Setibanya aku di Hutan Seribu Tahun, aku merasakan sesuatu yang dekat dengan pulang—seolah di sanalah aku seharusnya berada. Aku kembali memasuki kamar barat di rumah Paman. Setelah musim dingin berlalu, bukit dandelion kembali menumbuhkan bulir putih sehalus sayap.
Terkadang Chichi mengajakku menginap di pondoknya. Karena sangat menyukai tomat, dia membuat kebun tomat di samping rumahnya—bukan di sempadan hutan seperti ladangnya yang lain—lengkap dengan terpal yang melindungi pohon-pohon, 'Sebab tomat tumbuhan yang sensitif—dalam cuaca apa pun, panas maupun dingin, mudah tumbuh dan mudah pula gugur,' katanya.
Saat malam menjelang, aku biasa duduk di berandanya, lalu memandang kosongnya jalan. Di sebelahku ada permakaman tua, tapi tidak seperti pekuburan di seberang rumah Paman, tidak ada satu pun hantu yang terlihat. Hanya sesekali uhu burung hantu terdengar suram dan menakutkan. Dalam naungan pohon beringin purba, yang daun-daunnya melandai turun dan janggutnya lebat membelukar, seringpula terdengar bisik-bisik burung yang entah apa jenisnya.
Aku masih merindukan laut — merindukan angin yang membawa aroma garam dan ikan asin, juga suara ombak yang berkejaran di lepas pantai. Aku merindukan keluargaku. Tetapi, aku merasa tak layak menuntut banyak. Aku bersyukur bertemu kalian.
Lusi dan Laurel bergandeng tangan menyusuri setapak. Ternyata, hanya pada bagian depanlah, dapat kautemukan pohon-pohon tua yang menjulang setinggi angkasa. Semakin jauh kaumasuki hutan, semakin muda pula pohon-pohon yang mengiringi langkahmu. Di relung rimba, pohon-pohonnya bahkan lebih muda lagi.
Setelah lama berjalan, Laurel dan Lusi berhenti. Sebuah sungai tersembunyi di antara pohon dedalu. Daun-daunnya yang melandai, bercermin pada permukaan air. Sekalipun berarus deras, airnya sebening kaca dan sehening cuaca. Laurel selalu menyukai suara air. Dalam gemerciknya, masih terdengar kumandang agung Sang Jiwa ketika menciptakan jagat raya. Kepada air pulalah, Sang Jiwa mengembuskan napas kehidupan yang pertama.
Seiring berlalunya kelam, lanskap yang tersaji di relung rimba tak lagi suram. Pucuk-pucuk pepohonan yang semula nampak muram, memantulkan cahaya hijau keemasan yang berayun samar bagai selendang tipis sutra. Dekut burung-burung tidak lagi seumpama gaung, tapi menggema dan menjauh seiring melesatnya waktu. Ketika Laurel dan Lusi tiba di padang luas, matahari memandikan seluruh panorama. Tak lama kemudian, seraya berkicau ramai-ramai, burung-burung kecil yang sebelumnya terlelap di suatu tempat, serempak muncul dan sibuk mencari makan di sana-sini. Sekelompok awan berlalu di atas lembah.
Siapa sangka, hutan di pojok desa, ternyata terhubung dengan perpustakaan Mika. Ketika melintasi bagian samping bukit dandelion, Laurel dan Lusi melambaikan tangan. Mika, yang duduk di beranda seraya menikmati pagi dengan membaca, menyelipkan pembatas di bukunya, lalu membawa dua gelas air.
"Pagi, Paman," kata Laurel.
Selamat pagi, Lusi menarikan jarinya.
"Hai. Bagaimana jalan-jalannya?"
Lusi dan Laurel tersenyum hangat. Menyenangkan.
Seraya memandang langit yang biru-kelabu warnanya, Laurel duduk di samping Mika yang masih setengah mengantuk. Lusi sudah menghilang di balik pintu. Setiap hari, dia menyirami bunga-bunga di kebunnya dan mengumpulkan kelopak-kelopak yang berguguran di setapaknya. Bahkan di halaman belakang, samar-samar terdengar pula suara gemerisik sapu saat dia menyapu daun-daun.
Duduklah di sini, kata Mika. Dalam perkara merawat kebun, Lusi lebih nyaman bekerja sendiri. Chichi dan aku pernah ingin membantunya, tapi Lusi menyuruh kami tetirah saja. Jadi, kami duduk di teras depan, seraya memperhatikannya bekerja. Selalu saja ada yang dilakukannya—memberi makan burung, memberi makan kucing, menyapu, dan bermain dengan kupu-kupu. Karena hanya sedikit manusia yang mampu melihatnya—selain Chichi, aku, dan sekarang kamu—bercengkerama dengan hewan dan tumbuhan membuatnya tidak kesepian.
Laurel tersenyum. Dia menarikan jari-jarinya, membentuk kata aku mengerti. Lalu menopang dagu.
Setelahnya, sunyi kembali membuana. Samar, terdengar suara gemerincing yang mirip lonceng kaca bunyinya. Luar biasa jernih. Kepak sayap cahaya, Laurel tersenyum, lalu memejamkan mata. Di antara kepak sayap cahaya, ada kepak sayap burung-burung yang tak kalah baka. Ketika Laurel merenungi burung-burung yang berlalu di ujung pandangnya, Mika berkata tenang,
Pada suatu pagi, Lusi datang padaku dengan binar teduh pada matanya. Tarian lincah jarinya membuatku seolah mampu mendengar dengan mata, bukan telinga semata. Tahukah, Paman, burung-burung dapat terbang melintasi dimensi, katanya dengan penuh semangat. Konon, ada dinding tak kasatmata yang memisahkan dunia-dunia, dan burung-burung mengetahuinya.
Dengan lirikan jenaka, aku menatap matanya. Benarkah?
Lusi mengangguk berkali-kali.
Aku mendengarnya dari seekor burung, Paman.
'Jadi, sekarang kamu bisa bicara dengan burung-burung?'
Bukan. Bukan begitu. Tadi pagi seekor nuri yang setiap hari pergi-pulang ke kebunku, bercericit seolah hendak memberitahuku sesuatu. Lalu, karena aku tak jua mengerti, dia terbang seraya mendekut sebal. Di langit, dengan kicau yang heboh sekali, padaku dia menyeru. Aku menengadah. Dia nampak puas saat aku tertegun melihatnya menghilang di udara, lalu muncul lagi sesaat kemudian.
Sebenarnya, sedikit pun aku tidak terkejut. Lusi, seperti kamu, banyak menyampaikan cerita ajaib padaku. Bagaimanapun, rasa penasaran membuatku ingin melihatnya. Berdua, kami berdiri di kebun, di antara bunga bakung dan asoka—dalam rona kuning, hijau, dan merah. Dengan bertepuk tangan dua kali, Lusi memanggil nuri peliharaannya—dia menyebutnya peliharaan, padahal tidak menyangkarinya sama sekali. Lebih tepat disebut sahabat, bukan? Seketika saja, seekor burung berwarna merah, biru, dan kuning datang menghampirinya. Seolah memahami kata-kata Lusi yang tak terucap, burung tersebut kembali melambung di angkasa. Seketika saja, setelah mencapai udara rendah, dia menghilang—lalu kembali muncul beberapa saat kemudian.
Ajaib.