Bahkan, hingga siang menjelang, suara pabrik di kota tidak terdengar sekencang biasanya. Hanya samar gemanya, bagai pukul tiang pada dini hari yang senyap, tapi berulang terus-menerus. Nenek mengecek persediaan makanan di kulkas. Masih adakah bahan-bahan yang tersisa? Dan ternyata sudah saatnya membeli yang baru. Dia mengambil mantelnya dan menyuruh Edelweiss mengenakan tudung merahnya. Langit mendung sejak pagi, dingin mengendap di udara.
Pasar terdekat ada di kota sebelah. Hanya bisa ditempuh dengan trem atau bus distrik. Tapi ada toserba yang menyediakan sayur-sayuran meski dengan harga dua kali lebih mahal. Nenek biasa membeli sayur dan buah yang tidak segar lagi atau yang mendekati tanggal kedaluwarsa, bahkan beberapa hari sesudahnya, di sana. Harganya lebih murah.
Hujan turun hampir tak kasatmata, membuat plastik-plastik sampah menguarkan bau tak sedap, tapi ornamen-ornamen Natal yang mengisi etalase-etalase pertokoan memeriahkan suasana yang temaram. Berbagai lagu Natal terdengar tumpang tindih di seantero jalan. Antara O Holy Night, White Christmas, dan Silent Night yang kalem, dan lagu-lagu yang lebih semarak seperti Jingle Bells, bahkan yang tidak ada hubungannya dengan Natal seperti Last Christmas dan All I Want for Christmas bercampur baur. Cuaca tidak terlalu dingin, tapi di mana-mana, anak-anak mengenakan syal dan baju-baju aneka warna yang menutupi hampir seluruh tubuh. Edelweiss menarik tudung merah kesayangannya, lalu berjalan seraya mengentakkan kaki. Dia mendengar lagu yang berpacu di toko kue yang baru saja dilewatinya. Atmosfer tidak terlalu kuning. Sedikit jernih, malah, meski langit tetap dihiasi mendung kelabu.
Edelweiss bernyanyi,
Jingle bells
Jingle bells
Jingle bells rock!
Jingle bells swing and jingle bells ring
Snowin' and blowin' up bushels of fun
Now the jingle hop has begun
Sebelum memasuki Toserba, seperti biasa, Nenek menghampiri lapak buku bekas di samping pintu masuk toko. Lapak itu sudah lama ada di sana — mungkin sudah 20 tahun usianya. Toko yang menjadi tempatnya bernaung malah sudah 4—5 kali berganti pemilik. Kanopi melindungi kotak-kotak kayu sarat buku yang disusun rapi di lantai.
Ada satu buku yang menarik perhatian Edelweiss. Di kovernya ada seorang anak berbaju hijau; berdiri di planet kerdil yang punya banyak gunung berapi. Bocah itu bengong dengan mata dan mulut terbuka, seolah memikirkan sesuatu yang benar-benar serius tapi juga menggelitik. Kira-kira apa, ya, yang dipikirkannya? Edelweiss penasaran.
Nek, belikan buku ini, dong.
Tanpa melihat judulnya pun, Nenek sudah tahu dia mempunyai buku yang sama di rumah.
Masa, sih?
Ada, kok. Ini buku favorit Nenek.
Kok enggak pernah dibacakan?
Soalnya kata penulisnya ini buku anak-anak untuk orang dewasa.
Kok begitu?
Judulnya Pangeran Kecil—The Little Prince.
Dongeng dewasa, ya? Edelweiss kecewa.
Nenek menepuk tudung merah yang menutupi rambut Edelweiss. Tapi, karena Edelweiss sudah besar, nanti siang Nenek bacakan, deh.
Benar?
Nenek tersenyum.
Asyik!
Lalu, Nenek mendapati dua tumpukan tebal ensiklopedia yang, setelah dihitungnya dengan cepat, terdiri dari puluh empat jilid. Judulnya The Geography of the World, sepertinya sudah sangat tua. Bahkan udara kota yang berasap tak mampu menyembunyikan bau apak buku-buku itu. Tapi Nenek merasa Gesang akan sangat menyukainya. Sebagai penggemar ensiklopedia, bau pasti bukan masalah, apalagi dibandingkan dua puluh empat jilid yang cantik dan tebal itu.
Ensiklopedia itu, berapa harga satuannya?
Enggak dijual satuan, Bu. Sepaket.
Oh. Nenek merasa kecewa, harganya pasti selangit. Dia bertanya kepada Edelweiss, adakah buku yang mau dibelinya. Tapi Edelweiss menggeleng. Dia hanya ingin cepat-cepat pulang untuk mendengar Nenek membacakan kisah Pangeran Kecil. Ketika Nenek hendak meninggalkan lapak itu, si penjual berseru. Nenek mendengar harga yang tidak masuk akal ... murahnya.