Bukan tanpa alasan, para penduduk menjuluki Andala Kota Kuning. Sepanjang hari, pabrik-pabrik tak kunjung henti memuntahan asap. Gumpalan tabun mengentalkan panorama. Kecuali hujan membersihkan sedikit debu yang mengendap di udara, mustahil kau mampu melihat ke mana jatuhnya batu yang kautendang dengan tidak sepenuh hati itu.
***
Siang redup, hampir tanpa cahaya, hampir tak ada bedanya dengan malam. Di sela awan tergurat mendung. Mungkin sebentar lagi hujan turun, pikir Nenek seraya menutup tirai, tapi dia tidak terlalu yakin. Sudah lama dia tak lagi mampu menerjemahkan bahasa cuaca, sudah jarang pula membuka jendela, kecuali pada pagi buta, ketika pabrik dan bengkel, yang menjamur di seluruh kota, belum beroperasi—detik-detik keheningan yang teramat berharga untuk dilewati.
Nenek mengayun kursi goyangnya perlahan. Edelweiss bersandar di pangkuannya, hampir memejamkan mata. Seraya menikmati siang yang tenang, Nenek mengelus lembut rambut gadis kecilnya. Tanpa sengaja, Nenek sudah mengepangnya rapi sampai-sampai dia sendiri heran.
Nenek, Edelweiss mengantuk, mau dongeng.
Nenek tersenyum mengiakan. Dia sudah menebak permintaan Edelweiss, bahkan sebelum gadis kecil itu mengatakannya. Bagi Edelweiss, ini jam-jam dongeng yang berharga. Jam menjelang sore yang membawanya ke negeri ajaib. Di kota yang sibuk ini, dongeng satu-satunya hiburan yang dapat kauberikan kepada anak-anak. Nenek tidak sampai hati menolak. Dengan lembut, dia menurunkan Edelweiss, lalu berjalan ke rak di dekat pintu. Seraya menelusuri punggung-punggung buku dengan jemari tangannya, Nenek memilih satu di antara judul-judul yang membanjar.
Kalau begitu, pilihlah, bunga kecilku, dongeng mana yang mau kaudengar, Nenek menyentuh hidung mungil Edelweiss, lalu menyerahkan buku bersampul biru dengan judul bertinta putih. Hans Christian Andersen's Complete Fairy Tales. Seketika saja, Edelweiss sudah duduk lagi di pangkuan, lalu meraih buku pemberian Nenek—berat!—dan menaruhnya di meja. Dia membalik halamannya satu per satu, berusaha tidak menekuk pinggiran kertas. Meski belum lancar membaca, karena Nenek sudah menceritakannya berulang kali, Edelweiss tak kesulitan menemukan dongeng-dongeng yang ingin dibacanya. Dia pun menunjuk sebuah gambar di antara setumpukan huruf, lalu menengadah, memandang neneknya. Senyumnya hampir-hampir mendekati duka, tapi matanya berbinar cerlang.
Yang ini, Nek!
Sudah sering, bukan?
Masa? Bacakan lagi.
Tapi, dongeng ini sedih, lo.
Tidak apa, Nek.
Maka, Nenek pun mulai membaca,
"Saat seorang anak meninggal dunia, malaikat Tuhan datang menghampirinya. Dengan sayap putihnya yang luhung, dia membawa sang anak terbang ke semua tempat yang disukainya selama hidup. Dengan tekun, sang malaikat mengumpulkan segenggam besar bunga, lalu mempersembahkannya kepada Tuhan Yang Mahakuasa—agar mekar di Surga, lebih cerah daripada di Bumi. Setelah menyimpan bunga-bunga itu di hati-Nya, Tuhan mengecup bunga yang paling dicintai-Nya, lalu memberinya suara untuk bergabung dengan paduan suara bahagia di tahta-Nya yang agung."
Kata-kata ini diucapkan malaikat, saat membawa seorang anak ke Surga. Anak itu mendengarkannya, seolah bermimpi. Mereka melewati tempat-tempat terkenal, tempat si kecil sering bermain, melewati taman-taman indah yang penuh bunga-bunga indah.
"Lalu, di antara berbagai bunga yang tumbuh di taman ini, manakah yang harus kita bawa ke Surga?" tanya Malaikat.
Karena baru saja makan, Edelweiss mengantuk. Rasanya nyaman duduk di pangkuan Nenek. Dengung statis kipas angin listrik mengisi udara sunyi. Kursi goyang berayun lembut seiring meredupnya hari. Mata Edelweiss mengatup pelan. Padahal cerita belum sampai setengahnya. Nenek terus membaca dengan nada selembut suasana.
