Perjalanan Semusim

Rafael Yanuar
Chapter #20

Selembar Dunia (2)

Nenek berbaring di samping Edelweiss. Di jendela yang menghadap langit-langit kamar, bulir-bulir gerimis jatuh membentuk bulatan air yang memanjang lalu melesap di ujung bingkai. Dengan suara nyaris berbisik, dalam naungan rimbun cuaca, Nenek menceritakan dongeng-dongeng pendek yang melibatkan galaksi dan bintang-bintang.

Pertama-tama, ada bangsa Viking yang menganggap Bima Sakti jalan menuju Valhalla, rumah para dewa.

Lalu ada Lindu di Estonia. Dia bertunangan dengan Cahaya Utara. Pada hari pelaminan, pengantin pria tak kunjung datang dan Lindu menangis di kahyangan. Mantila Estonia yang berkibar di angkasa menjelma Bima Sakti yang berayun lembut menaungi langit kelam.

Kemudian, ada beruang salju yang berjalan menapaki langit dengan langkah-langkah berat. Bima Sakti adalah salju-salju yang dia kibaskan dalam perjalanan.

Terakhir, ada Zeus yang membawa bayi Hercules untuk menyusu pada Hera. Ketika Hera tertidur, Zeus mendekatkan Hercules pada istrinya. Karena merasa terganggu, Hera bergerak. Air susu Hera tumpah di angkasa dan menjelma galaksi Milky Way.

Ketika mendengar dongeng-dongeng yang diceritakan Nenek, di benak Edelweiss terbayang langit sarat bintang dengan ribuan dongeng termaktub di dalam cahayanya. Ada beruang salju yang mengibaskan cahaya di bulunya, ada payudara Hera yang tak henti-henti mengalirkan susu, ada rumah para dewa, pun tudung mempelai dewi muda yang menawan. Seperti apakah rasanya, berdiri dalam naungan bintang-gemintang? Edelweiss tak mampu membayangkannya.

Lalu Nenek menceritakan pengalamannya hidupnya di desa.

Hutan senantiasa penuh suara, bisiknya. Tapi, tidak seperti yang setiap hari kita dengar di kota. Suara hutan mengandung sunyi. Air di sela-sela bebatuan, angin di pucuk-pucuk pepohonan, kersik daun-daun pohon pinus, dering serangga, jeritan mamalia kecil di dahan-dahan, burung-burung yang bernyanyi sepanjang pagi, dan deru yang menyebabkan cabang-cabang beradu. Di tapal batas musim dingin, berjalanlah di lembah yang diteduhi semak-semak rodis. Sungai masih seputih susu, tapi salju sudah mencair. Di balik timbunan es, tersembunyi rumput-rumput yang mulai berkecambah, mewarnai tanah yang pucat dengan sedikit kehangatan. Dahan-dahan berkuncup lagi. Burung kutilang dan merpati berbalas kicau penuh suka. Cahaya yang berguguran di antara dedaunan, melayang-layang bagai selendang — mengembuskan napas hidup yang terus bergerak.

Ketika Nenek bercerita, Edelweiss merasakan jantungnya berdegup lembut. Dia bagai diajak bertualang ke tempat-tempat indah. Tapi adakalanya perasaan sedih mengabut di dadanya.

Edelweiss teringat dongeng Nenek.

 

Alkisah, di sebuah desa, hiduplah sepasang suami-istri yang sudah lama menikah. Istrinya buta, tapi sang suami teramat mencintainya. Dengan mengemban cita-cita mulia—dan perasaan cinta yang dalam, sang suami berkelana untuk menjadi mata bagi istrinya. Segera saja dia tiba di tempat-tempat indah, tidak begitu indah, dan sama sekali tidak indah.

Setelah setahun pergi, sang suami kembali dengan sekeranjang cerita. Kepada istrinya, dia menyampaikan segala yang dilihatnya—warna apa yang muncul, seperti apa orang-orangnya, seindah apa bangunannya, dan berbagai detail kecil yang menggugah hati. Dia berharap istrinya mampu membayangkannya sejelas mungkin, seolah dia mengalaminya sendiri. Semula, istrinya senang. Dalam keremangan matahari senja, yang melembut di bawah pohon berangan, dia duduk di samping suaminya. Matanya yang buta terpejam. Namun, lama-lama sang istri lelah mendengarnya. Perasaan iri menyelimutinya. Seraya bersembunyi dalam senyum palsu, di hatinya mulai tumbuh perasaan benci terhadap suaminya. Sayangnya, sang suami tidak menyadarinya. Dia terus saja bercerita tanpa mempedulikan perasaan sang istri.

