Perjalanan Semusim

Rafael Yanuar
Chapter #11

Paviliun Naga (2)

Lusi menunduk memandang sarapannya. Bukan kali pertama dia mendengar pengalaman Mika dan Rika di Pekuburan Tua. Lusi bahkan sudah menghapal hampir setiap detailnya. Tetap saja, kerapkali membayangkannya, dia mencemaskan raganya. Dia selalu ingat, dia hanya jiwa tanpa tubuh, roh tanpa jasad, yang tersesat di dunia ruang. Dia mendambakan tubuhnya bagai rindu telaga pada rembulan.

Rika membelai rambut Lusi. Tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak pula punya kata-kata penghiburan. Lusi menarikan jarinya, tersenyum. Tidak apa-apa, Chi. Terima kasih. Aku benar-benar bersyukur, Chichi dan Paman mau menerimaku di sini. Aku tidak tahu harus ke mana jika tidak bertemu kalian. Lalu, Lusi menyendok nasi goreng yang masih mengepul panas di hadapannya. Hangatnya membuatnya tenang.

Ruangan senyap. Denting sendok dan garpu menggaung di dapur. Kulkas berdengung—entah bagaimana, terdengar padu dengan kicau burung-burung. Setelah bersantap, Rika pamit hendak mengurus ladangnya. Dia mengambil sepedanya di kebun Lusi, lalu menuntunnya di setapak sebelum mencapai jalan. Tetapi, ketika Laurel hendak mengikutinya, Rika menahannya. Dia meminta Laurel menghabiskan hari di sini. Lusi juga berkenan menemaninya. Pemandangan pagi di bukit dandelion, hutan purba di sempadan desa, berjalan di sisi tanggul. Laurel, ada banyak tempat indah di desa ini—dan aku ingin kamu mengunjunginya.

"Benarkah, Kak?"

Rika mengangguk. "Kemarin, saat kita sampai, hari sudah hampir malam. Banyak ranah meremang dalam gelap. Padahal, dalam naungan matahari cerah, desa ini sangatlah indah. Aku juga berencana menginap lagi di sini. Aku harap kamu tak keberatan, Mika."

Karena kantuk masih membebani matanya, Mika hampir tidak menyadari pertanyaan Rika. Tetapi, akhirnya dia mengangkat wajahnya.

"Tentu. Ini rumah Chichi juga—peninggalan orang tua kita. Aku bahkan berharap Chichi mau menetap di sini."

Rika hanya menjawabnya dengan senyuman, lalu menuntun sepedanya perlahan. Sebelum hilang dalam kabut, Laurel melihatnya beranjali di hadapan biksu tua yang berdiri di depan kelenteng. Halimun merabun cepat menelan Rika dan sepedanya, tapi tidak cukup tebal. Tetap saja, Laurel membuka telinga lebar-lebar, berharap mendengar Áine, tapi yang ditangkapnya geming semata.

Lusi menyentuh tangan Laurel. Kak, maukah bersamaku mengunjungi hutan di sempadan desa? Di sanalah Paman menemukanku.

Laurel mengangguk

Aku selalu ingin ke sana.

Boleh, Paman?

"Tentu. Berhati-hatilah."

Tanpa bersiap-siap terlebih dulu, setelah melambaikan tangan pada Mika, Lusi dan Laurel mengawali langkah. Di balik pagar, Mika memperhatikan mereka bergandeng tangan laiknya kakak-beradik. Lalu sepi—hanya suara-suara pagi menyelinap datang dan pergi. Mika menguap lebar-lebar. Hari masih terlalu pagi untuk memulai aktivitas. Matahari pun belum benar-benar terjaga. Hanya ayam-ayam entah milik siapa hibuk di jalanan kosong. Mika memasuki ruangan, menyusuri rak-rak pustaka, lalu berbaring di samping mesin tik tuanya, di sofa ruang tulisnya.

Laurel dan Lusi melangkah berdampingan di sebelah tanggul kali. Setelah memandang derasnya sungai, Lusi menarik lengan baju Laurel, lalu menarikan jarinya,

Bisakah sihir dipelajari?

Laurel berpikir sejenak.

Aku tidak tahu. Seseorang yang terlahir dengan bakat sihir, dapat memelajarinya dengan mudah. Tetapi, mungkin segalanya berbeda jika kamu tidak mempunyai darah magi. Setahuku, ada beberapa jenis sihir. Ada yang mengandalkan Nama-Nama sepertiku, lukisan seperti Fris, dan Alkimia.

Alkimia?

Laurel mengangguk. Tetapi semuanya berhubungan, jawabnya.

Laurel merapalkan sebait mantra. Seketika saja, air menggenang di telapak tangannya, lalu jatuh membasahi tanah. Setelah tetes terakhir lesap, Laurel mengelap keringat di keningnya, matanya sedikit berkunang-kunang. Lusi menuntunnya beristirahat di batu samping tanggul.

Aku tidak menguasai alkimia. Jadi butuh banyak energi untuk melakukannya.

Kakak seharusnya tidak memaksakan diri.

Aku pikir, proses mengubah udara menjadi air, sama dengan mencairkan salju—aku sering melakukannya di desa masa kecilku. Tapi ternyata berbeda. Lagipula, aku ingin pamer. Laurel tertawa, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Lusi.

"Segala sesuatu di dunia mengandung sihir. Bayangkan, pada awalnya, tidak ada apa-apa, lalu ketiadaan itu meledak dan menjadi jagat raya. Adakah yang lebih mengherankan dari itu?"

Mustahil.

Bagi kita.

"Semula, jagat raya hanya sebesar satu titik yang jauh lebih kecil dibanding sebutir atom. Namun, di dalamnya berkumpul semua energi dan materi yang saat ini ada di semesta kita. Jika kamu sulit membayangkannya, satu juta lebih atom bisa muat pada sebuah titik di ujung kalimat ini." Laurel membuka kitab hijau yang senantiasa dibawanya, lalu menunjukkan sebuah titik pada Lusi.

Lihat selengkapnya