Laurel menghentikan ceritanya, lalu menjilat bibirnya yang kering. Mika segera menyadarinya. Dia memasuki ruangan, menyeduh seteko teh, lalu menyajikan semangkuk pada Laurel. Teh hijau, ujar Mika dengan seuntai senyum. Jika dibiarkan sebentar, rasa pahitnya seperti obat, kamu pasti suka. Laurel merasa tidak enak karena Mika melayaninya terus-menerus. Dia meminta maaf sudah merepotkan. Tetapi, Mika malah tertawa.
"Kamu sahabatku. Bersamamu, aku merasa tidak sendiri," Mika memandang kejauhan. Matanya sepi, dengan senyum yang juga sepi. "Kesendirian tidak ada hubungannya dengan jumlah orang di sekitar kita. Aku bisa saja dikelilingi seluruh dunia, dan tetap kesepian. Tapi keberadaanmu di sisiku membuatku merasa ditemani."
"Paman juga mendengar ceritaku tanpa menyanggah sedikit pun. Betapa mendengarkan adalah suatu bakat yang langka—teramat langka, justru. Ketika kau merasa didengarkan, kau merasa dicintai."
"Bukankah kamu pun begitu?"
Laurel tersenyum.
"Masih takut kabut, Laurel?"
"Masih. Aku menyukai malam, tapi tidak menyukai apa yang disembunyikannya. Sejak kecil, Mama—semoga jiwanya tenang di surga—mengajariku untuk tidak bermain-main di dekat kabut. Di balik kabut tersembunyi makhluk-makhluk yang tidak kita kenal dan berbahaya, kata Mama. Para Elf sering mengundang kami, para penyihir, bergabung di Negeri Kabut. Menculik, tepatnya. Tujuannya mulia, ingin melindungi kami, tapi jika sudah memasukinya, hampir mustahil keluar," kata Laurel, lalu terdiam cukup lama. "Sebenarnya tidak mustahil. Aku punya sahabat yang hampir setiap hari keluar-masuk Negeri Kabut sesuka hatinya. Setiap kami bertemu, dia selalu meyakinkanku, Negeri Kabut tidak seseram yang dikatakan Manusia. Di sana indah dan hampir tanpa duka. Tetap saja, aku tak berani. Dia elf—kaum elf pertama yang aku temui. Namanya Áine. Kami berjumpa saat aku berseluncur di permukaan sungai beku. Selama berbulan-bulan Áine menemaniku berseluncur—dan kami menari bagai belahan jiwa. Tanpa kata-kata sepatah pun, kami tahu ke mana harus melangkah—ke mana mesti mengayun. Meski udara dingin dan salju turun rapat, tubuhnya senantiasa hangat dan menguarkan harum bunga Kaguya-hime. Andai dia mengaku sebagai Putri Kaguya, aku takkan terkejut sedikit pun. Dan dia mempunyai suara yang indah, seindah parasnya—bagaimanapun, dia Elf. Rambutnya berkilau bagai benang-benang gerimis, bibirnya merona merah muda, dan pakaiannya selembut cahaya."
Mika tercengang. Hampir saja terbentuk jeda. "Jadi—jadi elf benar-benar ada?"
"Tentu, Paman. Untuk menghindari Manusia, para elf tinggal di dalam kabut. Begitupun kurcaci, peri, dan kaum sihir sepertiku. Hanya tersisa sedikit sosok dongeng yang masih bertahan di dunia. Suatu saat, mungkin tak ada lagi yang tersisa," Laurel tersenyum lirih. "Seandainya tak bertemu Alexa, aku mungkin sudah lama menghuni Negeri Kabut dan menjadi bayang-bayang dalam ingatan Manusia."
Mika gelisah dalam duduknya, lalu mengembuskan napas berat. "Sejenak lalu, aku ingin membantah dan berkata, Manusia tidak seburuk itu, tapi aku mengerti."
Laurel menyentuh tangan Mika. "Aku percaya, ada banyak Manusia baik—luar biasa baik—seperti Paman, Ci Rika, dan Lusi. Aku ingin seumur hidup memercayai apa yang Paman percayai. Bagaimanapun, aku juga Manusia."
"Terima kasih," kata Mika, "Di dekat sini, ada seorang pelukis yang tinggal bersama pamannya di kedai kopi. Ranti, namanya. Dia kerap melukis pemandangan sehari-hari di desa, tapi dengan menambahkan sosok-sosok dongeng di dalamnya. Selain malaikat dan peri, dia juga melukis Elf. Aku tak punya pandangan kritis terhadap seni, tapi di mataku, lukisan-lukisan Ranti indah. Pemandangan yang sudah telanjur melekat di benak, jadi terasa baru lagi. Aku ingin mempertemukan kalian."
"Apa dia melukis penyihir?"
"Sayangnya, aku belum pernah melihat penyihir dalam lukisan-lukisannya."
"Sayang sekali," Laurel tersenyum samar.
"Benar, bukan? Dia seharusnya melukis penyihir juga."
"Kalau begitu, berarti aku model puan sihir pertamanya?"
