Perjalanan Semusim

Rafael Yanuar
Chapter #24

Gadis Kecil yang Menari di Antara Bintang (1)

Begitu melangkah memasuki gerbang, Edelweiss tertegun. Di balik dinding penjara dia selalu membayangkan daerah gersang dengan jeruji-jeruji tebal dan kawat-kawat berduri yang melingkar di atas tembok. Akan tetapi, yang kini ada di hadapannya justru sebaliknya. Sejauh mata memandang, hutan lebat menghampar, berujung pada bukit-bukit biru yang meredup ditelan kabut. Dia tahu, pernah ada suatu masa hutan menghiasi seluruh pulau, ketika setiap jalan ditumbuhi pepohonan peluruh, pinus, dan pohon-pohon berdaun lebar. Namun, dia tidak menyangka hutan itu masih ada. Di sebelah rumahnya, pula. Seraya menggenggam tali ranselnya, perasaan senang sekaligus gugup menyelimuti dadanya, menggetarkan jari-jari tangannya. Dengan merasakan bobot buku, botol air, beberapa buah apel, dan selimut di dalam tasnya, tidak bisa tidak dia mengawali langkah dengan penyesalan—kenapa tidak membawa lebih banyak barang?

Dia memandang bintang kecilnya, lalu menatap pintu penjara di belakangnya. Apakah mesti kembali? Edelweiss menggeleng. Dia mempersilakan sang bintang berjalan beberapa jarak di depannya, dan mengharapkannya memilih jalan termudah yang dapat dilalui kaki kecilnya, tapi adakalanya dia memasuki setapak yang dipenuhi semak tajam dan dahan rendah yang sukar ditempuh.

Jalan beraspal yang retak di sana-sini, membelah hutan menjadi barat dan timur. Di antara retakannya, sesawi, semanggi, dan goosegrass tumbuh liar dalam redup pepohonan di sisi jalan. Tanpa campur tangan manusia, pohon-pohon ailanthus yang dulu dianggap hama, menguasai wajah hutan.

Beberapa jenis tumbuhan merambat menyelimuti bangunan persegi di sempadan hutan. Edelweiss mengumpulkan kelopak krokus, iris, primula, dan aster, lalu menyimpannya di dalam tas. Bagaimana mungkin dia mampu menahan godaan bunga-bunga itu? Dia begitu mencintai mereka! Dan itu membuat bintang kecilnya berkedip-kedip gelisah, seolah meminta Edelweiss segera melanjutkan perjalanan. Hari sudah beranjak sore! Sebentar lagi petang datang! Ayoh gegas sebelum malam!

Dengan mengerucutkan bibirnya, Edelweiss meninggalkan bangunan persegi yang kelak dijulukinya pabrik bunga itu, kemudian memasuki desa mati pertamanya.

Berjalan di antara rumah kosong itu, dia sudah hampir menghabiskan botol minumnya. Ah, rumah itu lumayan besar, siapatahu ada sesuatu yang bisa dimakan—tapi nihil, hanya ada serpih kaca yang berserak di lantai dan debu yang menebal di perabotan.

Dia menemukan mantel merah yang bagus di salah satu rumah. Bahannya tebal dan nyaman. Untuk menghalau dingin Edelweiss mengisi mantel lamanya dengan rumput-rumput kering, lalu melapisinya dengan mantel baru. Lalu dia memasuki hutan yang penuh pohon putih dengan batang selebar dua meter. Matanya tak henti-henti memindai panorama di sekeliling. Segalanya begitu indah, muram, dan senyap.

Mungkin, ada peri-peri bersayap biru, bersembunyi di antara semak?

Tapi imajinasinya berantakan ketika melewati rumah bertingkat yang halamannya berisi kolam renang. Siapa mau membangun kolam di tempat ini? Edelweiss mengintip. Selain keramik yang nyaris tidak berubah di lantai sedalam dua meter, seluruh kolam sudah menjadi kotak persemaian. Sampah-sampah daun dan tanaman liar berusaha merebut wilayah yang sempat dikuasai tanaman hias. Tangga besinya berkarat dan berlubang di bagian yang dulu menyentuh air. Pipa-pipa PVC putih menguning dan menipis di sisi yang kerap terkena cahaya. Pipa-pipa baja tidak bernasib lebih baik. Setelah seng yang melapisinya memuai, baja tipis di dalamnya keropos.

Edelweiss melihat-lihat rerumputan, lalu memperhatikan kepala putiknya yang kecil terjulai, siap menangkap butir serbuk yang terbawa angin. Dia mematahkan ranting rendah, lalu mencium baunya, dan mengenali aroma mint yang menguar di antara getah, lalu menjilatnya, tapi langsung mengernyitkan kening. Pahit. Dia memetiki rumput lain dan tidak mengenali bau apa pun. Barulah ketika dia membuangnya, terhidu aroma badam yang manis, yang sedikit mengingatkannya pada wangi mawar di toko bunga dekat rumahnya. Edelweiss menengadah, dan menemukan buah kersen. Tidak terlalu sulit memetiknya, tapi yang ranum hanya sedikit. Dia memungutnya satu per satu, membersihkan sisa salju di kulitnya, lalu menyantapnya satu per sayu. Seketika saja, rasa manis dan pahit nan lembut bercampur baur di dalam mulutnya.

Di ceruk tebing curam berlumut tebal, dia melihat mata air yang mengalir deras di sela-sela bebatuan. Sumbernya ada di puncak tebing. Dia berhenti sejenak untuk mengisi persediaan air di dalam botol, dan minum sepuas-puasnya di sumber yang sama, bahkan sampai perutnya begah. Merona pipinya teringat pesan Nenek. Rusa minum tak lebih dari yang mampu ditampung perutnya. Dia tetirah sebentar di dalam pohon aras yang batangnya melengkung membentuk terowongan. Benar-benar fenomena ganjil, tapi sepertinya tidak seaneh itu. Edelweiss menemukan sisa-sisa pernis di kulit kayu yang halus, terlalu halus malah, tidak sekasar pohon-pohon yang selama ini dilewatinya. Ini pastilah buatan tangan. Benar saja. Di samping Edelweiss, tersembunyi di antara semak, berdiri patung perempuan berjubah biru yang parasnya begitu lembut dan menawan, menyerupai dewi. Dia membersihkan noda-noda yang menempel di patung, lalu menyapu dengan kakinya, daun-daun yang mengotori pelatarannya. Dia memandangnya lamat-lamat. Ekspresi mata patung memancarkan damai yang menenangkan benaknya. Dia menangkupkan dua tangannya, beranjali, lalu duduk di sebelahnya. Meski di luar dingin, di dalam gua udaranya sedikit hangat. Jam berapakah sekarang? Edelweiss mendengar suara kicau yang sejak tadi diabaikannya, lalu melihat burung waxwing yang luar biasa indah dengan bulu pusparona—kuning manai di ekor, kelabu di perut, dan hitam di sayap dan sekitar mata, dan jambul yang luar biasa lucu—bertengger di salah satu dahan. Di dekatnya, burung kinglet memburu serangga yang berterbangan dan melompat-lompat di udara rendah. Dia menyayangi burung-burung, tapi lapar yang semakin tak tertahankan, membuatnya membayangkan daging hangat yang berminyak. Beberapa burung belibis yang terlihat montok membuatnya menelan ludah. Edelweiss menyentuh perutnya, tapi mengeluh tiada gunanya.

Lihat selengkapnya