Perjalanan Semusim

Rafael Yanuar
Chapter #16

Paviliun Naga (7)

Dan Ailan pun memulai ceritanya.


Setelah lama mengayun sayap, hasrat singgah di sebuah kota begitu saja terlintas di benakku. Sayangnya, karena hujan baru saja bertandang, cukup sulit bagiku menemukan sepetak langit yang tak tertutup awan. Tapi, aku berhasil menemukannya, tepat sebelum senja jatuh di ujung pematang. Aku merentangkan sayap lebar-lebar dalam rimbun matahari sore. Burung-burung melintas ketika aku berjalan menuruni udara—beberapa bercericit, beberapa mendekut, beberapa menguak, sisanya bersiul.

Angkasa menggelap dengan cepat. Hitam menelan hampir seluruh warna, tapi lampu jalan menghalaunya dengan gegas. Aku merentangkan tangan, lalu melandai dengan sangat hati-hati. Di bawah sana, ada sebuah kota kecil yang, jika dilihat dari ketinggian, nampak seperti roti panggang yang dilapisi selai stroberi. Di sebelahnya, ada hutan yang menyerupai daun-daun papermint dalam segelas lemonade. Atau barangkali kau mau aku menjelaskan dengan kata-kata yang lebih sederhana? Aku melihat rumah-rumah beratap merah yang memenuhi kota dan pepohonan pinus, serta perbukitan, yang mengapit di kiri dan kanan jalan.

Aku memijakkan kaki di sisi sawah yang berkilauan ditimpa cahaya senja. Dengan sedikit terhuyung, aku mencoba berdiri. Lama sudah tidak menjejak, aku hampir lupa cara memijak. Tetapi, aku langsung terbiasa begitu mengambil langkah pertama.

Aku melupakan judul lagu yang saat itu terngiang di benak. Nadanya ceria, bertempo sedang. Seraya menghindari lubang dan genangan, aku melompat ringan mengikuti irama. Ketika nada terakhir jatuh, aku telah tiba di kota. Pohon-pohon trembesi yang berbaris rapi dengan jarak tidak terlalu dekat, meneduhkan jalan. Sesekali angin bermain dengan cahaya di sela-sela dedaunan. Di halaman-halaman rumah penduduk, aku menemukan pohon mangga dan jambu yang belum ranum buahnya, juga semak asoka dan rambat daun dolar yang bersembunyi di balik pagar.

Aku tidak langsung mengenalinya sebagai hujan ketika titik hitam tahu-tahu memenuhi jalan. Tetapi, saat aku mengulurkan tangan, lalu mengizinkan tetesnya menyentuhku, aku langsung merasakan sejuknya. Segera saja aku berteduh di depan sebuah kafe. Pada ujung kanopi, ribuan tetes hujan membentuk selubung yang menghalangi pandangan.

Di seberang kafe, ada taman kecil yang bergeming dalam kabut malam. Dan di tengah-tengah taman, ada rimbun ketapang, dengan tiga batu sebesar anak domba dalam naungan cahaya lampu bulat yang menyala redup. Tak ada satu pun yang mengunjunginya, apalagi pada malam hujan begini. Namun, aku tak benar-benar yakin taman itu kosong.

Beberapa kali lamunanku terpecah ketika bunyi ting tong terdengar dari belakang tempatku duduk, pertanda pintu kafe dibuka dan pengunjung satu per satu datang. Barangkali berteduh sepertiku.

Seorang ibu, dengan terburu-buru, seraya menudungi bayinya dengan selendang, duduk di sampingku. Dia mengayun bayinya selembut mungkin, dan berusaha membuatnya tetap hangat. Aduhai—si kecil itu begitu lucu. Pipinya bulat dan matanya sejernih batu kali. Bayi itu menatapku dan aku menatapnya. Dia melambaikan tangan padaku, dan aku melambaikan tangan padanya. Aku beringsut mendekat ketika sang bayi mencoba meraih sayapku.

“Hai,” sapaku.

“Ai!”

Aku menyentuh jari-jarinya yang gemuk dan si bayi balas menggenggam jari telunjukku dengan seluruh jarinya.

Kami bermain cukup lama—hingga matanya hampir terkatup. Aku berulang kali menyanyikan Incy Wincy Spider lengkap dengan gerakannya. Dia tertawa girang ketika aku memainkan gerakan labah-labah dengan telunjuk dan jempolku. Ketika matanya mulai terkatup, sang ibu mengayunnya pelan sehingga puput matanya. Dia menyanyikan sepotong lullaby dengan nada yang lembut tetapi merdu.


