Aku tak mengerti, kenapa di desa, terutama pada hari Minggu seperti sekarang, matahari terlihat cerah, tetapi juga teduh sekaligus. Laurel menyandarkan bahunya di bangku. Dia memandang langit biru yang baru terbuka setelah semalaman berselimut gelap. Awan-awan tipis menggantung tinggi bagai beledu.
Kelak, setelah mengenal baik segenap jalan di desa, barulah aku menyadari: ini hutan yang indah. Meski tak terlalu luas, kecuali bagian depan yang ditumbuhi pepohonan raksasa, sisanya seolah dibiarkan begitu saja, tanpa perawatan. Ketika aku bertanya, Paman menjawab singkat, 'Para penduduk sengaja membiarkannya seperti adanya. Kami berusaha membiarkan hutan tumbuh dengan sedikit sekali campur tangan manusia. Kayu-kayu mati yang tersebar di seantero rimba, adalah rumah yang nyaman bagi kumbang-kumbang yang gemar membuat liang di bawah kulit kayu. Beberapa jenis burung pelatuk hanya mampu bersarang di rongga pohon yang sudah mati. Ada beberapa organisme yang justru tak mampu bertahan jika manusia ikut mengelola.'
Sekarang musim gugur sudah bertandang, buah-buah ciplukan tumbuh dalam semak berdaun lebat. Dalam dahan dan daunnya yang lebar, tersembunyi daun buah kelabu, yang manai dan setipis kertas—Seniman Agung yang Maha Penyabar, merajutnya dalam bentuk lonceng segi enam. Di dalamnya, terbungkus buah-buah kuning keemasan, bulat, dan sarat air. Ada yang asam dan ada yang manis.
Sejuk malam masih terasa menembus hangatnya pagi. Angin bertiup lembut membawa bau rumput-rumput tua dan aroma manis bunga-bunga. Bahkan, pohon-pohon purba dan bijak dengan tinggi yang mampu membuatmu menahan napas, mengangguk-angguk bagai menikmati teduh cuaca. Sunyi memang menjadi bagian hari-hari di desa, tapi hari Minggu menawarkan sunyi yang lebih menenangkan, seolah segalanya melaun menjadi selembut lelap. Langit membiru jernih. Aroma hutan memenuhi udara. Bunga-bunga bermekaran di sepanjang tepi setapak, bagai peri-peri kecil dengan gaun pusparona.
Setelah puas menikmati matahari, Laurel dan Lusi terdiam. Ketika burung-burung berhenti bersiul, dan daun-daun tak lagi kersik, Lusi kembali bercerita.
Saat pertama kali melangkahkan kaki di perpustakaan, aku terperangah melihat banyaknya buku yang tersusun rapi di dalam rak-rak pustaka. Di desaku, meski keluargaku gemar membaca, di rumah hanya ada satu lemari kecil yang merangkum koleksi Ayah, Ibu, dan dua chichiku, Vivian dan Nesia. Apa boleh buat. Toko buku terdekat terletak di kota sebelah. Ratusan kilometer jauhnya.
Perlahan-lahan, aku terbiasa menghabiskan hari di rumah Paman dan Chichi. Tetapi butuh waktu lama untuk berani jalan-jalan di setapaknya, menjenguk hutannya, atau bersama Paman mengunjungi rumah Chi di batas desa.
Sesaat setelah aku datang, musim dingin memutihkan seluruh jalan. Udara sejuk. Paman memberiku pakaian-pakaian tebal, Chichi merajutkanku sarung tangan, syal, dan pelindung telinga. Kami merayakan Natal dan Tahun Baru dengan bersahaja di ruang tamu—menonton televisi yang menayangkan film-film keluarga, membaca buku, dan bermalas-malasan. Tak ada yang istimewa, sebenarnya. Karena jarak Gereja cukup jauh—sukar ditempuh dengan sepeda—pada malam Natal, kami tidak menghadiri Misa. Sebagai gantinya, Paman mendekorasi ruang dan membuat suasana Natal menghiasi seantero rumah. Bersama Chichi dengan pianonya, Paman memainkan gitar di lantai dua. Senandung White Christmas, Silent Night, dan O Mari Berhimpun, serta banyak lagu lain menggema di dalam ruangan.
Malamnya, ketika lelap di kamar, aku tak mampu memalingkan pandang pada bintang-bintang perak yang berjatuhan di jendela. Sebelum menetap di rumah Paman, aku tidak pernah melihat salju. Ternyata bentuknya benar-benar menyerupai bintang-gemintang.
Saat musim salju bertandang, setelah memasukkan kayu-kayu bakar ke dalam rumah, tak ada lagi yang dapat kami lakukan. Semua bersantai dengan setumpukan buku di sampingnya. Chi Rika menginap hampir setiap hari. Jika salju sudah turun rutin, tak ada yang dapat Chi lakukan dengan ladang kecilnya. Chichi membiarkan rumahnya terendam salju dan memutuskan "merepotkan adiknya" selama musim masih kelabu, tapi Paman justru senang dengan kehadiran Chichi. Sekalipun cuaca meredup cepat dan temperatur jatuh, Paman tidak melupakan kewajibannya menyambangi Pekuburan Tua. Dia tidak sendiri. Jika dini hari datang, suara rindik senantiasa mengalun mengisi udara.
