Beberapa jarak sebelum jalan meredup, dan menjadi setapak yang terhubung dengan hutan, berdiri sebuah rumah yang dibangun menghadap matahari pagi. Rumah tersebut berlantai satu, bercat putih, dan beratap miring, dengan pagar kayu yang juga putih. Kebunnya luas dan indah, hampir seindah kebun Lusi, hanya saja didominasi bunga-bunga putih dan gading. Meski warna pintu dan kusen jendelanya cokelat, gentingnya oranye, dan rerumputannya hijau, selebihnya kita tahu, putih dengan berbagai lingkup nuansa-lah yang mendominasinya.
Saat angin berembus menyibak tirai jendela, Laurel mencari tahu apa yang ada di dalam rumah, tapi tak melihat apa pun selain meja-meja cokelat tua. Saat hendak melanjutkan langkah, tanpa diduga, Lusi justru menarik tangan Laurel, dan Mika membuka pagar kecil yang terhubung dengan bagian depan rumah, Laurel mengikuti dengan terheran-heran.
Di kebun, Laurel mendengar suara merdu yang samar-samar menghias udara. Laurel memejamkan mata dan menajamkan telinga. Ternyata, di samping rumah tersembunyi jalan kecil yang ditumbuhi pohon besar. Di antara daun-daunnya yang rimbun, burung-burung berkicau dengan berbagai dekut. Tapi—apa itu? Di salah satu cabang terbesar, ada lemari dengan dua belas laci, lengkap dengan lubang pada masing-masing laci. Beberapa burung keluar-masuk melewatinya. Laurel mendekatinya.
Apartemen burung-burung! Laurel memandang Lusi dengan tatapan sarat binar. Lalu dia memandang Mika dengan tatapan yang lebih berbinar lagi.
Laurel masih mengagumi "apartemen burung-burung" ketika Mika mendekatinya. "Kamu tahu mitate?"
Laurel menggeleng.
"Mitate istilah yang berasal dari upacara minum teh di Jepang. Artinya, melihat sesuatu sebagai benda lain dengan fungsi yang juga lain. Suami-istri pemilik rumah, Rusdy dan Sonia, menyukai konsep tersebut, lalu menerapkannya dalam hidup sehari-hari. Benda-benda yang sudah rusak tak lantas dibuang, tapi digunakan lagi dengan cara yang baru. Misalnya, lemari ini. Karena sudah tidak dipakai, Rusdy mengubahnya menjadi apartemen burung-burung. Dia yakin, kelimpahan bukan terletak pada banyaknya benda, tapi cara kita menggunakannya."
"Tapi, kita ada di mana, Paman?"
"Di kafe."
Laurel terperangah. Tapi di sini tidak ada papan nama, hanya pintu yang dihiasi lingkaran kastuba bertuliskan "Selamat Datang!" dan papan kayu bertulisan kanji di sampingnya. Seperti rumah peri, pikir Laurel. Dia bahkan merasa Áine bisa muncul kapan saja.
Laurel memandang papan kayu di sebelah pintu, lalu bertanya pada Mika.
"Itu papan han," kata Mika, seraya memukulnya dengan palu yang tergantung di tali. "Rusdy-lah yang membuatnya."
"Papan han itu apa?"
"Itu papan kayu yang biasa ada di kuil-kuil Zen. Tapi Rusdy memaksudkannya sebagai hiasan saja. Dia menyukai kata-kata Shoji Jidai di permukaannya."
Laurel tidak bisa membacanya.
"Maknanya, kurang lebih, begini: Meski sarat keberuntungan dan kemalangan, hargailah hidup yang kita jalani setiap hari. Hidup akan berlalu melewati kita.
"Sekarang, ayo masuk."
Jernih suara lonceng menyambut ketika pintu tersibak. Seorang perempuan dengan rambut diikat menghampiri Mika. Dia mengenakan kemeja putih yang dilapisi apron cokelat tua dan celana panjang cokelat muda.
Di dalam hangat. Aroma sup ayam segar memenuhi ruangan, bercampur dengan manisnya roti yang baru dipanggang. Sepapan roti yang masih panas tergeletak di meja konter. Terlihat lezat. Di belakangnya ada etalase berisi berbagai macam pizza.
"Selamat pagi, Paman."
"Pagi, Ranti."
"Padahal rencananya aku mau mengunjungi Paman siang nanti. Lukisannya sudah jadi."
