Perjalanan Semusim

Rafael Yanuar
Chapter #23

Selembar Dunia (5)

Saat mendengar penjelasan Nenek, Gesang tidak terkejut. Sudah lama dia yakin Edelweiss gadis kecil yang pintar. Nenek menceritakan pengalamannya membeli sepaket ensiklopedia di Toserba. Namun, setelah tahu Edelweiss menyukai ensiklopedia-ensiklopedia itu, Gesang menolak pemberian Nenek, bahkan membantunya membuat rak buku.

Selama berbulan-bulan, Gesang menangani kasus Serigala di sisi lain pulau. Dia dan tentara lain berkelana mencari korban dan penyintas dengan gejala umum bintik-bintik hitam dan suhu tubuh yang menurun drastis. Tapi tidak menemukan apa-apa. Sejauh yang diketahuinya, satu-satunya korban hanya pria yang kelak dijuluki Serigala Pertama. Dia laki-laki paruh baya sebatangkara yang sehari-seharinya mengemis di emperan toko. Jika tidak mengemis, dia tidur di gang kumuh beralas kardus. Umurnya 60 tahun ketika pada pagi yang nahas, rekannya sesama pengemis menemukannya sekarat dalam wujud setengah Serigala. Tentara datang dan mengeksekusinya di lokasi—tentu saja Gesang tidak menceritakannya kepada Edelweiss. Tiga tembakan bersarang di dada dan satu di kepalanya. Sang Serigala tidak bergerak lagi—dia bahkan tidak bergerak saat masih lelaphanya berbaring menggelepar di aspal, bergetar sesaat sebelum ajal. Ambulans yang datang beberapa jenak kemudian membawanya pergi. Namun, jasadnya menguap begitu saja.

"Berbulan-bulan kami mencarinya, tapi nihil."

Ada beberapa dugaan bagaimana Kutukan bisa bangkit kembali, tapi tidak ada yang benar-benar mengetahuinya dengan pasti. Dan bukan itu saja. Di kota yang terjangkit wabah, populasi gagak berkembang pesat. Di mana-mana kelebat hitam—bertengger di trotoar sarat sampah, kabel listrik, genting, dan pohon-pohon. Beberapa saksimata bahkan mengaku mendengar mereka bicara. Dalam tiga bulan terakhir, kami menerima banyak kesaksian, tapi penuh kontradiksi. Masing-masing datang dengan pendapat yang berbeda. Kami jadi sukar mempercayainya. Tapi juga ceroboh jika terlalu cepat menganggapnya dusta.

Ada yang berkata wujud Serigala menyerupai wendigo, yang lain berkata seperti gagak, tapi jauh lebih besar. Ada pula yang mengaku melihat serigala jejadian, werewolf.

Serigala hanya istilah ceroboh yang disematkan pemerintah kepada penyintas, tapi tidak ada kemiripan sama sekali antara Serigala dan serigala. Kami menyebutnya Serigala sebab julukan sebelumnya terlalu kejam. Iblis.

Wujudnya seperti pohon yang bergerak.

Tapi alangkah baiknya jika percakapan ini kita tunda saja. Saya belum mempunyai jawaban pasti. Sekarang, boleh saya melihat-lihat bengkel Anda?

Gesang teringat gudang di belakang rumah Nenek, bekas bengkel kerja Kakek. Semasa hidup, Kakek mencari nafkah dengan menjadi tukang kayu. Karena hasil kerjanya bagus, para penduduk menjuluki beliau yang terbaik di seluruh kota. Awalnya, ada dua karyawan yang meneruskan kerja Kakek, tapi satu per satu berhenti. Nenek pun merasa sudah terlalu tua untuk meneruskannya, lagipula dia tidak punya minat jadi tukang kayu sekalipun kemampuannya tidak jauh berbeda dengan Kakek. Nenek membiarkan perkakas pertukangan teronggok berdebu, kecuali beberapa ukiran hewan yang kini menghias setiap sudut rumah. Kakek menghabiskan usia senjanya mengabadikan puluhan burung yang punah, bahkan sebelum sempat dia dengar kicaunya, dalam wujud patung. Meski tidak digunakan lagi, Nenek tetap membersihkannya secara berkala, tapi lama-lama dia capai.

Bagaimana kalau ensiklopedia ini kita simpan di gudang saja? Bau kertas tua jelas tak baik buat pernapasan. Kalau Dik Adel mau membacanya, dia bisa mengambilnya.

Nenek segera mengiakannya.

Pada hari-hari selanjutnya, Nenek, Gesang, dan Edelweiss bahu-membahu membersihkan gudang. Gesang membuat rak dengan kayu, gergaji, paku, bor, dan pernis, serta bahan-bahan lain yang menumpuk di sudut ruang. Karena sebagian besar perkakas sudah tidak bisa digunakan, Gesang membeli bahan-bahan baru. Seminggu penuh mereka bekerja—mengecet, menambal, menutup plafon yang berlubang.

Pada hari kedelapan, hasilnya mulai tetlihat. Dengan mata berbinar, Edelweiss menyapu seluruh ruang dengan matanya. Gudang yang dulunya menyeramkan kini menjadi tempat yang berbeda. Dinding putihnya dihiasi berbagai bingkai foto dan kutipan. Edelweiss membacanya satu per satu dengan penuh minat.

Ini punya Paman, ya? Dia menunjuk bingkai-bingkai di dinding.