Mika mengangguk, lalu memandang Pekuburan Tua di seberang jembatan. "Dulu, aku juga takut kabut—terutama yang kini terbentang di hadapan kita. Saat kecil aku tak berani menyeberangi jembatan, bahkan membayangkannya pun bulu romaku berdiri. Setelah bertahun-tahun hidup di sini, dan bersahabat dengan para penghuninya, kadang perasaan takutku kembali. Tetapi, bukan hantu yang membuatku takut, melainkan sejarah."
Meski berisi nisan-nisan tua, Pekuburan Tua di seberang rumahku tidak angker sama sekali. Memang, beberapa pusara tak lagi dikenal, dan beberapa lainnya telah menyatu dengan lumut, tapi para jenazah yang disemayamkan di sana, sudah damai tetirah, tanpa berniat mengganggu siapa pun.
Beberapa kali dalam setahun, datanglah keluarga-keluarga yang berziarah dan berdoa di hadapan kubur yang mungkin sudah berusia seratus tahun. Jika banyak yang berkunjung, harum hio dan dupa mengendap di angkasa, menyelimuti desa. Ada pula yang membakar uang-uangan kertas, lalu menciptakan pemandangan kelabu yang mengelam di udara dangkal. Ketika mobil-mobil berebut parkir di sisi jalan sempit, anak-anak desa berkejaran meminta receh. Para penduduk pun, jika tidak ada yang berkunjung, secara rutin bahu-membahu membersihkan Pekuburan. Banyak yang menyangka makam-makam di sana mempunyai kekuatan gaib; entah sebagai penolak bala atau pesugihan. Tetapi, sekali lagi, tidak demikian adanya.
Tahun-tahun pun berlalu, makam-makam bertambah tua dan sepi. Semakin hari semakin sedikit peziarah yang datang, dan akhirnya tak ada sama sekali. Namun, penduduk desa masih kerap menyapu permakaman yang sarat daun-daun tua, juga memotongi rumput yang tumbuh liar di kubur-kubur.
Lalu, meletuslah suatu peristiwa yang kelak dikenang sebagai Tragedi Merah. Aku tak tahu bagaimana kisah sejatinya, dan terlalu berisiko memercayai versi pemerintah. Tetapi, garis besarnya, mungkin begini. Kepala Negara yang semula dielu-dipuja karena kemampuan orasinya yang terkenal, mengeluarkan ketetapan yang tidak masuk akal. Dia membubarkan dewan perwakilan rakyat dan meniadakan partai sama sekali, lalu memproklamasikan Demokrasi Terarah. Tetapi itu—jelas bukan demokrasi. Dia menyusun kabinet, menunjuk perdana menteri, dan mengangkat semua anggota parlemen sendiri. Dia juga semakin agresif terhadap lawan politiknya, memberangus pers, dan memenjarakan para pengkritiknya.
Partai Merah, meski berada dalam perlindungannya, tidak setuju dengan cara yang ditempuhnya. Mereka melancarkan provokasi untuk mempersenjatai buruh dan tani. Lalu, bagai bola salju, beredar pula isu seputar "Dokumen Rahasia" yang menyebutkan adanya Dewan dalam tubuh Angkatan Bersenjata yang berencana melakukan kudeta. Sialnya, di saat-saat genting tersebut, Kepala Negara mulai sakit-sakitan, dan Ketua Partai Merah menyiapkan gerakan untuk mengantisipasi dampak sakitnya beliau. Tetapi bola salju yang bergulir, terus bergulir, semakin besar, muskil dihentikan. Partai Merah dituding sebagai biang keladi pembunuhan tujuh jenderal angkatan darat. Untuk mengatasinya, Kepala Negara segera melantik seorang Mayor menjadi Menteri Pertahanan.
Ketika istana dikepung pasukan misterius, Kepala Negara bersembunyi di Kota Gerimis. Di sanalah, karena terdesak tekanan krisis ekonomi domestik dan Perang Dingin global, dia menandatangani dokumen Superseret yang mengizinkan Sang Mayor mengambil tindakan yang diperlukan demi memulihkan keamanan Negara.
Dan Tragedi Merah pun terjadi, membasahi seluruh negeri dengan darah.
Karena dituduh hendak mengkudeta negara, dan mengawali aksinya dengan membunuh jenderal-jenderal penting di pemerintahan, Sang Mayor memerintahkan bawahannya untuk membunuh dan memburu para pengikut Partai Merah.
Para tentara, dengan parang dan senapan, membantai Pengikut Merah dengan beringas laiknya hewan buas—tidak, bahkan hewan buas lebih berbelas kasih. Para tentara tak hanya memberantas Pengikut Merah, tapi juga memberangus segala yang dianggap berhubungan dengannya, dan yang sama sekali tidak.
Tidak ada lagi tempat aman, bahkan di pelosok. Desa kami, yang semula tenang dan damai, bukan kekecualian. Sungai kami menjadi sungai darah. Hutan kami menjadi hutan darah. Kabut kami menjadi kabut darah.
Dengan menumpas oknum-oknum yang dituduh 'merah', kudeta yang tidak pernah ada, gagal, tetapi pemerintah lama tetap lengser, dan Sang Mayor menaiki puncak kuasa, lalu memulai sebuah orde yang kelak dikenal sebagai Negara Baru. Banyak korban Partai Merah—bahkan yang bukan anggota partai—dibunuh dan dibuang di Pekuburan Tua, bahkan tanpa proses peradilan terlebih dulu. Beberapa lainnya dibiarkan meninggal di sungai.