Paman melepaskan jaketnya, lalu melipatnya di lengan. Dia memandang Ranti, kagum. "Benarkah?" Cepat sekali.
Ranti mengangguk. "Aku sudah berlambat-lambat, lo, tapi malah tak sabar melihat hasilnya. Aku melukis nonstop!" Ranti mengayun pelan badannya, membuat ikat rambutnya ikut berayun ke kiri dan kanan.
"Jangan terlalu memaksakan diri. Aku tidak buru-buru, kok."
"Tidak, tidak. Sebagai penggemar Paman, aku tidak menyangka Paman akan memintaku mengisi ilustrasi. Ah, rasanya tidak sabar menunggu buku Paman terbit—karya terbaru Micka."
"Karya kita," Paman menunjuk telinga Ranti. Di telinga kanannya tersemat pensil dan di pipinya ada sedikit noda warna. "Dan aku sudah lama mengagumi lukisanmu."
"Ah, aduh," Ranti mengambil pensil di telinganya, lalu mengelap noda warna di pipinya. Dia tertawa kecil, lalu mempersilakan tamunya masuk. "Ya sudah, mari. Ada beberapa menu istimew—halo!" Ranti melihat Laurel, akhirnya. "Paman, ini Lusi? Aku bisa lihat Lusi?"
"Dia Laurel. Lusi ada di sebelahku," Paman menepuk kepala Lusi.
"Oh. Hai, Laurel. Kenalkan, aku Ranti. Pelukis, pelukis potret, dan anak sambung Paman Rusdy.
"Hai, Lusi. Di mana pun kamu," Ranti tersenyum lirih.
Lusi berusaha mengikuti arah pandang Ranti dan mengangkat tangannya, lalu membentuk kata 'halo' dengan bibirnya.
"Hai, aku Laurelin. Penyihir. Biasa dipanggil Laurel."
Begitu mendengar jawaban itu, Ranti berjalan mundur. Tubuhnya membungkuk, tangannya bergerak-gerak seperti meraba bola kristal. "Abrakadabra!" Dia ayun pensil yang tadi melekat di telinganya.
"Mantramu kuno sekali!"
Ranti tertawa, lantas menyambut lengan Laurel yang bingung harus bagaimana. Dia memandang Mika, memohon pertolongan, tapi Mika hanya mengangkat bahu dan menahan tawa. Begitulah Ranti.
"Lusi," Ranti menoleh pada sudut kosong, lalu melanjutkannya dengan bahasa isyarat. Ayo ikut. Semoga kelak kita bisa berjumpa.
"Omong-omong, Chi tidak ikut?"
Mika menggeleng. "Kemarin, Chichi menginap di rumahku. Tapi tadi pagi dia pamit. Kalau sore nanti dia datang, aku akan menyuruhnya mampir."
"Janji, ya?"
"Janji. Mau pakai jari kelingking?"
Ranti tertawa. "Aku bukan anak kecil!"
Tidak hanya di luar, suasana di dalam kafe pun putih. Bahkan lukisan-lukisan yang terpacak di dinding didominasi warna pudar dengan ruang kosong yang dibiarkan begitu saja. Laurel menyukai putih, tapi terlalu banyak putih membuatnya takut. Dia menganggap putih sebagai warna kematian. Warna hantu. Namun, putih juga mengandung tujuh warna pelangi, tukas Áine suatu ketika.
Namun, segera saja kafe ini jadi tidak terlalu putih lagi. Kursi-kursi dan meja cokelat dipahat dengan kokoh dan kuat, dengan lapisan papan setebal lima sentimeter. Karena tidak mengenakan cat, meja dan kursi tersebut mempertahankan warna dan aroma alami kayu yang menyegarkan. Laurel menyentuhnya. Halus sekali. Buatan tangan.
Lalu Laurel melihat burung pertama. Lalu, satu lagi. Dan satu lagi. Seketika saja, dia mendapati patung burung-burung yang bertengger nyaris di semua sudut kafe ini—bahkan ada yang digantung di langit-langit, lengkap dengan dahannya. Burung-burung itu terlihat hidup, seperti dapat terbang kapan saja. Beberapa burung membentangkan sayap hendak melandai, beberapa dengan kepala disembunyikan di balik sayap, sisanya menengadah. Betapa setiap burung berbeda satu dengan yang lain.
Laurel memandang Mika. Bahkan sebelum dia sempat berkata, Mika sudah tahu apa yang hendak ditanyakannya.