Edelweiss, edelweiss

Ev’ry morning you greet me

Small and white

Clean and bright

You look happy to meet me.

Blossom of snow

May you bloom and grow

Bloom and grow forever

Edelweiss, edelweiss

Bless my homeland forever.


Ternyata, nama anak itu Edelweiss. Nama yang indah—sungguh.

Hei, Edelweiss, tidurlah.

Hujan alangkah rimbun, tidurlah.


Ting tong!

Aku mendengar pintu dibuka. Dari dalam kafe, seorang pria dengan mata seramah rembulan menatap sang ibu yang hibuk mengayun bayinya.

“Jika berkenan,” bisiknya, nyaris tak terdengar, “masuklah. Di luar dingin.”

Sang ibu mengatakan, dia hanya ingin berteduh, setidaknya hingga hujan reda. Dia tidak ingin membeli kopi, apalagi merepotkan siapa pun.

“Maaf,” tutupnya.

“Tak apa,” kata lelaki tadi.

Tetapi, akhirnya sang ibu memasuki ruangan juga, dan aku sendiri lagi. Seraya menendang-nendang udara, aku memandang hujan yang tak kunjung reda. Tanpa sengaja, aku melantunkan lagu Highland Mary. Nada yang berguguran membuatku ingin menangis. Begitu sedih, seolah meremangkan cuaca. Hujan mengiringiku dengan rinainya. Jauh sekali terlihat sebuah titik dalam gelap malam. Bintang apakah yang berkilauan itu—besar dan dingin?


Karena sudah terlalu lama duduk di depan kafe, aku berjalan menembus hujan. Di persimpangan, aku memandang langit. Mungkin ada awan yang cukup luas bagiku berbaring. Aku berjinjit sebelum mendorong kakiku. Perlahan, aku melambung menembus udara. Sepasang sayap membawaku, terbang—tinggi dan tinggi dan tinggi.

Ribuan tetes hujan berguguran di sampingku, tapi tidak ada satu pun yang menyentuhku. Aku memandang kota yang berkabut bagai disembunyikan malam. Di balik mendung, ternyata langit menumbuhkan pelangi. Di masing-masing warnanya, aku menjumpai malaikat. Ada tujuh. Aku menyapa para malaikat yang lebih dulu menyapaku. Bahkan salah satu malaikat, Selafiel namanya—kalau tidak salah, menepuk-nepuk sisi pelangi di sebelahnya. Aku duduk di sampingnya hingga kantuk membuaiku dan aku memutuskan pergi.

“Bye-bye,” ujarku, pamit.


Di salah satu awan, aku berbaring. Jutaan bintang menghias angkasa. Selaksa cerita berkelindan dalam rasi-rasi. Tetapi, tak ada satu pun kerlip yang mampu mengalahkan bulan, yang bersinar terang sampai-sampai terasa terik. Aku pun terlelap.


Pagi harinya, aku melihat hujan sudah berhenti, bahkan Kurir Cuaca membawa pergi Musim Hujan sekalian. Matahari bersinar cerah.


Hari-hari pun berganti.

Bulan-bulan berlalu.

Tapi aku masih di sini.


Entah sudah berapa lama aku menetap di kota ini—tidur di antara awan, berjalan di pematang saat senja menjelang, dan duduk menikmati malam belia di depan kafe, serta sesekali mengumpulkan bunga-bunga yang berguguran di taman. Tetapi segalanya terasa singkat.

Hujan tak lagi turun seperti hari pertamaku singgah, tapi ini masihlah senja yang sama, dengan bunga-bunga lembayung bermekaran di ufuk, dan burung-burung terbang mengejar sisa cahaya. Di pematang, para petani mengumpulkan jerami dan menumpuknya tinggi-tinggi sebagai pakan ternak, dan langit, sepanjang yang mampu ditangkap mataku, meski awan tipis menaungi hampir seluruh angkasa, begitu cerah. Pada petani-petani yang bekerja dengan punggung membungkuk itu, juga pada langit yang tak letih-letihnya menopang perasaanku, aku menunduk sebagai tanda hormat. Tetapi, meski Alam senantiasa menyadariku, para petani tidak. Aku hanya mampu memberi berkat dalam hati.

