Laurel memasuki kamar barat di lantai dua. Di balik jendela, bulan merendah di tubir bukit, hampir terbenam di ufuk barat. Dia masih dapat melihatnya, tapi pendarnya sudah melayu, hampir gugur, tidak serekah saat malam masih belia. Di bukit dandelion, tak ada apa pun selain siluet pepohonan dalam bayang-bayang ungu gelap. Sesekali terpantul percik kilau laiknya blitz kamera. Kunang-kunang. Dengan hati-hati, Laurel membuka jendela lebar-lebar, lalu menjulurkan tubuhnya. Dia menopangkan tangan kanan dan kirinya di kusen, lalu memburu arah utara. Rambut cokelatnya melambai tertiup angin.
Bahkan setelah dia menengadah, dia tidak langsung menemukan apa yang dicarinya. Pandangannya terhalang angin dan pintu jendela. Tetapi, dengan menyipitkan mata dan menyibak rambut yang menutupi wajah, di antara dawai-dawai gemintang, berhasil juga dia menjumpai galaksi spiral Andromeda. Begitu samar, hampir terlewat. Dia ingin mengepakkan sayap dan mendekatinya, tetapi mengurungkan niat dan hanya terbang sebatas genting. Dia bersandar di puncak atap.
Begini pun cukup.
Cahaya Andromeda memerlukan dua setengah juta tahun untuk sampai di Bumi. Jadi, apa yang aku lihat hanyalah Andromeda dua setengah juta tahun yang lalu, bukan seperti apa ia sekarang. Di dalam Andromeda, ada seratus ribu juta bintang, dan banyak yang berukuran lebih besar dibanding Matahari. Tetapi, adakah seseorang di sana?
Laurel mengangkat tangannya, lalu menjentikkan jarinya sekali, dan membayangkan ribuan tata surya baru tercipta. Dia teringat kata-kata Áine ketika duduk di tepi telaga. Dengan bersandar di bahu Laurel, Áine berkata,
Tahukah kamu, untuk membentuk tata surya, alam semesta memerlukan waktu beberapa juta tahun. Namun, sekalipun masa pembentukannya panjang, bukan berarti jarang terjadi. Galaksi Bimasakti melakukannya sekali dalam sebulan. Dan Bimasakti bukan satu-satunya Galaksi di alam semesta ini. Ada satu triliun galaksi lain—dan ada seratus juta triliun bintang di masing-masing galaksi. Karena itu, ribuan tata surya baru bisa terlahir kapan saja, setiap detik, setiap kita menjentikkan jari. Laurel, adakah sihir yang lebih hebat dari itu?
Ada. Kamu.
Aku memang tak mungkin menang melawanmu.
Laurel membayangkan dongeng-dongeng seindah apa yang terajut di antara dawai-dawai gemintang. Bahkan sejak purba, bintang-bintang telah membantu Manusia bercerita. Dengan menarik garis tak kasatmata yang membentuk rasi, Manusia menemukan berbagai kisah yang seolah ditimba dari sumur inspirasi yang tiada habisnya.
Laurel tak kunjung mengerti, kenapa setiap kali dia memandang bintang, kenangan begitu mudah memasuki benaknya? Dia berbaring miring menghadap barat. Seraya menantikan pagi, dia memejamkan mata. Meski tak larut dalam lelap, pikirannya jernih.
Saat Rika menuruni undakan, dia mendapati Laurel sudah duduk di halaman belakang, memandang bukit dandelion dengan tangan menopang di pipi. Di pangkuannya, tertangkup sebuah buku bersampul hijau tua. Di bawah kakinya, obat nyamuk sudah sepenuhnya terbakar. Rika mendekati Laurel dan menepuk lembut bahunya. Ketika Laurel menoleh, Rika menempelkan telunjuk di bibir dan tersenyum. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia duduk di samping Laurel. Udara dingin masih berembus, matahari sekadar pendar nila di ujung ufuk, belum benar-benar membuka matanya. Rika memeluk jaketnya lebih erat lagi. Uap putih menguap setiap kali dia mengembuskan napas. Embun-embun berkilau membasuh rerumputan, benar-benar berkilau, seolah yang menitik di helai-helainya bukanlah air, melainkan permata sebesar manik-manik.