Gesang tersenyum. Iya.

Enggak sayang?

Enggak. Kado buat Dik Adel.

Edelweiss memeluk Gesang.

Bahkan setelah menyusun ensiklopedia-ensiklopedia itu, masih ada sisa ruang untuk menyimpan buku-buku lain dalam lemari. Gesang juga membuat lemari lain untuk menyimpan perkakas yang masih bisa dipakai. Sisanya, dengan seizin Nenek, dia serahkan kepada tukang rongsok yang datang setiap pagi, pukul delapan lima belas.

Edelweiss menyukai ruang baca itu. Di samping jendela terbuka, dia biasa duduk selama berjam-jam dengan sebuah buku di pangkuan—dan bertumpuk-tumpuk lainnya di sebelahnya. Dia sudah lama menganggap huruf-huruf itu ajaib, tapi tidak menyangka akan seajaib ini. Ah, betapa membaca membuatnya bahagia. Jika ingin mempelajari sesuatu, dia hanya perlu membacanya. Buku guru yang sabar—tidak keberatan mengulangi penjelasan berulang kali, tak pula marah jika kau tak kunjung mengerti.

Gesang datang hampir setiap hari dengan membawa buku-buku yang dititipkannya di lemari Dik Adel. Dia berusaha memenuhinya sedikit demi sedikit. Tak butuh waktu lama, buku-buku Gesang sudah mengisi sebagian besar rak. Nenek sungkan menerima pemberian itu, tapi Gesang menggeleng. Tak apa, katanya, lagipula aku tidak mempunyai keluarga. Aku senang Dik Adel ternyata suka membaca. Apalagi jika ternyata, buku-bukuku berguna baginya.

Kami keluargamu, Gesang.

Terima kasih. Betapa aku senang mendengarnya.

Setelah lemari buku Dik Adel penuh, Gesang tak datang lagi. Dia ditemukan tak bernyawa di rumahnya dengan pistol berperedam di tangan kanannya dan lubang peluru di pelipisnya. Darah menyungai di lantai. Kepalanya tidak bersandar di ubin sebab terhalang tanduk besar yang bentuknya menyerupai cabang pepohonan. Bercak hitam memenuhi seluruh badannya—hampir menelan kulitnya. Jasadnya tidak dimakamkan, tapi dibakar, sekaligus dengan rumahnya. Tidak ada nisan dan kubur. Tidak ada yang tahu bagaimana dia menjalani sakratul maut.

Tak ada yang tahu bagaimana Kutukan menyebar. Apakah melalui sentuhan? Atau udara? Tiada bukti. Kutukan bisa datang dan pergi sesuka hati. Bisa seketika mewabah, lalu esoknya berhenti sama sekali.

Kecuali buku-buku yang kini jadi milik Edelweiss, Gesang tidak mewariskan apa-apa kepada siapa pun. Karena hanya mempunyai sedikit teman, hampir tidak ada yang menangisi kepergiaannya. Akan tetapi, di sebuah rumah kecil, dua sungai air mata tak kunjung henti mengalir. Nenek menyembunyikan kematian Gesang dari Edelweiss, tapi gadis kecil itu tahu. Edelweiss menangis dalam tidurnya. Dan masih menangis ketika dia membuka matanya.

Sejak wabah menyebar, kondisi di kota tidak lagi seperti dulu. Sebagian besar toko berhenti beroperasi, termasuk kedai pizza yang disukai Edelweiss dan restoran yang biasa didatangi Nenek sehabis berbelanja di toserba. Tidak ada lagi neon warna-warni dan audio yang memutar berbagai jenis musik. Setiap kali berbelanja di kota, Nenek dan Edelweiss harus puas dengan hanya membeli sayur-mayur, lalu pulang. Alih-alih kecewa, ketika sampai di rumah, perasaan lega justru menyelimuti hati Edelweiss.

Setelah bersantap dengan sepiring nasi goreng, Edelweiss duduk di ruang tamu. Pemutar pelat gramofon mengisi udara dengan lagu-lagu lama.

Ketika mendapati gadis kecilnya berbaring di sofa dan hampir memejamkan mata, Nenek menyuruhnya tidur di kamar. Edelweiss segera berganti piyama, lalu dengan langkah perlahan berjalan menaiki tangga. Dia menyalakan lampu tidur yang diletakkan di meja kecil samping lelapnya. Seketika saja, ribuan bintang menghiasi langit-langit—hanya langit-langitlah yang dipenuhi bintang, dinding di sekelilingnya tidak. Dia berdiri termangu. Titik-titik pusparona berkilau di ujung matanya, begitu dekat, seolah dapat disentuh jemarinya. Seperti apakah bintang-bintang yang sebenarnya?

Seraya menunggu Nenek yang masih mendengarkan musik di ruang tamu—dia dapat mengenali nada-nada Mahler, tapi tidak tahu judulnya—gadis kecil itu membuka tirai jendela. Samar-samar terlihat, barisan gagak hinggap di kabel listrik. Tak ada bisik yang menggema di antara senyap. Lampu menara menyala redup, kemudian menyala nyalang dan terang dan menyilaukan, lalu redup lagi, berputar-putar sepanjang malam bagai mercusuar di atas karang. Di balik gerimis, dentang pabrik bertalu-talu tak berkesudahan. Edelweiss menutup tirai rapat-rapat dan melamun memandang langit-langit.

Lihat selengkapnya