Perjalanan Semusim

Rafael Yanuar
Chapter #9

Simfoni Pepohonan (9)

Seraya duduk memeluk lutut dan menikmati gemingnya malam, beberapa kenangan satu per satu menghangatkan benaknya. Entah bagaimana, dering jangkrik dan cicada yang bersahut-sahutan dan kunang-kunang yang berkilau lembut di bukit dandelion, membuat Laurel tak mampu menahan haru di hatinya. Biasanya, dia menghabiskan malam dengan berkelana, menyusuri sepanjang jalan dan menikmati suasana kosong di tempat-tempat yang ramai saat siang. Adakalanya, karena tidak tahu harus mengerjakan apa, Laurel bersandar dalam bayang-bayang pohon di belakang rumah Alexa, lalu mencabuti biji bunga matahari layu, dan menghitungnya satu per satu. Ketika sadar, fajar sudah menyingsing. Ribuan biji yang dia susun, menghalangi jalannya. Saat Alexa membuka pintu untuk menyiangi ladang kecilnya, dia tersentak mendapati sosok hitam misterius berambut cokelat tengah duduk terpaku di belakang jejanggut kelam pohon beringin. Samar dia mendengarnya menghitung biji-biji bunga matahari dengan sorot mata serius. Seolah tak ada yang lebih penting lagi. Lalu pecahlah tawa Alaxa.

Laurel tidak tahu dengan apa harus menghabiskan waktu saat malam menjelang, sementara tidur dia tak suka. Kadang, membaca pun dia enggan. Karena Alexa tak tega meninggalkannya sendiri, beberapa kali dia mengajak Laurel mengunjungi bar di selatan kota. Laurel selalu menolaknya. Namun, pada suatu akhir pekan, Laurel menyerah. Dia mengiakannya.

Dini hari sudah menjelang ketika Alexa dan Laurel menyibak tirai berlampion merah. Mereka duduk di sudut tergelap, di bawah tangga yang terhubung dengan penginapan—beberapa musafir menaiki dan menuruninya. Laurel tak mampu menyembunyikan perasaan gugup. Aroma alkohol menguar di udara. Menciumnya saja sudah memabukkan. Bagaimanapun, meski usianya lebih tua dibanding siapa pun yang ada di bar itu—kecuali Alexa—Laurel terlihat muda—terlalu muda, justru. Karena tidak menyukai suasana remang-remang yang mencurigakan itu, dia menunduk seraya diam-diam memandang sekelilingnya. Jantungnya berdetak kencang. Matanya berkunang-kunang. Kepada Alexa, dia memohon maaf berkali-kali, lalu memilih pergi. Alexa memakluminya. Dengan sedikit terhuyung, Laurel melangkah keluar. Sesampainya di jalan, dia menahan lutut dengan dua tangannya, lantas mengembuskan napas selega-leganya.

Meski langit mengelamkan sunyi dan bara sudah padam sebagian, kota masih terjaga. Pendar api di balik lentera meremang di depan rumah-rumah penduduk. Tiang-tiang lampu memijarkan api yang bergelombang di setapak. Dia menyusuri jalan-jalan dan lorong-lorong yang sepi. Anjing-anjing melolong di kejauhan. Langit kelabu. Biasannya, ke mana pun Laurel melangkah, selalu ada yang menyapanya, dan dia, semula, tidak terbiasa menerima ramah-tamah. Di desa Salju, dia hanya mendapat tatapan sinis dan curiga. Jika matanya bersitatap dengan seseorang, seringkali penghindaranlah yang dia dapati. Tak ada sapa, apalagi senyuman. Tetapi, di sini berbeda. Semua penduduk mengenal Alexa sebagai tabib kota, dan Laurel ikut menerima manisnya, setidaknya sebagai muridnya. Syukurlah, saat menjelang larut, seperti sekarang, malam hanya berisi para pedagang yang tetirah beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan. Hanya sedikit yang Laurel kenal. Dia tak perlu menunduk malu.

Laurel duduk di alun-alun kota. Tak seperti siang, suasana di lapangan sepi saat menjelang subuh. Dia bersandar di dudukan batu dan memandang bintang-bintang yang berkilau malas. Naga-naga berterbangan di antara awan. Mungkin karena berada di dekat laut, beberapa naga berbentuk menyerupai ular, berkaki empat, bersisik, dan bertanduk. Para naga timur, bisik Laurel. Lalu ada malaikat-malaikat. Meski hanya terlihat menyerupai bintang-bintang, dengan cahaya yang berkedip tenang, Laurel tahu mereka ada untuk menjadi penjaga dan pengawas. Laurel mengangkat tangannya. Bagian lengan jubah hitamnya melandai turun. Akhirnya, tak lagi mampu menahan hasratnya, dia berdiri, lalu membentangkan tangannya. Seketika saja, sepasang sayap kelabu mengembang di balik punggungnya. Dengan satu sentakan, dia melayang, melambung, lantas terbang sejauh yang dia bisa. Dengan sangat hati-hati, dia mengitari menara lonceng yang berdentang tiga kali, menandai Misa subuh di Gereja Bunda Maria.