"Selamat pagi," kata Rika, akhirnya.
Laurel tersenyum lembut. Dia tidak tidur semalaman, tapi tidak terlihat noda ungu di sekitar matanya. Bolamatanya masih sejernih biasanya.
"Selamat pagi, Chi."
Rika terkejut, rasanya kemarin Laurel tidak memanggilnya Chi.
"Kamu leluhurku. Kenapa malah memanggilku Chi?"
Laurel tersenyum kecil. "Menurut standar penyihir, aku baru berumur lima belas tahun," lalu dia menghitung jarinya lagi, "—atau tiga belas, ya?"
"Baiklah. Baiklah," Rika tertawa.
Lalu Lusi duduk di sebelah Rika.
Pagi, para Kakak.
"Pagi, Lusi."
Matahari masih belum terlihat ketika Rika menghilang di balik pintu dapur, lalu kembali dengan nampan berisi tiga cangkir teh. Setelah memberikan dua pada Lusi dan Laurel, dia duduk di bangku santainya. Rika menaruh semangkuk teh di meja samping bangku, lalu membuka buku yang semalam dipinjamnya. Sei Shonagon – The Pillow Book. Dia menemukannya di kamarnya, di samping bantalnya, bersama setumpuk buku lain yang sudah disediakan Mika.
Mika selalu tahu buku apa yang Rika suka. Setiap kali dia mendapatkan buku-buku yang sesuai dengan selera kakaknya, dia selalu menyimpannya di kamar timur. Barangkali sewaktu-waktu Chi Rika datang dan menginap. Rika membuka bagian yang dibatasi, tetapi memutuskan membaca dari halaman pertama.
Dia mengambil selembar kertas yang ditulis Mika di halaman depan. Beginilah catatan Mika,
The Pillow Book berbeda dengan buku lain. Ia tidak berisi cerita, tetapi juga bukan buku nonfiksi biasa—sebab tidak ada tema khusus yang menaunginya. Isinya hanya pengamatan terhadap hal-hal sederhana yang mungkin berharga—atau tidak—dalam kalimat-kalimat yang menyerupai buku harian. Dalam menulis The Pillow Book, Sei Shonagon melakukan suatu teknik yang di Jepang bernama zuihitsu, atau mengikuti kuas. Jika biasanya, sebelum memikirkan kata pertama, penulis menetapkan tujuan-tujuannya dengan jelas—dengan kata lain, dituntut menemukan tujuan sebelum memulai perjalanan, pelaku zuihitsu tidak. Mereka meniru hidup.
Terkadang, setelah memulai langkah pertama, barulah tujuan terlihat, bukan? Kau hanya perlu menyapu kuasmu, dan lihat ke mana ia mengarah.
Mika juga menyertakan beberapa lembar terjemahan The Pillow Book. Selain menulis, dia juga mencari nafkah dengan menerjemahkan. The Pillow Book menjadi proyek terbarunya. Beginilah terjemahan bagian pertamanya,
Pada musim semi, itu embun yang cantik. Saat cahaya merayap di atas bukit, warna merah manai dan awan keunguan mewarnai sisi-sisinya.
Pada musim panas, itu malamnya. Bukan hanya ketika bulan berkilau cerlang, melainkan pada malam-malam gelapnya juga—manakala kunang-kunang berterbangan kian-kemari dan hujan turun tanpa henti. Betapa indah semua itu!
Pada musim gugur, itu petang ketika matahari bergulir di tubir bukit dan burung-burung gagak, bagai noktah di cakrawala, kembali bersarang—bertiga, berempat, atau berdua. Begitu matahari menghilir, kesiup angin dan senandung serangga menggerakkan hati.
Pada musim dingin, itu pagi belia. Memang indah jika salju turun pada malam hari, tapi tanah yang putih karena es juga tidak kalah indah. Bahkan, tanpa salju dan es, masih ada petugas yang bergegas dari kamar ke kamar untuk membagi-bagikan arang. Alangkah cocok dengan suasana musim. Namun, ketika tengah hari mendekat dan hawa beku mereda, tidak ada yang mau menyalakan anglo. Dengan segera, yang tersisa hanya tumpukan abu putih.