Ketika masih kecil, hampir setiap tahun, Ranti menghabiskan libur panjang di rumah Rusdy. Jaraknya jauh. Dengan mobil tua Papa, butuh waktu empat hari untuk sampai, kenang Ranti. Awalnya, karena tidak ingin merepotkan Rusdy, keluarga kecil itu menginap di kaki gunung membiru.
"Kenapa tidak menginap di rumahku saja? Sebulan, setahun, kami siap menyambut dengan tangan terbuka," tawar Rusdy.
“Tidak merepotkan?”
“Tidak. Sama sekali tidak.”
Ranti yang tumbuh di kota besar selalu kagum pada rimbun hutan di belakang rumah Rusdy. Setiap kali menyusuri jalan setapaknya, jiwanya seolah terhubung dengan Bumi. Karena belum tahu bagaimana menjelaskannya, dia tak memberitahukannya kepada siapa pun. Ranti juga suka menghirup dalam-dalam aroma dedaunan, memisahkan wangi humus, bunga, dan tanah. Semula, setiap kali berkelana di dalam hutan, Rusdy selalu menemaninya. Tapi setelah berhasil menghapal sebagian isi rimba, Ranti mulai berani berjalan-jalan sendiri. Dalam beberapa hari saja dia sudah mengingat hampir seluruh jalan di desa itu. Rusdy tidak percaya, tapi Ranti hanya tersenyum pongah. Dengan mata terpejam dan jari terangkat, dia menjelaskan ingatannya secara mendetail. Saking rincinya ("seperti foto, lo!"), Rusdy menganggapnya anak ajaib. Tapi Paman memuji setiap anak ajaib, kata Ranti. Dia menjadikan air terjun di ceruk hutan—di belakang lorong batu dekat jurang—sebagai tempat persembunyiannya. Dia biasa duduk di penggalan pohon buntung sisa penjarangan.
Ranti juga sering membuat seisi rumah kalang kabut dengan menghilang begitu saja—dan baru kembali saat senja beranjak petang. Papa dan Mama memarahinya, tapi tidak terlalu lama, sebab Ranti terlihat sangat menyesal. Akhirnya, setelah melihat buku catatan Ranti, Papa mengizinkannya berkelana sendiri di hutan. Sedikit sukar meyakinkan Mama, tapi akhirnya dia mengiakan jua. Tapi setidaknya tinggalkanlah pesan, pungkasnya.
Ranti mempunyai tarikan pensil yang manis sekali, yang akan membuat siapa pun jatuh hati. Tapi keterangan di bawahnya tidak akurat sama sekali ("di sebelah kiri kupu-kupu yang sayapnya sebiru langit, ada belokan yang mengarah ke sungai"—besok, kupu-kupu itu takkan ada di sana, Ranti). Yah, selain sebagai kenang-kenangan, sebenarnya Ranti tidak membutuhkannya. Hanya dengan sekali lihat, dia bisa mengingat apa yang ditangkap matanya. Sejak kecil dia punya ingatan fotografis.
Ah,
ke mana buku itu, ya?
***
Ketika itu, pagi baru saja menjelang. Cahaya matahari berguguran membasuhi teduh tanah. Aroma sejuk mengendap di udara. Burung-burung berkicau. Burung-burung lain yang tidak berkicau berterbangan di antara dahan. Dering gaduh serangga memenuhi udara. Namun, bahkan sebelum subuh tumbuh di tubir bukit, Ranti sudah berkelana dalam rimbun hutan, menembusi semak paku-pakuan yang belum digusah. Dia ingin mencari rusa kencana yang diceritakan Rusdy malam tadi.
... dan akhirnya, Alam memilih salah satu rusa sebagai penjaga hutan. Ia ramah, tetapi tindak-tanduknya tidak tertebak. Kami biasa menyebutnya Rusa Kencana.
"Rusa kencana?" tanya Ranti.
"Benar. Ada penunggu di setiap hutan—yang bertugas menjaga dan merawat hutan, menyirami bunga-bunga, membersihkan pohon-pohon, melebarkan jalan setapak, dan melindungi segenap penghuninya. Penunggu hutan biasanya dipilih Alam di antara semua makhluk."
"Jika ada pemburu yang membunuhnya, apa yang terjadi, Paman?"
"Maka hutan itu akan mati."
Ranti hampir menangis.