"Selain pemilik kafe, Rusdy juga tukang kayu. Bengkel kerjanya ada di belakang. Dia membuat berbagai benda dan memperbaiki perabotan rumah tangga, seperti kursi dan meja. Tapi, dia paling suka memahat burung-burung dan memberikannya kepada anak-anak setempat."
"Gratis?"
Mika mengangguk. "Gratis. Dia selalu berkata, dia tidak membutuhkan banyak. Cukuplah untuk makan sehari-hari dan membayar tagihan. Rusdy dikenal sebagai tukang kayu yang bersahaja, tapi hasil kerjanya luar biasa. Beberapa patung di Gereja setempat, dialah yang membuat."
"Di mana dia, Paman? Aku ingin bertemu."
Tanpa diduga, Ranti-lah yang menjawab. Setelah mengantar para tamunya, termasuk yang tak terlihat, duduk di sisi jendela, dia berkata lembut. "Tadi pagi, seperti biasa Paman dan Mama mengunjungi panti asuhan di ujung jalan, di dekat Gereja Bunda Kudus. Paman membawa hadiah-hadiah kecil buatannya sendiri," Ranti mengangkat tangannya, lalu menghitung dengan jarinya. "Banyak sekali. Boneka kayu, mobil-mobilan kayu, pesawat-pesawatan, yo-yo, gasing, patung-patung burung dan hewan, serta pahatan wajah jenaka. Paman sangat suka membuat hadiah untuk anak-anak, dan dia melakukannya dengan cuma-cuma," Tapi tentu saja, Pamanlah yang lebih disukai anak-anak itu, bahkan jika dia tidak membawa apa pun. Ranti menyembunyikan senyum bangga.
"Jika sudah begitu, mereka takkan pulang hingga siang. Mustahil anak-anak itu membiarkan mereka pergi tanpa menikmati jamuan." Ranti tersenyum. "Selalu saja, setelah kunjungan itu, Paman kembali dengan mata berkaca-kaca. 'Ada yang hanya mempunyai sedikit untuk dirinya sendiri, tapi tak pernah kekurangan untuk memberi,' katanya."
"Paman—dan Mama?"
Ranti mengangguk.
"Paman Rusdy dan Mama Sonia.
"Saat aku duduk di bangku sekolah dasar, ayah dan ibuku meninggal. Seketika saja, seperti mimpi buruk, aku tidak punya siapa-siapa lagi. Tapi, Paman datang menjemputku. Bersama istrinya, dia mengadopsi dan membesarkanku dengan penuh kasih, seolah aku putrinya sendiri. Sebenarnya, aku sudah menganggapnya ayah. Tetapi, karena telanjur terbiasa, aku memanggilnya ‘Paman’, bukan ‘Papa’,” kata Ranti. “Paman sangat pandai mendongeng. Saat aku kecil, dia selalu tahu jika aku membutuhkannya. Sejauh apa pun kami, selirih apa pun suaraku, telinganya selalu mampu mendengar isak tangisku. Ketika aku larut dalam duka, Paman mengetuk pintu kamarku, lalu duduk di samping kakiku, dengan membawa berbagai patung kecil buatannya sendiri. Lalu, dengan suaranya yang dalam tetapi lembut, dia menceritakan dongeng-dongeng yang indah—tentang negeri kabut, peri, elf, malaikat, segala makhluk ajaib di dunia yang ajaib. Aku menghidupkan dongeng-dongeng Paman dalam lukisanku."
Ternyata desa ini penuh dengan pendongeng.
Ranti tersenyum. Lalu, seolah mengingat sesuatu, dia berlari ke meja konter, dan kembali dengan map cokelat. "Lukisan-lukisan pesanan Paman!"
"Terima kasih. Boleh aku melihatnya sekarang?"
Ranti mengangguk.
Berbeda dengan Chi Resa yang hanya memakai sedikit warna—bahkan kadang hanya satu tinta, dan Mika yang cenderung realis, lukisan-lukisan Ranti membawa nuansa yang berbeda. Lukisannya minimalis, tapi kaya warna. Garisnya lembut, dengan berbagai rona yang juga lembut.
"Bagaimana, Paman?"
Mika sangat menyukai hasilnya. Dia tidak menyembunyikan kegembiraannya.
"Luar biasa."
Paman, boleh aku melihatnya juga? tanya Lusi.
Tentu.
Setelah menyerahkan buku menu pada Paman, Ranti berlalu dengan memeluk nampan kosong.
