Perjalanan Semusim

Rafael Yanuar
Chapter #8

Simfoni Pepohonan (8)

Saat melintasi jalan yang di kiri dan kanannya berdiri lemari-lemari buku, jubah hitam Laurel berayun-ayun memantulkan bunyi kain yang lembut. Dia sudah berjalan dengan sangat hati-hati, tapi selalu ada suara sehalus lelap yang meredup di sekitarnya. Meski tidak mengenakan sepatu, hanya sandal ruangan yang disediakan pemilik rumah, tetap saja suara lirih menggema saat dia melangkah. Dia memeluk selimut pemberian Mika, dan mendekap erat boneka beruangnya. Dia bernapas dengan mulut untuk menahan dingin. Padahal bertahun-tahun aku mampu menetap di desa yang sepanjang tahun tertutup salju. Apa mungkin aku sudah menua? Laurel tidak mau merapal mantra. Dia membiarkan alam menyelimutinya—apa adanya sebagai manusia, bukan penyihir. Tetap saja, rasanya dia seperti berada di jarak aman. Kapan pun ingin, dia mampu menghangatkan tubuhnya dengan sihir. Tetapi kini, dia masih bertahan. Untuk menghalau gigil, dia menyapukan pandang.

Atap tinggi dan rona gading dinding-dinding ruang layu sudah, tetapi saat Laurel menyentuh, dia tidak menemukan sehelai pun debu. Lampu-lampu terikat rendah dengan kawat, tidak dinyalakan. Satu-satunya cahaya yang tampak hanya pantulan samar rembulan yang memanjang di jalusi dan jendela. Dia hendak menaiki anak tangga pertama, tapi matanya terpaku pada pendar remang di pintu barat. Dia membukanya.

Sesampainya di halaman belakang, dia duduk di ujung pendapa seraya memeluk lututnya. Bukit hijau di hadapannya tak lagi bermahkota dandelion, tetapi tetap saja indah, dan namanya pun tetap Bukit Dandelion. Bunga-bunga krisan kuning mewarnai sisi-sisi pohon beringin. Kincir angin berdecit di ujung kelam. Andai Bulan tidak memancar teduh, mustahil Laurel dapat melihat apa pun. Dia meneduhkan mata—berusaha menangkap berbagai suara yang berlalu di sekitarnya. Di dalam suara angin, ada suara angin. Di dalam kersik daun, ada kersik daun. Di dalam segenap suara, ada suara lain yang jauh lebih jernih, Laurel teringat kata-kata Alexa. Itulah hakikat keheningan—memampukan kita mendengar, bukan sebaliknya.

Laurel pun larut dalam kenang.

"Terkadang, untuk sampai pada pemahaman, kita hanya perlu mengandalkan indra—melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, mencium dengan hidung, merasa dengan hati, dan bernapas dengan sadar—tanpa harus melibatkan pikiran. Saat kita berusaha memaknai segala sesuatu, kita tak lagi melihat dengan apa adanya. Bukan pohon yang kita lihat, melainkan pohon kertas. Bukan bulan yang kita lihat, melainkan bulan kertas. Bukan bintang pula yang kita saksikan saat malam mengelam cepat, melainkan bintang kertas. Kita jadi memandang dengan kata dan gagasan, bukan seperti yang terlihat. Makanlah supmu, minumlah tehmu, tanpa memikir-mikirkan maknanya," kata Alexa, seraya duduk di samping Laurel, di bukit hijau yang meremang dalam naungan matahari sore. "Aku pun dulu begitu. Telah lama aku mencari, tanpa menyadari, untuk sampai, aku hanya perlu berhenti berjalan." Alexa terdiam. "Laurel, pernahkah kamu mencium harumnya mawar?"

Laurel mengangguk.

"Apakah kamu memahami harumnya?"

Sekali lagi Laurel mengangguk.

"Mampukah kamu menguraikannya dengan kata-kata?"

"T—tidak."

"Adakalanya, terlalu banyak melangkah justru menyesatkan kita. Kamu hanya perlu berhenti—memandang yang ada di depanmu dan mendengar suara-suara di sekitarmu. Seseorang yang mengerti, tidak berkata. Seseorang yang berkata, tidak mengerti." Alexa memandang matahari terbenam di tubir bukit. "Aku terlalu sering membaca buku dan lupa bagaimana membaca huruf-huruf yang tidak tercetak. Aku lupa bagaimana membaca suara burung, menikmati dering serangga, mengkhidmati desau angin, siulan bambu, senja, candhikala, rumput-rumput, dan bunga-bunga. Aku lupa yang terpenting bukanlah hidup sesudah mati, melainkan hidup sebelum mati. Apakah kita benar-benar hidup sebelum kita mati?"

Lalu Alexa mengajari Laurel menghargai semua suara dengan memejamkan mata, menghayati segenap bunyi yang diberikan Bumi, tanpa bermaksud memperbudak suara-suara itu. Setiap tetes embun, setiap helai ilalang, kersik daun, dan segalanya—segalanya, merupakan pusat alam semesta, tanpa terkecuali, tanpa terkungkung sifat—atau apa pun. Hanya dengan mendengar, kita dapat menggapai keheningan.

Saat Alexa mengajaknya berkelana di hutan, dengan keranjang besar di tangan, seraya mencari akar-akaran tua untuk dijadikan herbal, dia berhenti sejenak untuk merasakan denyut jantung Semesta.

"Bagaimana caranya?"

Alexa tersenyum. "Apa?"

Lihat selengkapnya