Akhirnya, sang istri yang tidak mampu menahan depresi—, Nenek mengubah akhir kisah itu. Istrinya kembali dapat melihat, sang suami mengajaknya mengelilingi dunia. Tapi Edelweiss tahu ada yang salah. Dan dugaannya tepat, kisah aslinya berujung tragedi, melibatkan tambang yang tergantung di langit-langit kamar.

 

Edelweiss memejamkan mata. Meski masih cerah, cahaya di hatinya meremang. Seolah ada satu dua lilin yang dipadamkan secara paksa. Apakah yang padam bisa kembali nyala? Dia ingin bertanya kepada Nenek, tapi justru mengutarakan pertanyaan lain,

Mustahil jalur susu benar-benar ada.

Kenapa, Nak?

Karena beruang salju tidak berjalan di langit. Karena tidak mungkin ada selendang di angkasa. Karena tidak ada surga. Karena—Edelweiss menggigit bibir bawahnya.

Nenek tersadar dengan apa yang dilakukannya. Dia terlalu larut dalam nostalgia sehingga berbicara tanpa menyadari perasaan Edelweiss.

Jalur susu benar-benar ada, Nak. Mau Nenek ceritakan? Semoga, saat melihatnya nanti, kamu langsung mengenalinya.

Edelweiss mengangguk. Cahaya di hatinya kembali menyala. Tidak ada lagi dua lilin yang mendadak padam.

Jika kamu memandang langit pada malam hari, di tempat yang jauh dari cahaya kota, ada pita putih yang membentang dari cakrawala ke cakrawala. Karena mirip dengan tumpahan susu, orang-orang menamainya jalur susu—atau Milky Way. Milky way merupakan galaksi yang ada di tata surya kita. Tapi Milky Way hanyalah satu. Ada beberapa ratus ribu juta galaksi di luar sana. Kita bisa mengamatinya dengan teleskop modern. Setiap galaksi berisi beberapa ratus ribu juta bintang. Dan Matahari kita hanyalah sebuah bintang biasa, dengan ukuran rata-rata.

Edelweiss tidak terlalu mengerti perkataan Nenek. Lagipula, matanya sudah terasa berat. Dia tidak ingin cepat-cepat tertidur. Pemandangan di jendela loteng segelap jurang, tapi sesekali hujan yang hinggap di permukaan kaca tampak bercahaya dalam redup lilin dan menciptakan berkas-berkas teduh. Tanpa disadari, tidak ada satu pun kata terucap, senyap semata. Lalu Nenek berkata dengan suara yang begitu lirih. Saking lirihnya, seolah dia hanya mengutarakan isi hati—mungkin memang benar begitu.

Saat seseorang yang baik meninggal, jiwanya menjadi bintang-bintang di angkasa. Namun, selalu ada bintang yang memutuskan tetap di Bumi—sebagai penuntun langkah—bagi yang ditinggalkan.

Dengan mata setengah mengantuk, Edelweiss menuruni ranjang, lalu berjalan ke rak di sebelah meja. Dengan ujung telunjuk, dia memilih satu di antara sederet buku. Ada beberapa yang baru. Haampir setiap malam, dia membaca buku.

Biasanya, saat pagi menjelang Nenek meminta Edelweiss menceritakan apa yang dibacanya. Namun, karena belum bisa membaca, Edelweiss hanya menyampaikan kisah yang berhasil ditangkapnya dengan melihat gambarnya, dan seringkali sangat berbeda dengan apa yang seharusnya tertulis.

Nenek selalu menyukai cerita Edelweiss.

 

Hingga lewat tengah malam, sirine masih terdengar, tapi semakin lama semakin samar suaranya. Serdawa pabrik baru berhenti jelang pukul satu pagi. Karena hanya diterangi lilin, kamar loteng redup. Tapi ada sedikit cahaya dalam butiran hujan. Nenek duduk di dekat Edelweiss, lalu mengelus rambutnya yang panjang sebahu. Helai-helai cokelatnya terasa lembut di jemarinya. Saat merasakan tangan hangat Nenek, Edelweiss tersenyum dalam lelap. Dia masih mengenakan tudung merahnya sebagai perintang dingin dan memeluk bantalnya erat-erat—salah satu bantal yang disayanginya. Di bantal itu, ada rajutan dongeng Gadis Kecil Penjual Korek Api. Di bagian belakangnya terajut serangkai sajak.

 

Salju sudah memutihkan kota, saat itu

senja menjelang di penghujung hari, penghujung tahun

Seorang gadis kecil melangkah dalam gigil kaki telanjang

setapak … setapak … tak terdengar

“… korek api …

… siapa mau beli korek api …?

…tuan? … nyonya? … korek api…?”

 

Lirih suara hilang dicampakkan deru

terhalau dingin yang memamerkan aroma perjamuan

Lihat selengkapnya