Seusai salju turun semalaman, pagi menyelimuti desa dengan kesunyian. Padang putih nan luas, terlihat menyerupai kertas yang belum ditulisi. Burung-burung padang bernyanyi, sementara burung-burung hutan terbang naik di kejauhan, dengan leher dan kaki yang teregang — memekikkan suara-suara pendek dan besar. Saat fajar menyingsing, seraya mendekap syal dan jaket, aku menemani Chi Rika menjahit di ruang kecil pojok pendopo. Dengan lampu dekat mesin jahit, dan pemanas, Chichi menambal baju-baju tua dan membuat baju baru dengan bahan-bahan lama. Bahkan sejak pertama bertemu, aku sudah akrab dengan Chi Rika.
Aku memerhatikan cara kerja mesin jahitnya dengan saksama, tanpa mampu menyembunyikan rasa penasaran. Ketika aku bertanya, Chichi menjawab dengan penuh kesabaran, "Kamu hanya perlu mengayun pedal dengan kaki, lalu membiarkan roda berputar. Seiring bergeraknya roda, jarum memompa naik dan turun. Tentu lebih sederhana jika kamu mau mencobanya sendiri," katanya. Lalu, seraya menangkup tanganku, kami menjahit sepotong kain bersama. Aku, yang semula tak mengerti, akhirnya memahami.
Setelah berhasil menenun selembar kain dengan kelindan benang yang sama sekali tidak rapi, aku berdiri di belakang Chichi dan melihatnya duduk di depan mesin, memutar roda dengan tangan, dan menekan pedal dengan kakinya. Roda terus berputar. Suaranya menyerupai dengung lebah. Jarum bergerak bagai cahaya.
Adakalanya Chichi ingin menjahit sendirian, dan aku kembali menghadap bukit dandelion seraya menikmati ketukan mesin yang ritmis dan dalam, tapi juga menenangkan.
Di sebelah meja jahit, ada meja lain yang sarat peralatan lukis. Di sanalah Chichi merangkai sketsa pada selembar kain. Dia mencoba berbagai kombinasi warna, dan, jika hasilnya tidak memuaskan, mengulanginya lagi. Dia melukis sepanjang hari dan baru selesai menjelang senja. Setelah berhasil menemukan lukisan yang berkenan di hatinya, barulah dia membuka selembar kain di sebelahnya, lalu mulai menghiasnya dengan meniru gambar di kertas. Chichi mencoba berbagai gradasi warna, berusaha membuat hasil yang memuaskannya. Paman sering memungut gambar Chichi yang tidak dipakai, lalu, dengan seizin Chichi, menggunakannya sebagai ilustrasi buku-buku yang ditulisnya.
Kak Ranti, seorang pelukis yang mengunjungi desa setiap kali musim dingin bertandang, hampir setiap hari mengunjungi Chichi untuk mempelajari lukisan kainnya. Dia hanya memerhatikan Chichi bekerja tanpa menanyakan apa pun. Kadang, Chichi menemaninya duduk menghadap bukit dan membincangkan sesuatu yang berhubungan dengan seni. Karena Kak Ran tidak mampu melihatku, kami tidak saling kenal. Namun, entah mengapa aku yakin dia mampu merasakan keberadaanku. Adakalanya, Kak Ran duduk di sebelahku dan kami memandang bukit bersama. Tak terdengar suara decit di bukit kincir. Hanya siul burung dan desah angin yang melingkupi pendopo.
Saat tidak menjahit, Chichi duduk di kursi goyang seraya membaca buku yang senantiasa dibawanya ke mana pun pergi. Jika sajak-sajak di dalamnya sudah cukup, dia menyalinnya dengan mesin tik, lalu mengirimnya kepada penerbit.
'Lihat, Lusi, kita benar-benar keluarga yang santai dan bahagia,' kata Paman, tertawa. 'Kita tidak pernah bekerja keras. Setiap pekerjaan kita lakoni dengan senang hati.'
Lalu, musim dingin perlahan pergi. Pada suatu pagi, matahari membasuh seluruh jalan dengan cahaya yang tak lagi kelabu, tapi keemasan. Salju berhenti turun. Begitu pula pada hari-hari berikutnya. Bukit-bukit yang berbulan-bulan lamanya diselimuti sayap-sayap kelabu, perlahan kembali menghijau.
Ketika angin pertama musim semi mengaliri rambutku, Paman bertanya, 'Apakah kamu ingin mengunjungi desamu lagi?'
Aku menggeleng dan tersenyum. Entah kenapa aku berfirasat, di sana bukan lagi rumahku. Segala sesuatunya berbeda sudah. Aku seperti berada di dunia yang bukan duniaku, bernapas dengan udara yang bukan udaraku. Namun, aku juga merasa bersalah terus-menerus menumpang di rumah Paman. Sepertinya Paman tahu isi hatiku. Sebelum aku sempat mencurahkannya, Paman menenangkanku.
'Kenalkah kamu dengan Epicurus—seorang filosof agung yang hidup 2000 tahun lalu?' tanyanya.
Aku menggeleng.
'Pada tahun 306 sebelum Masehi, Epicurus membangun sebuah rumah yang letaknya beberapa mil dari kota. Ia tinggal bersama sejumlah sahabat.
'Rumah tangga Epicurus seperti keluarga besar, tapi tanpa garis pemisah, hanya simpati dan kemurahan hati. Aku ingin rumahku seperti rumahnya. Aku menyetujui pandangan beliau, bahwa untuk memperoleh kebahagiaan yang utuh, di antara semua yang disediakan, mempunyai sahabat adalah yang terpenting. Kita tidak pernah ada sampai orang lain menganggap kita ada. Apa yang kita ucapkan tidak bermakna sebelum seseorang memahaminya. Kehadiranmu di rumahku membahagiakan aku—lebih dari yang mampu kaubayangkan.'