Ketika memandang di balik kabut, yang meremang manai di udara rendah, sebuah panorama yang muskil dituangkan dalam kata, menggetarkan dada Laurel. Berapa kali pun dia mengalaminya, tak kunjung habis perasaan kagum di hatinya. Rumah-rumah yang semula besar, mengecil, menjadi bidang-bidang miring belaka. Sebagian tanah kosong yang terabaikan, bagai dipahat waktu, menempuh tahun-tahun tanpa akhir, menjadi garis-garis cokelat semata. Ladang hijau yang sunyi—dan padang yang berkilau di bawah pendar perak rembulan, seolah menyapanya dengan lambaian dahan dan rerumputan. Meski malam bertambah kelam, Laurel mendapati hamparan biru serupa safir berkilau di sudut matanya. Rupanya, dia telah sampai di ketinggian—sesuatu yang dulu tak mampu dilakukannya. Dia mendaki kabut putih gemawan, lalu tiba di padang luas mahaputih dengan rembulan tersenyum di ujungnya.

Saat kau memandang dunia melalui mata seekor burung, Laurel, adakalanya kau mampu mengetahui apa yang dialami orang-orang, begitulah Alexa pernah berkata. Berkeliaran di jalanan kota sendirian. Memutuskan terbang seolah tidak ada rumah untuk pulang. Membiarkan musik menggema di kepala. Saat aku memanggilmu dengan suara yang mustahil kaudengar, setidaknya aku berharap hati kita terhubung.

Laurel berdiri dengan sayap mengalun lembut di awan. Dia memandang puncak hijau zamrud yang meremang di ujung barat. Semua bagai terselubungi kabut. Ujungnya tidak terlihat. Dalam kilau perak yang meleleh di dalam udara gelap, cahaya bergelombang bagai benang sutra yang tidak dipintal. Laurel melayang pelan saat tabir nila keunguan membentang di timur—menuju lembah. Lalu mengalami perasaan nelangsa, seolah rindu, putus asa, dan ketidakberdayaan menyesak di dadanya. Bahkan dia juga mencemburui entah apa—atau siapa. Laurel terbang di antara berkas cahaya, lalu menuruni celah-celah gemawan, dan menghirup aroma subuh dalam-dalam. Dia lupa, musim dingin masih menyesaki udara, hidungnya beku. Lalu tibalah dia di atas ladang murni nan putih dan menyilaukan.

Jika ditempuh dari kota, jalan menuju rumah Alexa, yang kini menjadi rumahnya jua, sebenarnya dekat, tetapi dia tak mampu menahan diri untuk terbang dan mengambil jalan memutar. Dia memandang bulan dan mengira-ngira waktu, tapi tak pernah benar-benar yakin. Karena malam masih panjang, dia memasuki rumahnya, lalu mengambil sepatu yang dibuatnya khusus untuk berjalan di permukaan es. Seraya mengemban tas sepatunya di pelukan, dia merapatkan mantelnya dan memasuki hutan. Pohon-pohon tua yang pokok kayunya sebesar raksasa, membuat setapak yang dia lalui mencekung. Dia berjalan di antara kelam dengan mengandalkan perasaannya saja. Tak ada satu pun kunang-kunang melapangkan jalan, hanya pendar bulan yang terhalang dahan-dahan rapat. Dia mendengar burung-burung berbisik dan angin bersiul pelan. Tak lama kemudian, dia tiba di lapangan herbal. Di seberangnya, ada padang yang terhubung dengan sebuah sungai kelabu. Sungai itu luas, dan permukaannya dilapisi es. Jarang-jarang Laurel mengenakan sihir pereda dingin. Tetapi begitulah yang tepatnya dia lakukan saat ini. Dengan sepatah mantra, dia membuat tubuhnya kebal suhu. Lalu, dia membuka mantel dan jubahnya—melipat dan menyimpannya di batu besar tepi sungai. Di balik jubah kelamnya, Laurel mengenakan gaun tipis putih yang meremang dalam cahaya bulan. Dia menjejakkan kaki di atas permukaan es, lalu berjalan dengan sepatu luncur dengan langkah kaku dan gugup.

