Perjalanan Semusim

Rafael Yanuar
Chapter #21

Selembar Dunia (3)

Penulis buku Ran Maharani menyusun karyanya yang paling cemerlang, Cakrawala yang Hilang, dengan mengambil pulau Alaula sebagai model. Judulnya mirip novel klasik Lost Horizon karya James Hilton. Isinya pun tidak jauh berbeda—sama-sama tentang Shangri-La, surga kecil yang terasing di ujung dunia. Hanya saja, latar novel Ran disesuaikan dengan kondisi zaman ketika dia menulisnya. Di novel itu, Ran mengambil masa Percepatan Besar yang merusak Bumi dengan kecepatan tidak terbayangkan sebagai latar waktunya. Dia menggambarkan Alaula—atau yang dalam novelnya disamarkan jadi Tinisi Geneti—sebagai pulau terpencil yang tersembunyi di balik kabut mistik. Dalam novelnya, Ran banyak membandingkan keadaan di pulau Tinishi dengan dunia. Sementara dunia memasuki era modern, penduduk Tinishi hampir tidak terkena dampak globalisasi. Ketika teknologi memungkinkan kita berkeliling Bumi dalam tempo beberapa jam saja—dan akhirnya mengakibatkan kepunahan amfibi—berita kepunahan amfibi mengambil satu bab sendiri di novel Cakrawala (dan setiap bab pada novel itu bisa berlangsung 30–50 halaman)—pulau Tinishi baru mengenal televisi. Ran bisa saja menulis buku nonfiksi tentang perubahan iklim, tapi dia merasa pesan-pesan yang ingin disampaikannya dapat menjangkau lebih banyak orang jika dia menulisnya dalam bentuk fiksi—dan dia benar. Novelnya menjadi fenomena global yang membangkitkan kepedulian anak-anak muda terhadap isu iklim dan percepatan besar.

Sayangnya, nasib pulau Alaula tidak sebaik Tinishi Geneti. Setelah Perang Besar berakhir, Pulau Alaula bergabung dengan negeri Utara dan tunduk kepada Pemerintah Pusat. Seketika saja, para pemilik dan penanam modal melihat potensi Pulau Alaula yang selama ini diabaikan. Dengan murah hati, mereka menawarkan diri mengembangkannya. Tanahnya dikeruk, pohonnya ditebang, bangunan-bangunan didirikan tanpa memedulikan drainase—sehingga setiap kali hujan turun, meskipun tidak deras, banjir menyusul kemudian. Pembangunan berlangsung cepat dan sangat cepat. Hanya dalam hitungan tahun, gedung kelabu muncul di sana-sini, pepohonan semakin rawan dan jarang. Jalan melebar. Dermaga dibangun. Jalur kereta beserta stasiunnya menyusul kemudian. Dan akhirnya, bandara. Seketika saja, julukan Pulau Kuning tersemat. Itu bukan metafora yang berlebihan. Asap-asap yang diembuskan cerobong pabrik membuat udara menjadi benar-benar berwarna kuning. Kepekatannya hanya berkurang sedikit di malam hari. Sejak Pemerintah menyerah menanggulangi pemanasan global dan menjadikan asap sebagai proses pendinginan, negeri Timur-lah yang paling parah terkena dampaknya. Pulau Alaula tidak pernah sehangat sekarang.

Lamunan Nenek terpecah ketika melihat seekor kupu-kupu terbang di kebunnya. Kupu-kupu itu kecil, terlalu kecil, malah—seperti kupu-kupu yang datang pada malam tropis, yang menyebabkan gatal-gatal di sekujur badan. Alias ngengat. Sama sekali tidak indah. Warna sayapnya cenderung manai. Namun, Nenek tetap terpukau saat melihatnya. Dulu, dia sering menemukan kupu-kupu yang corak sayapnya mengagumkan. Sarat warna. Sarat nuansa. Sayangnya, sebagian besar kupu-kupu telah punah, bersama serangga-serangga lain yang gugur satu per satu. Setelah bertahun-tahun hanya bisa memandangnya di ensiklopedia, Nenek lupa seperti apa kupu-kupu asli, yang bergerak, terbang, dan bisa disentuh. Nenek terkenang ketika tetangganya memperlihatkan rekaman digital flora dan fauna dalam tampilan hologram. Meski terlihat nyata, tetap saja semua semu semata, apalagi sebagian besar hewan dan tumbuhan yang ditampilkannya tak lagi ada di dunia.

Ketika Nenek berdiri di sisi pagar, seorang tentara lewat dengan membawa segelas kopi. Dia mengangguk ramah kepadanya seraya berkata, Selamat pagi, Nyonya Hora. Semoga hari Anda menyenangkan. Di kepalanya ada senter ikat yang menyala redup. Mungkin baterainya hampir habis.

Selamat pagi.

Dik Adel masih tidur?

Masih, mungkin pukul tujuh baru bangun. Baru ganti sif?

Tentara itu mengangguk. Saya yang bertugas semalam. Benar-benar malam yang aneh.

Apa ada sesuatu yang berbeda?

Ah, tidak, tidak. Sebenarnya tidak. Tapi memang berbeda, tapi tidak mengundang bahaya, kok. Bagaimana, ya? Di zaman sekarang, standar aneh mungkin jauh lebih sederhana, tentara itu tersenyum ramah.