Semoga semua bahagia.

Seraya berjalan di setapak berbatu, aku mendengar angin menyapa daun-daun dan kabut menyelinap di celah bebatuan. Beberapa pengendara onthel melewatiku, berbaris rapi di sisi jalan. Meski tidak yakin akulah yang disapa, aku membalas gemerincing lonceng sepeda yang saling sahut di sebelahku dengan mengangguk. Suara lonceng itu sedikit berkarat, tapi syahdu.

Ketika matahari mulai menghilang di cakrawala, burung-burung yang sejak tadi berkicau gaduh mendadak tenang.

Nun jauh di selatan, pepohonan pinus membentengi jalan. Di belakangnya, ada pohon-pohon lain. Dan di belakang pohon-pohon lain itu, ada pohon-pohon lain lagi. Begitu seterusnya hingga jauh—jauh sekali. Pucuk-pucuknya bergetar begitu burung-burung meninggalkannya.

Aku tertegun. Adakah peri di sana? Makhluk apa yang ‘kan kutemui di jalannya? Siapa yang tahu keajaiban macam apa yang ditawarkannya? Aku ingin mengunjunginya—menyusuri setapak yang dipenuhi reranting basah, menginjak daun-daun kering dengan kaki telanjang, memandang puncak pohon yang dahan-dahannya begitu rapat, lalu melangkah ringan di antara ribuan kunang-kunang. Ah, betapa menyenangkan! Tetapi, tidak untuk malam ini. Aku berusaha menekan rasa engganku meneruskan langkah dengan melanjutkan perjalanan.

Jalan di hadapanku semakin pendek. Pertanda aku sudah meninggalkan daerah perdesaan dan memasuki pinggiran kota. Tahu-tahu, malam sudah melebarkan gaun hitamnya yang anggun. Waktu, seolah mengikutiku, berjalan dengan langkah-langkah lambat.

Sudah lama aku tahu, waktu hanya bergerak secepat yang kauinginkan. Jika kau berjalan terburu-buru, ia musuh yang mustahil kaukalahkan. Jika kau terpaku pada masa yang sudah dan kelak berlalu, ia pergi meninggalkanmu, bahkan tanpa kausadari. Tetapi, jika kau menikmati hidupmu sepenuh hati, jika setiap napas kauhirup dan embuskan sepenuh sadar, ia teman yang membuat hidupmu penuh makna.

Padahal malam baru saja datang, tapi kota sudah sepi, seolah kabut menelan seluruh penduduk. Aku melihat jendela-jendela menyala keemasan di kiri dan kanan jalan. Hordin beraneka motif membuatku tergoda melambatkan langkah. Aku bukannya mau mengintip ketika mataku menangkap sekelebat pemandangan di dalam rumah. Tetapi, bagaimana aku tidak melambatkan langkah ketika suara tawa terdengar?

Aku berdiri dalam naungan pohon trembesi yang sepertinya sudah sangat tua. Dahan-dahan dan daunnya begitu rapat tak menyisakan ruang untuk ditembus cahaya. Seekor kucing berjalan di depanku, seolah hendak membuatku terjaga. Dia menyandarkan kepalanya di kakiku, aku dapat merasakan getaran manja di tubuhnya.

Bukan lelah yang kelak membuatku duduk di depan kafe itu lagi. Sebelum melendutkan tubuh, aku membaca papan baru pada gang di sampingnya. Ternyata nama gang—aku berjinjit untuk membacanya—Gang Tiga Puluh. Meski hujan sudah lama tak turun, taman mungil di seberang jalan terlihat begitu sunyi seperti biasa.

Aku bersyukur, untuk siapa pun yang ingin tetirah, pemilik kafe menyediakan sebuah bangku di depan kafenya, lengkap dengan kanopi teduh. Dalam naungannya, aku biasa duduk kapan pun aku mau. Sayangnya, karena sosokku tak terlihat, aku belum pernah sekali pun memasuki kafe.

Langit malam terhalang trembesi raksasa di pematang jalan. Di balik rindang daunnya, cahaya bulan nampak kuning-kehijauan. Aku memejam—membuka telinga lebar-lebar, mendengar siul angin di antara dahan. Dan aku mendengar pintu dibuka, disusul suara ting tong yang jernih. Lamunanku terpecah.

Lihat selengkapnya