiri di sebelah pohon cemara dengan cangkir teh di tangan kiri dan ikan di tangan kanan. Dingin cuaca membuat panasnya cepat menguap. Aku duduk beralaskan rimbun daun sarat salju.
Karena tak mampu berlindung dalam sihir, angin membekukan tubuhku. Uap putih berembus di sela-sela napasku. Paru-paruku sakit tak tertahankan. Mungkin sebentar lagi aku mati, tapi aku tidak peduli.
Tetap saja, ketika gigiku beradu dan bibirku bergetar, aku memeluk selimut tipis dan mengeratkan jubahku. Aku berjalan tertatih memasuki rumah dan terlelap di samping jendela yang menghadap rembulan. Cahayanya demikian terik seolah memancarkan panas.
Aku pasti tak mampu bertahan jika seorang perempuan tidak mengetuk pintu rumahku pada suatu subuh. Dalam naungan cahaya rembulan pukul empat pagi, dia membersihkan sisa-sisa salju di bahu kanan dan kirinya. Dengan matanya yang sarat misteri dia memandangku. Tetapi, kesan dingin itu perlahan pudar, lalu berubah menjadi lembut. Senyumnya hangat dan menenangkan, tapi aku memandangnya tanpa ekspresi. Tepatnya, dengan sedikit takut. Karena aku tak tahu siapa dia, aku berusaha mengeruhkan air mukaku, dan memadamkan api jiwaku. Aku membiarkan pintu terbuka dan berjalan menuju ranjang, lalu duduk dengan kepala menunduk.
Alih-alih pergi, dia justru mengikutiku.
Dia berjongkok di depanku. Dan, dengan dua tangannya, dia mengangkat wajahku yang sejak tadi terpaku merenung tanah. Kata pertama yang dia ucapkan saat mata kami bersitatap ialah, "Terima kasih. Terima kasih, atas kerja kerasmu selama ini." Lalu dia berdiri dan mengulurkan tangan. Ketika aku hendak meraihnya, dia justru menarik tubuhku. Tahu-tahu aku sudah jatuh di peluknya. Saat merasakan hangat badannya, aku tak lagi mampu membendung tangis. Aku menumpahkan seluruh duka yang lama aku pendam sendiri. Aku tak lagi menahan suaraku. Aku mengerang bagai melepaskan segenap luka yang mengendap di dada. Bajunya yang lembap dan dingin menjadi satu-satunya tempatku bersandar. Dia menepuk kepalaku dan mengelus rambutku yang kasar dengan tangannya yang lembut. Dialah yang kelak menulis kisahku. Namanya, Alexa.
Dengan pelan aku bertanya, bagaimana dia bisa menemukanku.
Dia hanya menjawab, 'Pekerjaanku membuatku terbiasa mencari dan menemukan.'
Alexa pemburu harta yang sering berpindah-pindah tempat. Dia manusia-naga tradisional yang ingin mengumpulkan emas dan perak sebanyak-banyaknya. Setelah berhasil mendapatkannya, dia menyimpannya dalam sebuah goa. Tetapi, goa yang Alexa maksud, sebenarnya hanya ruang bawah tanah di sebuah rumah, di kota yang diapit hutan lebat dan bukit landai. Di mata burung-burung, rumah-rumah beratap miring yang tersebar di seluruh penjuru, membuat kota itu seperti roti panggang. Rumah Alexa terasing di pinggir barat, kecil saja, tapi dikelilingi kebun yang sarat tanaman obat. Sehari-harinya, jika tidak memburu harta karun, dia menjual berbagai macam obat-obatan herbal.
Setelah air mata tak lagi membasahi pipiku, dia memandangku lekat-lekat, lalu menawariku pekerjaan di rumahnya. Padahal kalau hanya pelayan, dia bisa mendapatkannya di kotanya, tapi kenapa harus jauh-jauh mencariku? Kami bahkan tidak saling kenal dan tidak pernah bertemu sebelumnya. Tetapi, ketika dia mengundangku memasuki hidupnya, aku tak curiga sedikit pun. Seperti ada firasat yang membuatku memercayainya.