Selain meja, kursi, dan pahatan burung-burung, tidak banyak perabotan lain di dalam kafe ini, tapi segalanya terlihat baru dan dirawat dengan hati-hati. Peralatan makannya bersih, gelas-gelasnya jernih bagai kaca.
Di sudut ruangan, ada panggung kecil yang letaknya menghadap matahari pagi. Bagi para musisi yang ingin memamerkan kebolehannya, Rusdy menyediakan peralatan band tanpa drum. Tapi, karena jarang ada yang tampil, sebagai gantinya dia menaruh tapedeck tua, lengkap dengan koleksi kasetnya, di meja bar, lalu menghubungkannya dengan stereo.
Di sudut lain, di dekat pintu belakang yang mengarah pada bagian dalam rumah, ada piano yang dibiarkan tak tersentuh. Itu piano meja yang besar, ganjil, dan terasing, yang terlalu canggung jika dibandingkan perabotan lain di kafe ini, seakan menunjukkan suatu kemewahan dari dunia yang sama sekali berbeda. Hanya Sonia yang boleh memainkannya. Dan dia, jika bukan akhir pekan, bekerja sebagai guru di SD setempat dan baru pulang menjelang sore. Berbagai termos dan cangkir tua berisi bunga kertas menghiasi permukaannya. Mitate, batin Laurel. Lusi bertanya, Kenapa tidak bunga asli saja? Aku bisa menyumbangkan banyak. "Bunga asli membutuhkan air, dan air bisa membuat lembap piano."
Selain diperelok dengan wallpaper putih bermotif bunga-bunga, pada dinding-dindingnya, terpajang lukisan-lukisan indah dengan pewarnaan yang samar. Dalam lukisan itu, termaktub gambar peri, elf, dan makhluk-makhluk eksotis lain yang seolah digunting dari buku Borges—atau Tolkien, yang hidup tenteram di desa ini. Ranti-lah pelukisnya. Seraya menunggu makanan disajikan, Laurel memandang lukisan hutan dan kunang-kunang di dekatnya. Tapi ternyata itu bukan kunang-kunang, melainkan peri yang memancarkan cahaya sarat warna.
Di dekat meja keluarga yang berbentuk persegi dan persegi panjang, Rusdy juga menyediakan meja-meja kecil berbentuk bulat untuk pengunjung yang datang sendiri.
"Selamat menikmati!" kata Ranti seraya mengantar nampan berisi kopi, teh, dan roti yang mengepul hangat. Dia memandang jendela. Meski pohon-pohon menghalangi matahari, karena lampu-lampu sudah dimatikan, seisi ruangan meremang teduh.
Di dekat piano, seorang pengunjung yang sudah lebih dulu datang duduk menopang dagu. Dia tidak mengucapkan sepatah pun kata. Bahkan, jika kau menatap matanya, dia tidak benar-benar ada di sana. Ketika Ranti, Mika, dan Laurel heboh di pintu masuk, lamunannya terpecah. Dia tertarik mendengar pengakuan Laurel sebagai penyihir, dan tersenyum kecil ketika Ranti memperagakan abrakadabra, tapi di dunia yang langitnya sarat malaikat dan naga, rasanya menjadi penyihir bukanlah suatu kemustahilan, pikirnya. Tapi kenapa ini semua terasa akrab? Jalanan batu, kotak-kotak jendela sarat bunga, aroma rerumputan yang menguar bersama hangat pagi—tubuhku terasa terlalu kecil untuk menampung hatiku.
Dia memperhatikan 'apartemen burung-burung' dan daun-daun yang jatuh melingkar di jendela. Tetapi, matanya seperti memandang sesuatu yang lain, yang tidak ada di sana. Di mejanya, secangkir masala chai dan roti bakar dibiarkan tidak tersentuh.
Ranti, dalam perjalanannya menuju konter, melihatnya. Dia mendekatinya, lalu menyerahkan sebuah saputangan padanya.
Semula, si pengunjung tidak mengerti, tapi tersenyum malu ketika menyadari air mata yang mengalir di pipinya—cukup deras untuk membuatnya terisak. Entah kenapa, di sini aku jadi begitu mudah menangis. Dia memandang Ranti yang mengemban nampan kosong di depannya, lalu berkata lembut,
"Terima kasih."
Ranti tersenyum samar. "Aku tidak tahu apa yang membuat Anda bersedih, tapi semoga Anda baik-baik saja."