Sebelum fajar menyingsing burung-burung sudah lebih dahulu terjaga—berayun di antara rerumputan, di sekitar kupu-kupu yang berterbangan mencari seberkas cahaya. Seutas daun layu dipatahkan angin; pagi jatuh di kelopak mata. Berakhir sudah malam panjang penuh duka. Hari terasa wingit dan sunyi—seolah ada sesuatu yang hilang di hati. Edelweiss memandang jendela dengan mata masih mengantuk. Dia mendapati Ulfur tengah sibuk di kebun, mungkin sejak gelap masih membayangi subuh. Segera saja Edelweiss menyusulnya. Duduk di depan periuk yang mengepulkan harum aroma, Edelweiss beringsut mendekati Ulfur.
Masak apa, Paman?
Ulfur menjawab dengan menyerahkan semangkuk sup yang masih panas. Semalam Ulfur memburu seekor ayam hutan dan menguliti bulu-bulunya. Begitu fajar menyingsing, dia memotong-motongnya, lalu memasaknya dengan tungku. Dia juga menyeduh madu dalam panci dan menuangkannya secangkir untuk Edelweiss.
Bagaimana?
Enak, Paman.
Benarkah? Syukurlah.
Rasanya hangat. Dan, oh, cara bicara Paman berubah! Tidak lambat lagi.
Apakah terlalu cepat?
Pas!
Sudah hampir sebulan Edelweiss tinggal di pondok musim semi. Waktu gugur dalam sunyi. Hari-hari pun berlalu dengan bersahaja saja. Kini, Edelweiss mulai berani bermain di luar. Dia sudah mengenal baik jalan setapak di sekitar pondok, tahu pasti apa yang menunggunya di dalam sana.
Ternyata di dekat pondok Walden-nya yang nyaman, tersembunyi perdesaan tua yang sepertinya belum lama ditinggalkan. Rumah-rumahnya sudah keropos dan berbau apak, cat di dindingnya rengkah dihisap cuaca. Tapi gentingnya belum bolong-bolong, dan kaca jendelanya belum pecah berserakan. Edelweiss mendaku salah satu rumah yang masih bagus sebagai miliknya—bahkan menandai halamannya dengan garpu-garpu yang dibentuk menyerupai bintang.
☆
Hutan selalu penuh suara. Namun, sepanjang pengembaraannya, Edelweiss jarang menemukan sesuatu selain pepohonan tua dengan daun-daun yang bergemerisik. Sangat sedikit hewan yang berani menampakkan diri di depannya—kecuali burung-burung kecil yang sesekali mengintip di balik dahan-dahan kelabu. Edelweiss yang berharap bertemu tupai, rusa, domba, kambing, burung hantu, dan kelinci harus kecewa. Pantas saja Ulfur selalu butuh waktu lama, bahkan sepanjang hari, untuk berburu. Hutan tidak seramai dugaannya dahulu.
Namun, pada suatu hari, dia bersitatap dengan rusa yang bersembunyi di antara semak. Tanduknya bercecabang besar sekali. Mungkin dia tengah asyik menyantapi pucuk-pucuk dedalu yang tumbuh sepanjang jalur musim semi. Seperti biasa, sang rusa segera berlari begitu menyadari kehadiran Edelweiss.
Semenjak Edelweiss akrab dengan hutan, Ulfur lebih suka berdiam di mejabaca atau berkelana mencari makan dengan mengikuti jejak hewan-hewan kecil di dalam hutan sendirian saja. Terkadang, rasa sepi menyelimuti hati Edelweiss, tapi lama-lama dia terbiasa.
Pada suatu sore, Ulfur berhasil memanen segerobak buah dan sayur-sayuran. Dengan perasaan senang dan tidak sabar, dia membawanya pulang. Dia berharap Edelweiss sudah menunggunya di depan pondok, lalu memeluk kakinya seperti biasa. Ulfur sudah lihai memasak sop, dan rasanya pun enak sekalipun hanya mengandalkan sayur-sayuran dan bumbu seadanya.
Apa daya, sesampainya di puncak bukit, Ulfur mendapati pondoknya kosong belaka dan Edelweiss tidak ada di mana pun. Dia menyeru namanya, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya, setelah menambatkan pedati di depan pintu rumah, dia kembali menuruni bukit untuk mencari Edelweiss.
Matahari senja hampir terbenam di ufuk dan burung-burung mulai berjibaku mengejarnya. Suaranya menggema di seantero rimba. Di balik jalan setapak yang dinaungi pohon-pohon raksasa, terlihat sosok hitam yang melangkah dalam diam—dengan perut hampir menyentuh tanah. Suara daun terinjak, teredam langkahnya yang dalam.
Sesampainya di desa, Ulfur berhenti di depan sebuah rumah. Di sinilah Edelweiss terakhir kali meninggalkan tanda bintangnya—dan ternyata masih ada di halaman, tapi salah satu sudutnya sudah terlepas. Rasanya tak mungkin Edelweiss tidak menyadarinya. Untuk memastikannya, Ulfur menjenguk kusen tak berpintu, lalu mencarinya di dalam rumah. Dia memeriksa ruang tamu, dapur, dan kamar, tapi nihil.
Saat malam sudah melebarkan sayapnya yang kelabu, Ulfur menaiki undakan batu yang terhubung dengan kuil di puncak bukit, satu-satunya tempat yang belum diperiksanya. Dia berharap Edelweiss ada di sana, dan doanya terkabul. Edelweiss memang ada di sana — terlelap di halaman kuil yang dipenuhi guguran daun. Ulfur duduk di sampingnya, menjaganya dalam hening seraya menikmati matahari yang meredup dan terbenam.