Kelak, ketika kami sedekat saudara, seperti kakak-beradik, dia hanya menjawab 'Maktub' pada segala pertanyaanku. Setelah diam sesaat, dia melanjutkan. 'Sang Jiwa menuntunku menemukanmu. Dia telah memberimu ujian yang menuntut pengorbanan. Dan, Dia berkata kamu lulus. Dia mengutusku menyelamatkanmu.'
Aku belum menceritakan pengalamanku bertemu Sang Jiwa pada siapa pun. Aku bahkan hampir menganggapnya mimpi belaka. Perkataannya membuatku memercayainya.
Tanpa menanti lama, aku pun berkemas, mengumpulkan sisa hartaku yang sedikit; beberapa helai pakaian, buku-buku yang berisi huruf-huruf Rune, dan sebuah catatan harian. Ternyata aku dapat memasukkan semuanya dalam tas kecil saja. Aku lalu mengikutinya bagai itik mengikuti induknya. Tetapi, dia justru memintaku berjalan di sampingnya.
Ketika menuruni bukit, salju turun mengiringi langkah kami. Aku berhenti di sebelah pohon cemara yang biasa menaungi siang-malamku dan memandang desa yang masih terlelap. Aku memejamkan mata, berusaha menyimpan suara sungai di belakang rumah dan mengabadikannya di dalam hati. Tapi aku berusaha tidak melihat rumahku. Saat kami tiba di desa, dan berjalan di setapak dengan salju setebal tumit, tidak ada satu pun pejalan yang terlihat, padahal langit sudah terbuka dan matahari perlahan terbit di balik bukit. Suara langkah kami teredam timbunan salju. Rasanya seperti berjalan di setumpukan daun kering. Aku memandang asap-asap cerobong membubung pendek sebelum lenyap ditelan udara dingin, pertanda para penduduk sebenarnya sudah terjaga, tapi memutuskan berdiam di rumah, menikmati nyaman dan hangat anglo. Setelah berjalan cukup jauh, Alexa menyewa kereta kuda yang berhenti di ujung jalan. Dia menawar dengan gigih seperti para pemburu harta—percayalah, tidak ada pengandaian yang lebih cocok lagi. Selagi Alexa dan kusir berdebat panjang, aku duduk di batu sebesar anak domba seraya memandang langit yang dipenuhi mendung kelabu, mendekati kelam. Akhirnya kusir menyerah dan, dengan gerutu tak jelas, membiarkan kami naik. Alexa tersenyum puas. Di dalam tenda, ada bangku memanjang yang cukup untuk enam orang, tetapi hanya diisi kami berdua. Ada ruang renggang di antara kami. Aku duduk di samping jendela bertirai tanpa kaca, sementara Alexa di seberangku. Sepanjang perjalanan, tak ada yang memulai percakapan. Setelah memberiku sepotong roti hangat, Alexa memejamkan matanya dan terlelap. Kepalanya terantuk-antuk seiring laju roda di jalan tak rata.
Aku mendengar langkah kaki kuda yang seiring-seirama dengan berputarnya roda. Pak Kusir bekerja dengan penuh peluh menembus jalan bersalju. Aku berkali-kali melihatnya mengelap keringat di kening, padahal cuaca tidak mungkin membuatnya berkeringat. Terkadang, roda kereta menabrak batu, dan membuat seisi tenda bagai terkena gempa. Seraya menyantap roti sepotong-sepotong—enggan menghabiskannya terlalu cepat—aku membuka tali jendela dan memandang ladang gandum kering yang membentang sejauh mata memandang. Alexa terjaga beberapa jenak kemudian. Dengan mata masih mengandung kantuk, tapi sia-sia tidur, dia membaca buku dengan sampul kulit yang sangat indah. Warna sampulnya cokelat-hitam dengan kait emas yang diukir dengan—indah—aku tidak punya padanan kata lain. Selebihnya, hening. Ketika sudah berhadapan dengan buku, Alexa tidak dapat diganggu. Matanya terpaku dan jiwanya terisap dalam baris-baris kata.