Perjalanan Semusim

Rafael Yanuar
Chapter #17

Paviliun Naga (8)

Bersepeda pada senja bersalju, Rika menutupi kepalanya dengan tudung dan melindungi mulut dan hidungnya dengan syal. Angin berembus masai, tapi syukurlah cemara yang tumbuh di sepanjang jalan, menghalangi derunya. Ketika cuaca mulai membuatnya bergidik, Rika mengelap keningnya yang tak berkeringat. Jantungnya berdegup kencang. Setiap kali napas terembus, uap putih menyelinap dari celah-celah syal.

Untuk menghalau dingin, Rika menyanyikan Simfoni Pepohonan, bahkan membuat simfoni baru yang tidak tentu nadanya. Dia tidak membuka mulutnya. Hanya bergumam dengan mulut terkatup. Dia membayangkan pondok kecilnya yang nyaman, hangatnya pendiangan, dan semangkuk sup yang dimasak dengan bahan seadanya. Tapi di sinilah dia, bersepeda menembus tebalnya salju untuk menuju ke perpustakaan Mika yang letaknya jauh di batas desa. Dia sudah berjanji, dan dia tidak suka melanggar janji. Dan ternyata pemandangannya tidak terlalu buruk. Semak kacang hazel dan kunang-kunang yang berterbangan di antara cemara dan pinus, mengingatkannya pada sihir Laurel di senja yang lalu.

Sesampainya di desa, alih-alih langsung mendatangi rumah Mika, dia mampir di kedai kopi Rusdy dan memesan secangkir teh melati dengan sedikit madu. Setelah menggantung syal dan jaketnya di gantungan baju, Rika duduk di samping jendela. Salju sudah menebal di ambangnya. Ranti yang semingrah melihat chichinya, segera menghampiri. Karena tak ada pelanggan lain, dia duduk di samping Rika dan menceritakan pengalamannya pagi tadi—ketika Mika, Laurel, dan Lusy datang berkunjung, lalu ada Fris yang mengarungi semesta-semesta demi menjumpai adik semata wayangnya, dan malaikat Ailan yang omongannya, seperti biasa, membingungkan. Biasanya Rika mendengar cerita Ranti—atau siapa pun—dengan penuh perhatian, tapi tidak sekarang. Di telinga Rika, semua suara berada jauh di latar belakang. Dia terhuyung-huyung dalam sadarnya. Badannya terasa remuk sekali. Setelah berkendara menembus angin dan bekerja sepanjang siang, kelopak matanya tak mampu terangkat. Saat Rika meletakkan cangkir tehnya di meja, hampir saja cangkirnya jatuh andai Ranti tidak sigap menahannya. Maaf, bisik Rika, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Ranti dan memejamkan matanya. Ranti berdoa tidak ada pelanggan yang datang.

Saat Rika membuka matanya, Ranti tak ada di sisinya. Ternyata, selama satu jam, dia tidur dengan posisi membungkuk. Kakinya tak lagi pegal, dan rasa letihnya berkurang drastis, tapi punggungnya ngilu. Kafe sudah memadamkan hampir semua lampu, kecuali satu yang berwarna kekuningan. Sepertinya sudah lewat magrib—dan dia harus bergegas. Tapi Rika tertegun, alangkah sunyi suasana di luar. Salju sudah berhenti turun. Selimut perak menghampar di sepanjang jalan. Dahan-dahan pohon memutih, atap-atap rumah memutih, bahkan kabel-kabel listrik memutih pula. Hanya langit yang hitam, atau biru tua, tepatnya. Dia melihat sepedanya sudah diparkir di dalam ruangan, di dekat pintu masuk. Dia berencana menitipkannya saja barang semalam-dua.

Dia tidak melihat siapa pun di belakang meja kasir—pun Ranti—dan dia ragu harus pergi tanpa pamit. Dia membuka pintu depan, lalu duduk di beranda. Dunia samasekali senyap, tidak ada satu pun suara yang terdengar. Salju yang memutihkan segenap panorama menambah pekat keheningan di jalan itu. Seketika, saat kembali membuka pintu, bulu roma Rika meremang, dikagetkan suara lonceng nan jernih, yang sebenarnya tidak mengagetkan sama sekali—tapi itu satu-satunya suara yang terdengar di dalam kesunyian ini. Setelah menenangkan degup jantungnya, Rika memandang jam di belakang meja konter. Baru pukul setengah delapan. Lalu mendengar suara langkah kaki dalam salju. Ranti, rupanya. Dia mengenakan piyama biru tua di balik jaket merahnya yang tidak dikancing.

“Halo, Chi.”

Rika tertawa tertahan, lalu menyembunyikan mulutnya dengan tangan. Ranti memiringkan kepalanya, bertanya-tanya dalam hatinya, apa yang lucu kiranya? Ranti menyisir rambutnya dengan jari, tapi rasanya tidak ada yang salah, lalu meraba-raba pipinya sendiri, lagi-lagi tidak menemukan ada yang salah.

Rika mengangkat tangannya, lalu mengibaskannya di pipi. “Bukan—tidak, tidak ada yang salah denganmu, kok. Aku hanya—tadi aku ketakutan.”

“Ketakutan? Chichi?”