"Seramah apa pun, hutan selalu misterius. Jadi, berhati-hatilah. Tidak hanya demi kebaikanmu, tapi juga hutan. Kita seringkali ceroboh merusak alam, lalu tidak sengaja membunuh yang tak patut kita bunuh. Hutan yang terluka butuh waktu lama untuk sembuh. Jika lukanya sudah parah, ia akan mati."
Setelah hening cukup lama, Rusdy melanjutkan kata-katanya. "Lalu, saat berjalan di relung rimba, adakalanya sunyi menebal seketika—burung tidak berkicau, angin tak berembus, dedaunan enggan berdesir, bahkan cahaya seolah membeku. Dan ketika segalanya redup dalam senyap, terdengar suara mengelupas yang begitu dekat tapi di luar jangkauan siapa pun. Mungkinkah ada tangan-tangan tak kasatmata yang merobek ruang dan waktu di sekitarmu? Jangan takut. Itu tanda hutan bicara kepadamu. Hutan berkata dengan bahasa paling indah di dunia: kesunyian."
Itulah yang dialami Ranti saat itu. Dan, dia takut. Tertawalah jika kamu takut. Hutan juga menyukai tawa anak-anak—ia bahkan sering menirunya, pesan Rusdy selanjutnya. Jadi, Ranti pun tertawa, dan suara tawanya memantulkan gema yang ditiru burung-burung, dibalas daun-daun, dan diembuskan angin. Dadanya yang semula gentar-gemetar, jadi tenang kembali. Dia melewati pohon kapur barus raksasa yang menjulang dengan dahan-dahan lebar, lalu pohon yew yang konon sudah berusia ribuan tahun—raksasa-raksasa hutan yang ramah tapi bukan berarti tidak menyeramkan.
Di balik semak belukar, di dekat sungai kecil yang mengalir dengan suara seredup cuaca, ada gua yang tidak terlalu besar. Bagian dalamnya masih terjangkau cahaya, tapi udaranya lembap dan berembun. Ranti menelan ludah, lalu menghitung dengan jarinya. Mundur, maju, mundur, maju. Tentu saja dia tahu, kalau menghitung dengan urutan mundur dulu, baru maju, berarti pilihannya bakal berakhir di maju. Dia anak yang pintar. Dia sebenarnya sudah bertekad maju, tapi butuh meyakinkan diri.
Maju, bisiknya setelah menekuk kelingking kirinya.
Jadi, dengan hati-hati, Ranti berjalan memasuki gua. Ternyata bagian dalamnya tidak segelap dugaannya. Tangan kanannya menyentuh dinding yang tidak rata. Basah dan dingin. Beberapa kali diamenerjang sawang tak kasatmata. Udara mendesah di udara basah.
Di ujung gua, ada lorong kecil yang sepertinya mustahil dimasuki siapa pun dengan semak kecil dan labah-labah hitam bergeming di depan pintunya. Ranti benci labah-labah, tapi jiwa petualangnya bergejolak. Dia menggusah gelagah—dia tak benar-benar yakin dengan namanya—lalu, dengan sebatang ranting, mengusir labah-labah yang menutupi jalannya. Setelah memastikan tak ada lagi yang menghalangi, dia mencoba memasuki lubang di gua. Sayangnya, tubuhnya tidak cukup kecil. Tapi, Ranti tidak habis akal. Alih-alih merangkak, dia tiarap.
Kelak, Ranti tak ingat sejauh apa dia harus merayap di dalam lubang. Juga tak ingat apa yang ada di ujungnya. Tapi, sensasi ketika berada di sana tak mampu dia lupakan. Imajinasinya berkembang seiring tumbuhnya usia. "Mungkinkah di ujung jalan, ada negeri dongeng? Mungkinkah aku jatuh ke lubang kelinci? Berakhir di ruangan dengan meja besar — yang di atasnya tersimpan botol berlabel MINUM AKU dan kue bertuliskan MAKAN AKU?"
Sehari setelah memasuki gua, Ranti pulang. Dengan mata berkaca-kaca, Rusdy melepas keponakannya pergi. Belum apa-apa dia sudah merindukannya. Sonia, yang tidak tahan melihat suaminyamenahan tangis, menepuk bahu Rusdy.
Siapa sangka, perpisahan Rusdy dengan Ranti tidak selama yang dia duga. Di perjalanan, keluarga Ranti mengalami kecelakaan. Mama dan papa Ranti meninggal dalam ambulans. Tapi Ranti, meski sebagian ingatannya lenyap, termasuk apa pun yang dialaminya di dalam gua, selamat tanpa luka sedikit pun.