Nenek setuju dengannya.

Tadi malam, saat saya berjaga dengan mata setengah mengantuk, tiba-tiba saya mendengar suara kepak sayap yang begitu nyaring, bagai ribuan ton pasir ditumpahkan serentak—mengalahkan suara cerobong-cerobong pabrik yang sepanjang hari memuntahkan asap. Saya menengadah dan melihat ada lubang hitam raksasa yang menutupi sebagian besar langit. Saya tidak benar-benar tahu apa itu—seperti gagak tapi juga bukan. Ah, apa boleh buat, saat itu gelap—gelap yang anehnya begitu dalam seperti dasar sumur yang pintu keluarnya ditutup—dan saya duduk di ceruknya. Dalam kepekatan itu, wajar jika saya tidak yakin pada apa yang saya lihat. Saya merasa kenyataan menjauhi saya. Lalu, saat saya sibuk mencari tempat berpijak, lubang hitam itu menyibak mendung yang tebalnya mungkin tak terbayangkan. Bisakah Anda tebak apa yang saya lihat? Saya melihat bulan. Tentara itu menyesap kopinya. Kopi ini tidak terbuat dari biji kopi sama sekali, tapi karena sejak dulu saya hanya memimum kopi kemasan, rasanya tidak jauh beda—malah lebih enak. Sesuatu yang dulu biasa saja, jika dilihat pada saat yang berbeda, jadi terasa ajaib, ya. Siapa sangka saya bisa terkejut melihat bulan, benda wajar yang identik dengan malam—dulunya. Saya benar-benar tak tahu, apakah ini mujizat atau tanda bahaya.

Nenek tersenyum. Dia tidak tahu harus menjawab apa, tapi sepertinya tentara itu tidak membutuhkan jawaban. Dia hanya ingin bercerita.

Ini bukan kali pertama Nenek bertemu dengannya. Hampir setiap pagi, pada jam yang mungkin sama, tentara itu lewat di depan rumahnya, dengan membawa segelas kopi yang bibir gelasnya dipegang dengan dua jari. Dia punya pandangan yang sedikit romantis terhadap hidup.

Kalau boleh tahu, bagaimana kondisi di dalam Dinding? Sudah lama saya tidak mengunjunginya. Apakah masih seperti dulu?

Ah, saya pun tidak tahu—sungguh. Apakah Serigala benar-benar ada? Saya pun tak lagi yakin. Sudah lama, bukan? Sudah lama tidak ada kasus lagi. Saya tidak tahu buat apa Pemerintah mempertahankan dinding itu. Malahan, bukankah ada wabah yang lebih berbahaya? Dan sudah lama terjadi, tak hanya di dalam Dinding, tapi juga di mana-mana. Usianya jauh lebih tua dibanding Kutukan, bahkan lebih tua dibanding Wabah Hitam—tapi bukannya melemah, malah semakin kuat dan parah.

Wabah apa?

Kapitalisme. Para pengusaha mulai melirik potensi di dalam Dinding. Saya pun heran kenapa baru sekarang, tapi orang-orang kaya itu takkan melewatkan kesempatan, tentara itu tertawa tanpa nada, tawar, dan seperti robot, tapi ada gurat marah di matanya. Setelah mengeksploitasi sumber daya alam—minyak, batu bara, dan mineral, mereka-mereka ini masih belum puas, seolah-olah di kamus hanya ada kata lagi, dan tak ada kata cukup. Anda tahu, bukan? Bagian dalam Dinding adalah satu-satunya yang asli dari pulau ini? Belum terjamah modernisasi. Luasnya pun bukan main. Mencakup seluruh bagian timur pulau. Jika tidak ada yang membatasi, bukankah kota Andala ini seharusnya berada di tengah, bukan timur? Dan Dinding ini juga melingkari pulau sehingga kita semua—para penduduk dan serigala—terisolasi selamanya di sini.

Begitu, ya?

Apa Anda dulu tinggal di Timur Alaula? Saya pernah sekali—sekali saja—nekad menjelajahinya. Ada banyak perdesaan kosong di balik Dinding. Barangkali salah satunya tempat tinggal Anda.

Saya tinggal di desa Cempaka.

Ah, desa yang indah.

Anda pernah ke sana?

Dulu sekali—saat masih kanak-kanak. Ya. Hampir setiap akhir pekan, saya menghabiskan libur di desa itu—setidaknya sampai usia 10 tahun. Bahkan sampai sekarang, membayangkannya saja masih terasa menyenangkan.

Benar.

Anda bukan petani yang berangkat pagi-pagi buta, bukan pula pedagang yang harus mendorong gerobak sejauh 20 kilometer ke pasar terdekat—dua profesi langka di zaman sekarang. Tapi, selama bertahun-tahun, hampir setiap pagi, Anda terlihat pada waktu yang sama. Di kalangan kami, bahkan ada tentara yang mencocokkan jam dengan melihat Anda.

Benarkah? Nenek tertawa. Entahlah. Awalnya saya hanya ingin mengejar keheningan. Tapi lama-lama saya tidak tahu lagi. Saya terbiasa bangun sebelum subuh sejak umur 30-an. Untuk merintang waktu, saya juga melakukan penyerbukan manual.

Lihat selengkapnya