Meskipun tidak minum segelas anggur pun, ada perasaan menyerupai mabuk di perutnya ketika kakinya mengalir di atas es. Dia menyusuri sisi-sisi sungai dan mengitarinya. Dia memutar tubuhnya berkali-kali. Ketika mengambil langkah-langkah lebar ke kiri dan kanan, rambutnya ikut berayun bagai menari. Seolah terkesima, bulan pun membuatkannya cahaya dengan sedikit rona merah jambu muda.

Ketika Laurel menyelesaikan tariannya, dia melihat di batu besar tempatnya meletakkan pakaian, ada seseorang duduk. Dia nampak memancarkan cahaya sendiri, tetapi ternyata tidak. Dia hanya terlalu putih untuk disebut manusia. Ketika melihat telinganya yang lancip, Laurel mundur selangkah. Sosok tersebut mengangkat wajahnya, lalu Laurel menyadari kabut tebal di belakangnya.

"Kenapa takut? Aku tak berbahaya. Aku hanya kebetulan lewat dan melihatmu menari di permukaan sungai es." Dia tersenyum. Namun Laurel tetap diam. Tidak, sebenarnya dia ingin lari sejauh-jauhnya "Aku tak mengerti rasa takut kalian, kaum sihir, kepada kami, para Elf. Namaku Áine. Duduklah di sisiku."

"Tidak."

"Kenapa?"

"Seperti katamu, aku takut."

"Aku telah menyebutkan Nama-ku. Bagi kalian, Nama-Nama begitu penting, bukan? Seharusnya kamu percaya padaku. Duduklah di sampingku, aku takkan menculikmu."

"Singkirkan dulu kabut itu."

Áine tertawa, "Kamu pikir aku sehebat apa? Kalau begitu, aku saja yang mendekat kepadamu."

Áine melangkahkan kakinya di permukaan es. Rambutnya yang panjang dan berkilauan bertambah terang dalam cahaya perak rembulan. Ketika dia berjalan, gaunnya ikut terayun seiring langkahnya yang lembut.

"Sesaat tadi, saat melihatmu menari dengan gaun seputih salju, aku pikir kamu kaumku. Ah, kalau tidak hati-hati, aku mungkin jatuh cinta padamu. Kau begitu cantik, seperti malaikat, seolah-seolah kau pemandangan indah dalam mimpiku. Bukankah penyihir biasanya mengenakan jubah jelek hitam yang bahannya terlalu panjang sampai menutupi betis?" Áine tertawa.

"Maaf saja, kalau begitu."

"Jangan marah." Áine memohon maaf. "Padahal kamu begitu cantik. Puan-puan sihir selalu rupawan! Tetapi, entah kenapa mereka menyukai yang hitam-hitam. Jubah hitam, kucing hitam, kuali hitam, sayap hit—"

"Sayapku abu-abu, mendekati putih."

"Oh, kamu manusia-naga juga."

"Belum terlalu lama."

Áine tersenyum, lalu mengulurkan tangannya pada Laurel. "Menarilah denganku. Ajari aku menari sepertimu."

"T—tidak mungkin. Kalian, para Elf, tentu lebih pandai."

Lalu Áine menarik tangan Laurel yang tak menyambut uluran tangannya. Salju turun pelan, tetapi rapat. Setiap bulirnya menebal di permukaan. Sekalipun guguran salju melicinkan lantai, Laurel dan Áine berhasil menyeimbangkan langkah.

Pemandangan-pemandangan berlalu cepat di sudut mata, bagai sekelebat bayang dalam garis-garis samar. Áine dan Laurel sampai di bagian hutan yang dahan-dahannya nyaris tak berdaun. Sejauh mata memandang, di dahan-dahan pepohononan, hanya ada helai-helai putih salju. Laurel dan Áine tidak memikirkan apa pun meski sudah terlalu jauh menari, meninggalkan pantai. Sungai teramat luas, terhubung dengan seluruh hutan. Alirannya berujung di laut.

"Bukankah terlalu sepi? Bagaimana kalau kita menyanyi?"

Meski takut masih menyelimuti dadanya, Laurel tersenyum. Dia meminta Áine saja yang menyanyi. Sekeras apa pun aku berupaya, aku tak mungkin menandingi suara Elf. Áine tertawa. Suaranya bagai gemercing lonceng yang jernih dan sunyi. Lalu sepatah nada jatuh membentuk harmoni, mengisi udara kosong.


Sul mare luccica

Lihat selengkapnya