Sesudah menamatkan dongeng pertama, Nenek membaca dua dongeng lagi, dengan bisikan, nyaris kasat-telinga. Nenek sudah tahu, untuk lena dalam lelap, Edelweiss membutuhkan tiga dongeng. Jika mengembannya terlalu cepat—segera setelah si kecil tidur—dia pasti terbangun lagi. Nenek menyayangi Edelweiss lebih dari apa pun. Neneklah satu-satunya keluarga yang dia miliki, seseorang yang memberinya cinta, yang menganggapnya istimewa.
Barulah setelah dongeng ketiga tamat, Nenek mengemban Edelweiss. Dia sudah tua, sudah nenek-nenek, tapi tulangnya masih kuat. Baginya, menaiki tangga seraya menggendong Edelweiss bukanlah perkara sulit. Apalagi Edelweiss ringan dan mungil. Sesampai di loteng, Nenek membaringkan Edelweiss di kamarnya, lalu menyelimutinya hingga bahu.
Setelah itu, Nenek menutup pintu jendela yang menghadap langit, lalu menebalkan syal di lehernya. Dia merasa udara di sekitarnya meremang, pertanda salju sebentar lagi akan turun. Tidak. Lebih tepatnya, dia berharap salju turun. Mungkin salju pucat yang hanya mengantarkan sedikit sekali rasa dingin. Nenek menuruni tangga, melendutkan tubuhnya di kursi goyang. Dipangkunya keranjang berisi hak pen dan benang, diangkatnya selembar rajutan yang sudah setengah jadi—selimut kecil merah yang hangat dan tebal—lalu mulai menisik. Di depan jendela, orang-orang melangkah tergesa, mobil berlalu pelan, dan klakson memekik, tapi di dalam rumah, tak ada gaduh yang jatuh. Hanya sesekali gedung pabrik di kejauhan, mengoyak sunyi dengan serdawanya yang lantang. Tapi Nenek, Edelweiss, bahkan siapa pun yang tinggal di kota ini—kota kuning ini—sudah terbiasa mendengarnya.
Lalu, gerimis.
Turun, turun, dan turun.
Gerimis kelabu, rupanya. Bukan salju.
Padahal sudah memasuki bulan Desember, tapi belum ada tanda-tanda salju akan turun. Nenek memangku hak pen, lalu menyandarkan kepalanya di ambang jendela. Dengan mata rungkuh dan tua, dia memperhatikan dinding besar dan tinggi yang membatasi kota dengan hutan. Dinding hitam itu, kampung halamanku. Sudah berapa lama aku tidak ke sana? Aku hampir melupakan apa yang ada di dalamnya. Mata Nenek muram. Semuram kaca jendela yang bertahun-tahun tak diganti—kaca jendela yang kerjernihannya sudah lenyap terisap cuaca.
Dari balik jendela, dia melihat bayang-bayang dua tentara berdiri di depan Gerbang dengan mengemban senapan laras panjang. Entah buat apa. Toh, tak ada yang berani memasuki Penjara itu, kecuali truk-truk raksasa yang beberapa kali hilir mudik saban subuh—menggelinding masuk dengan bak kosong, keluar dengan muatan sarat kayu. Tidak sulit melewati para tentara. Mereka tidak serius bekerja. Kau hanya perlu mencari saat-saat tidak ada siapa pun di sana—dan itu tidak sejarang yang kaukira.
Nenek menengadah, merenungi langit di bagian dalam Dinding Penjara. Di situ awannya berbeda. Jauh lebih putih dan bersih. Ah, andai tidak ada kutukan itu.
Lalu segalanya sunyi.
Pabrik-pabrik masih memuntahkan asap. Mobil dan motor membunyikan klakson. Namun, dalam jantungnya, ada denyut sesunyi maut yang pelan-pelan merenggut hidupnya.
Setelah satu jam merajut, Nenek melipat selimut rajutannya, lalu menyimpannya di dalam lemari. Seraya termangu di kursi goyang, dia menepuk bahunya yang berat dan pegal.
Hari sudah beranjak sore ketika dia berjalan menuju ruang tamu. Dia mengecek lemari tempatnya menyimpan buku-buku bersampul tebal pada baris pertama, buku-buku musik pada baris kedua, koleksi pelat gramofon pada baris ketiga, kaset-kaset berpunggung tebal di baris selanjutnya, dan terakhir, berbagai benda tua yang usianya barangkali sudah seabad lebih—radio kayu, lampu minyak, mainan besi tua, dan liontin. Nenek mengambil piringan hitam yang sampulnya bolong di tempat judul seharusnya berada. Untuk menghindari debu dan goresan, dia sudah menutupinya dengan karton.