Ketika Edelweiss membuka mata, suasana di sekitar gelap semata. Tak ada satu pun cahaya yang jatuh. Dia mengangkat tangannya sendiri, tapi tak melihat apa-apa. Dia tidak suka gelap. Dia benci gelap. Dia takut. Air mata membasahi pipinya. Dia berteriak memanggil nama Ulfur. Paman! Paman! Tapi tak mungkin dia ada di sini.
Ternyata tidak.
Dia ada di sini.
Entah bagaimana, Edelweiss bisa merasakannya.
Segera saja, sebuah tangan menyentuh kepalanya. Tak apa—ini aku, kata sepasang titik merah yang bercahaya seredup kunang-kunang di sampingnya. Itu sepasang mata Ulfur. Edelweiss langsung jatuh di pelukan Ulfur dan menumpahkan tangisnya sepuas-puasnya. Jubah rombeng Ulfur jadi basah.
Ulfur mengelus kepala gadis kecilnya, lalu mengemban Edelweiss, dan melesat.
Edelweiss kaget.
Ke—kenapa, Paman?
Ulfur tidak berkata sepatah pun, hanya berjalan semakin dan semakin cepat. Apa apa? Kenapa buru-buru? Bukankah malam begitu indah. Biasanya Paman suka memandangnya berlama-lama?
Kita—kehabisan waktu.
Saat menuruni tangga, mereka berpapasan dengan sekumpulan hantu yang berjalan naik. Suara gelak tawa, seruan agar tidak berjalan terlalu jauh, percakapan-percakapan ringan yang bersahaja mengambang di udara, membelai telinga Edelweiss bagai suara hati. Edelweiss memandang hantu-hantu yang berkilauan dalam cahaya redup. Sebagian besar membawa bola lentera merah yang tidak memantulkan panas.
Ulfur terus menuruni tangga. Langkahnya gegas dan semakin gegas. Dia mulai melompati dua dan tiga tangga sekaligus. Edelweiss terguncang-guncang dalam gendongannya. Namun, secepat apa pun berlari, undakan selalu ada, dan ada, barangkali ribuan jumlahnya—dan tak terlihat ujungnya. Rasanya saat aku menaikinya, jaraknya tidak sejauh ini. Kenapa sekarang tak sampai-sampai? Lalu tersadarlah dia. Aku dan Paman telah perlahan-lahan beralih dunia. Aku telah memasuki ranah para arwah, dan perlahan berubah menjadi sosok tak kasatmata. Sebaliknya, para arwah yang di dunia hanya bayang-bayang, menjadi makhluk berdarah dan berdaging di sini. Ulfur harus cepat-cepat menginjak dasar tangga sebelum bulan mencapai titik puncaknya. Maaf. Maafkan aku, Edelweiss mengusap matanya yang berair.
Kenapa minta maaf?
Ini semua salahku, bukan?
Tidak. Andai aku langsung membawamu saat matahari terbenam, bukan menunggumu terjaga, tentu kita sudah di rumah sekarang. Tapi, tidak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi. Sepertinya aku takkan sempat membawamu kembali. Kalau begitu—Ulfur mengendurkan langkahnya, lalu berjalan dengan lebih perlahan. Dasar undakan masih belum terlihat, masih ada kehampaan berselimut kabut di bawah sana. Lentera-lentera yang dibawa para arwah mengular dan memantulkan pendar merah dari ujung ke ujung. Jarak yang harus ditempuh masihlah jauh, tapi Ulfur tidak lagi terburu-buru. Alih-alih, dia melangkah dengan sangat perlahan seperti biasanya, lalu memindahkan Edelweiss ke dekat dengan dadanya.
Edelweiss merasakan tubuhnya meringan dan letihnya berkurang, begitupun lapar yang sejak tadi membuatnya pusing. Perutnya tak lagi keroncongan. Saat dia memandang tangannya, dia mendapati jari-jarinya berubah menjadi tembus cahaya, tapi entah kenapa dia dapat menerimanya dengan tenang. Rupanya menjadi hantu tidak seburuk yang dibayangkannya. Dia memiliki seluruh waktu yang ada di dunia—dan itu rasanya luar biasa. Namun, Ulfur sama sekali tidak berubah. Dia masih sehitam biasanya.
Sebab aku tidak berasal dari duniamu—juga dari dunia arwah. Aku berada di antara keduanya—.
Rembulan telah mencapai titik kulminasi, tapi Edelweiss sama sekali tidak mengantuk. Pemandangan yang sejak tadi gelap semata, perlahan menjadi terang benderang. Undakan yang tadi seolah tak berujung mulai terlihat ujungnya. Di dasar tangga, berbagai cahaya melambung berterbangan—ada yang berbentuk benang, pita, atau titik-titik kunang. Kabut tumbuh lebat di sepanjang jalan. Edelweiss berjalan di samping Ulfur.
Akan ke mana kita setelah ini?
Pulang, Nak.
Ke mana?
Pondok Musim Semi.
Di dunia ini, rumah kita masih ada?
Tentu.
Saat melintasi desa yang seharusnya tak berpenghuni, Edelweiss terpana. Di kiri dan kanannya, berdiri rumah-rumah yang kondisinya masih layak huni—bahka ada penghuninya. Kondisinya sama sekali berbeda dengan yang dilihatnya siang tadi. Semua rumah terlihat baik-baik saja.