“Iya, ini malam yang hening—hening sekali, bukan? Tidak ada satu pun suara yang jatuh. Padahal, kita ada di tengah gunung. Seharusnya ada yang terdengar. Entah langkah kaki, kersik dedaunan, angin yang berkeliaran di rerumputan, derai-derai cemara, atau apa pun. Bahkan keheningan mempunyai suara di sini—kita bisa mendengarnya. Tapi yang baru saja terjadi tidak begitu. Tiba-tiba semua suara lenyap—waktu seolah kehabisan napas.” Rika berjalan beberapa langkah, menyusuri setapak yang sisi-sisinya ditumbuhi bunga putih berselimut salju. “Kamu tidak menyadarinya? Bahkan sampai saat ini pun hanya kita yang bersuara.”

Lalu, Rika berhenti bicara. Begitu pun Ranti, yang mulai meremang bulu-bulu di tengkuknya. Dia berlari mendekati Rika. Betapa keheningan membuatnya ngeri! Rika membiarkan Ranti mengamit lengannya manja, lalu bertanya, “Jadi, mau ke mana malam-malam begini?”

“Ikut Chichi.”

Rika bingung.

“Chichi tadi ketiduran saat aku bercerita,” Ranti menggembungkan pipinya. “Chichi masih ingat dengan pecahan mangkuk yang selalu dibawa Lusi? Ada seseorang—Fris namanya—yang mampu memperbaikinya. Dia juga bisa menciptakan benda-benda dengan tinta rembulan.”

“Apa itu tinta rembulan?”

Ranti menjelaskan apa yang didengarnya pagi tadi—tentang cawan rembulan, Laurel si penyihir dengan teman Elf-nya, lelaki yang berpindah semesta dengan menorehkan pisau di udara kosong, malaikat Ailan yang mengecilkan diri untuk mewujud di dimensi kita, pun pengalaman Ailan mengunjungi kafe beberapa tahun lalu—ketika Paman belum membeli tanah di sudut desa dan kedai masih bernama Nameless Cafe. Kata-kata Ranti mengalir di sepanjang jalan, sejuk seperti sungai, dan mengisi udara sepi. Jarak kafe dan rumah Mika tidak terlalu jauh. Namun, karena mereka berjalan lamat, waktu seolah ikut melambat. Di sekitar, hantu-hantu dengan tujuan yang sama, yang setiap malam membaca buku di perpustakaan, menguarkan hawa dingin yang lain. Ranti bisa melihat hantu, tapi tidak sejelas bagaimana Rika melihatnya. Di mata Ranti, hantu hanya kabut samar yang timbul tenggelam—kadang nampak, kadang tidak, kadang berada di antara ada dan tiada. Namun, di mata Rika, mereka tidak ada bedanya dengan manusia, dengan garis, lekuk, dan keberadaan yang tegas.

Sesampainya di rumah Mika, hantu-hantu sudah memenuhi ruang pustaka, memenuhi setiap sudut lorong yang sarat buku. Segera setelah Rika mengucapkan spada, Laurel dan Lusi datang mendekat.

Di beranda—atau biasa disebut ‘pendopo’, padahal letaknya di belakang rumah—Mika dan Fris dengan kaki bersila membincangkan entah apa. Di bukit dandelion, purnama menyorot begitu cerlang seakan memancarkan terik. Rika langsung duduk di kursi goyang dan menyandarkan lehernya yang pegal. Dia mengoleskan balsam di tengkuknya.

“Dulu, di Bumi yang lain—Bumiku—aku membayangkan seperti apa rasanya tinggal di dunia yang masih menyisakan kedamaian—sedikit saja kedamaian. Dan, saat aku sudah hampir menyerah, aku justru menemukannya dalam jumlah tak terhingga, di sini,” ujar Fris, seraya memandangi bukit dandelion dengan pandangan yang nyaris kosong, tapi ternyata dia hanya menahan air mata.

“Menemukan apa—siapa?”

Fris terkejut, lalu menoleh dan menemukan Ranti yang tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya.

“Menemukan kamu.”

“Aku?”

Fris tersenyum. “Kalian semua. Dan sebenarnya, aku masih mengharapkan adik dan ibuku juga ada di sini.”

Laurel duduk di samping Paman, lalu memundurkan bahunya untuk memandang Fris. “Nama adikmu Defya, bukan?”

Fris terlonjak. “Kok tahu? Kamu—bisa membaca pikiran?”

“Tidak. Sejak pagi aku ingin mengatakannya, tapi lupa. Meski kami baru sekali bertemu, Defya sahabatku. Dia tinggal di kaki gunung, di sebuah ruko dua lantai yang sudah tak beroperasi—” Laurel berhenti. Dia ragu apakah harus menceritakannya. Tapi memutuskan melanjutkannya. “Selama berbulan-bulan, aku selalu menghabiskan malam di depan toko fotokopi yang sudah tutup. Rumah Defya ada di sebelahnya. Dia selalu memainkan musik hingga lewat pukul sembilan. Dia menantikan ibunya pulang setiap malam.”

“J—jadi, dia masih tidak suka belajar, ya? Adikku yang nakal itu.”

“Dia buta.”

Fris tak lagi menahan dukanya. Dia meneteskan air mata besar-besar, lalu mengelapnya dengan lengan.

“Dia buta tapi mampu melihat. Katanya, dia bisa melihat aura—baik pada benda mati maupun makhluk hidup. Ibunya bekerja siang dan malam untuk menghidupi keluarganya sekaligus mengumpulkan biaya agar Defya dapat bersekolah di sekolah khusus. Sebenarnya, dia tidak tega meninggalkan Defya sendiri, tapi tidak ada satu pun yang dapat dimintai bantuan. Defya punya kakak laki-laki yang meninggal dalam kecelakaan. Itu kamu, Fris, kamu di dunia ini.”

Fris terdiam.

Lihat selengkapnya