Saat pertama kali mendengarnya, album itu sama sekali tidak mengesankannya, tapi sekarang justru menjadi salah satu rekaman yang berhasil menjerat hatinya. Tentu saja, andai bisa, dia ingin menukarnya dengan yang baru, yang kondisinya masih baik, tapi dicari di mana pun, tak ada lagi yang menjualnya.
Nenek meletakkan piringan hitam di atas turntable, lalu menurunkan cartridge-nya perlahan. Beberapa jenak kemudian, permainan musik yang cermat mengalir di udara sunyi. Selain hujan dan serdawa pabrik, tak ada suara lain lagi. Hanya denting piano yang jernih dan empuk, dengan permainan yang nyaris sempurna. Nyaris. Tapi tidak sempurna. Ada beberapa nada yang dimainkan terlalu cepat, dan ada yang terlalu lambat, dan hanya telinga-telinga sebersih kristal yang mampu membedakannya, tapi secara keseluruhan, simfoni ini disajikan dengan sangat baik. Tentu aku tidak tahu siapa yang memainkannya atau apa yang dimainkannya. Apakah ini salah satu karya singkat Chopin atau simfoni Beethoven yang kurang terkenal, atau bahkan bukan keduanya? Aku sama sekali tidak tahu.
Seraya memangku buku Ryuunosuke Akutagawa tanpa benar-benar membacanya, Nenek duduk di sofa. Dia menelusuri bagian-bagian yang ditandainya dengan notes tempel. Dia memahami kenapa membubuhkan jejak pada kalimat yang dirasanya cantik, tapi ada pula bagian tertentu yang jika dibaca tanpa konteks, entah di mana letak keistimewaannya. Contohnya kalimat berikut: Setelah bersin dengan keras ia pun bangkit perlahan. Dinginnya senja di Kyoto menjadikan ia rindu hangatnya tungku arang. Angin menyelinap semaunya di antara tiang-tiang gerbang bersama gelap malam. Belalang yang tadi bertengger di tiang merah pun sudah pergi entah ke mana.
Ah, ternyata memang kalimat yang cantik.
Nenek membeli buku Ryuunosuke Akutagawa ketika masih duduk di bangku SMA. Dia punya beberapa buku Akutagawa lain—sebagian besar kumpulan cerita. Dulu, dia begitu menyukai Akutagawa, bahkan mencatat buku-buku yang tercatat dalam cerpen-cerpennya. Beberapa judul ada di raknya. An'ya Kouro (Shiga Naoya), Shinsei (Shimazaki Toson), Divan & Dichtung und Wahrheit (Goethe), Les Confession (Rousseau), Le Diable au Corps (Radiguet), Inferno Dante. Tidak semua berhasil dibacanya.
Setelah hampir satu jam membalik halaman secara acak, lalu membaca fragmen-fragmen kalimat yang juga acak, dia memutuskan berhenti di novela Kappa. Tapi—Nenek mengedipkan matanya. Kepalanya berat. Dia memperbaiki kacamatanya. Namun, tidak ada yang berubah. Pandangannya masih berkabut.
Sepertinya minusku bertambah.
Ya—sudahlah.
Kappa salah satu cerita favoritnya. Sejak masih sangat muda, dia sudah membacanya berulang kali.
Nek, terdengar suara mungil di tangga. Kenapa membaca dalam gelap? Edelweiss menyalakan lampu dengan menaiki dingklik yang sudah disediakan di bawah sakelar.
Nenek sama sekali lupa pada waktu. Dia tersenyum lega. Jelas saja matanya tak mampu melihat. Hari di depan jendela redup dalam mendung dan penerangan di rumah remang belaka.
Oh, terima kasih. Sudah bangun, Nak?
Sudah, Nek. Sudah sore juga.
Benarkah?
Nenek tidak menyadarinya.
Entah sejak kapan, sukar sekali baginya membedakan waktu. Jam demi jam berlalu secepat burung-burung yang melintas ditelan hutan kesunyian. Tanggal-tanggal berceceran tanpa mampu tercatat lagi. Nenek melihat jam, jarum pendeknya ada di angka empat persis. Benar. Sudah sore.
Tapi, sejak kapan?
Edelweiss mengangguk. Jam empat. Dua jam aku tidur. Malam pasti susah tidur. Temani aku ya, Nek.
Iya—iya. Dasar, manja.
Edelweiss terkikik. Aku kan, masih kecil.
Tidak ada makanan di meja. Bahan-bahan di kulkas pun hampir habis, hanya tersisa beberapa butir telur, sedikit kol, tiga buah wortel, seledri, kentang, dan sayur-sayuran lain yang hampir layu. Di halaman ada kebun hidup, tapi belum saatnya panen. Lagipula, sekarang hari Sabtu. Hampir setiap Sabtu, Nenek mengajak Edelweiss bersantap di luar. Edelweiss tak keberatan makan dengan lauk apa saja. Telur ceplok pun, asal Nenek yang memasak, dia menyukainya. Tapi, tak ada salahnya jalan-jalan bersama Nenek. Dia bahkan menantikannya sepanjang minggu.
Nenek menyibak tirai. Di kota kuning, tempat cerobong-cerobong tiada henti memuntahkan asap, cuaca buruk menjadi saat yang tepat untuk bepergian. Udara jadi tidak terlalu kotor dibasuh hujan.
Setelah mengenakan baju terusan putih favoritnya, Edelweiss melapisinya dengan jaket merah berbahan kain yang dilengkapi tudung. Setelah itu, dia memandang cermin di hadapannya, lalu menyisir rambutnya dengan jari. Cantik! Edelweiss tersenyum. Nenek tertawa.
Seperti biasa, saat berjalan di kota, gadis kecil itu menutupi kepalanya dengan tudung. Jaket merahnya berayun lembut, menjadi pemandangan segar di antara gedung-gedung dan rumah-rumah kelabu. Sekuntum mawar di tengah bukit aspal.
Ketika Edelweiss menengadah—memandang payung transparan yang menggulirkan garis-garis gerimis, angin berembus masai membawa butir-butir air yang bercampur dengan debu. Asap tersangkut di tenggorokannya. Edelweiss tersedak. Nenek segera mengambil botol minum di tas.
Nenek menyangka hujan mampu membersihkan kota. Tapi ternyata, tetap saja debu bertebaran tak sudah-sudah. Seharusnya kami memakai masker. Plastik-plastik sampah dengan berbagai ukuran teronggok di gang-gang sempit, dengan tikus-tikus kecil yang tak henti mencicit: mencari tulang ikan atau sepotong roti basi. Beberapa isinya tumpah di jalan.
Hujan membuat bau sampah jadi bertambah, tapi juga menyamarkannya. Saat melewati trotoar yang beralih fungsi jadi pembuangan limbah, Edelweiss dan neneknya menyisih. Mata Nenek muram—beginikah satu-satunya dunia yang kaukenal, bunga kecilku?—lalu tertegun memandang suatu titik di seberang jalan.
Seorang gadis kecil berdiri di bawah lampu merah, menjulurkan kaleng kepada mobil yang berhenti, berharap ada yang berbaik hati memberinya recehan. Dia tidak mendapat banyak. Kalengnya hampir kosong. Ketika lampu berubah hijau, dia menyeberang, menantang bahaya sebab mobil-mobil berpacu bagai dikejar hantu. Dalam naungan ruko yang sudah lama dijual tapi tak kunjung laku, dia berjongkok, lalu membuka selebaran kumal yang ditemukannya di jalan—sebuah potret iklan: rumah yang hangat, dilengkapi Ayah dan Ibu, serta sebuah mobil di garasi kecilnya. Tapi dia melipatnya menjadi pesawat kertas, lalu menerbangkannya. Dengan kaki kecilnya, dia menginjak genangan air dan tertawa—gembira, atau sekadar keriangan maya? Lalu lampu kembali merah dan wajahnya kembali menunjukkan duka mendalam. Dijulurkannya kaleng susu kosong, berharap ada yang berbaik hati memberinya recehan.
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral, melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal, jiwa begitu murni, terlalu murni, untuk bisa membagi dukaku (Toto Sudarto Bachtiar).
Nenek menggenggam tangan Edelweiss erat-erat sampai-sampai membuat anak itu meringis. Setelah menyeberangi sungai yang tak mengalir, yang meluap meskipun hujan masih gerimis, dan berjalan di distrik hiburan yang sarat lampu dan neon warna-warni, mereka tiba di bagian kota yang menawarkan berbagai macam makanan. Suara pabrik hampir tak terdengar, dikalahkan musik dan iklan dari stereo toko—juga suara sumbang pengamen. Mobil diparkir sembarangan di sisi jalan. Aroma berbagai makanan, yang manis maupun gurih, bercampur di udara.
Mau piza?
Senyum merekah jawabannya.