Nun jauh di rimba raya, Ulfur membuka pintu rumahnya, dan dengan punggung membungkuk, melangkah memasuki jalan setapak yang dipenuhi pepohonan berdahan rendah. Jalurnya curam, tapi dia sudah terbiasa. Sekalipun badannya menjulang setinggi dua meter, dia mampu menghindari semak dan ranting yang tumbuh rapat di kiri dan kanan jalan dengan gerakan selincah tupai. Dengan jemarinya, pagi menyentuh lembut tanah bersalju—mengubah hutan yang semula berwarna kelam kelabu, menjadi berkilau keperakan. Pohon-pohon berdahan putih dan cemara tua menggantikan semak yang sejak tadi mengisi setapak. Ulfur, yang sudah tak perlu membungkuk lagi, menghidu wangi humus yang mengalir di udara. Seharusnya, di antara jalinan lembap lumut kerak hitam, lumut cokelat, dan tetumbuhan berbunga, dia dapat mencium aroma sejuk yang tidak menyesakkan dari arah datangnya angin. Namun, rupanya indra penciumannya sudah melemah seperti indranya yang lain. Hanya bau samar daun-daun dan dahan mati yang mampu ditangkapnya. Meski demikian, Ulfur bersyukur, seandainya dia tahu makna kata itu, pendengarannya masih berfungsi dengan baik, bahkan mungkin lebih baik daripada sebelumnya. Saat keheningan menyelimuti udara, dia menangkup suara serak gagak pemecah biji, siul rendah burung hantu, dan lolongan serigala. Di ujung setapak, ada dua pohon besar yang dahannya berpilin membentuk gapura. Di baliknya, terhampar padang berumput hijau yang ditebas sebuah sungai kecil. Segera deras air meredam suara-suara yang sejak tadi membuana.
Semalam, dia sudah mengikat jebakan rotan di sela-sela batu besar di tengah sungai. Hati-hati, dia berjalan menentang arus yang dalamnya selutut, lalu memeriksa apa yang berhasil ditangkapnya. Ternyata tiga ekor trout dan seekor kepiting. Dia melepas dua ekor ikan dan anak kepiting, tapi mencengkeram yang kurang beruntung. Ikan itu menggelepar gelisah, berusaha menggapai napas, tapi sia-sia. Setelah membisikkan sepatah maaf yang samar, Ulfur menggigit bagian perutnya hidup-hidup. Dagingnya kenyal, darahnya pecah di sela-sela geligi. Sisiknya sukar dikunyah, tapi tidak masalah. Di lidahnya semua tawar semata. Hanya menyisakan tekstur—kenyal, berminyak, berair, bersari, atau alot. Ikan trout itu enak, sebab membuncahkan darah kental di lidahnya, dan duri-durinya lumayan lunak. Bahkan, jika mau, dia dapat langsung menelannya tanpa perlu mengunyahnya. Setelah menyantap habis sarapannya, dia meletakkan kembali keranjang itu di sela-sela batu, mengikatnya dengan tambang tipis yang sudah mengelupas nilonnya, lalu berjalan pulang. Sudah lama Ulfur tak lagi mengalami lapar. Dia mampu hidup tanpa menyantap apa pun, tapi tetap makan agar tidak terputus dengan dirinya yang dulu—jika memang ada. Semula, dengan insting yang masih tersisa, dia memasak bahan yang akan disantapnya—entah dengan menjadikannya sop atau membakarnya di atas unggun. Namun, lama-lama dia langsung saja mengunyah makanannya mentah-mentah, tanpa mengolahnya terlebih dahulu.
Siang sudah menjelang ketika Ulfur sampai di rumah. Dia tidak ingat bagaimana pada mulanya dia tinggal di sana. Malahan hanya sedikit yang dia ingat. Dia yakin, namanya pun bukan Ulfur. Hanya saja, ketika membuka mata sebagai makhluk yang kini mewadahi jiwanya, Ulfur-lah satu-satunya nama yang mampu digali ingatannya. Belakangan, barulah dia insaf, Úlfur tidak lain dan tidak bukan, merupakan padanan kata Serigala. Sepertinya, dulu rumahnya berfungsi sebagai asrama—mungkin milik sekelompok peneliti yang bertugas mencatat ekosistem di hutan. Di meja baca, Ulfur menemukan buku-buku berisi informasi flora dan fauna yang digambar dengan pensil, lengkap dengan keterangan di masing-masing gambar. Di dalam rumah, ada lorong panjang yang di sebelah kiri dan kanannya terdapat empat pintu. Masing-masing pintu terhubung dengan kamar yang tidak terlalu luas, tapi dilengkapi dengan toilet. Tak satu pun terisi. Ulfur, sebagai satu-satunya penghuni, tidak memerlukan kamar. Dia bahkan tidak perlu tidur. Bagian utama rumah terletak di ujung koridor. Hanya ada sedikit benda di sana, tapi diletakkan begitu saja tanpa memedulikan nilai, apalagi estetika. Sofa panjang yang jahitan kulitnya sudah mengelupas diletakkan di sudut dinding dengan posisi tidak simetris—menimbulkan kesan tidak seharusnya berada di sana. Di depan sofa, meja kasar yang lazim terdapat di dapur rumah pertanian diletakkan di depan pendiangan. Permukaan meja yang tidak berpelitur memiliki bekas-bekas kecil parang dan pisau roti, tapi sudah bertahun-tahun tidak ada noda baru. Di sudut dinding, berdiri dua buah lemari sarat benda dan buku antik, serta bumbu dapur yang entah sudah berapa lama umurnya. Melesak di dalam tembok bata merah, bergeming dalam sunyi, perapian kecil dengan foto keluarga berukuran besar di permukaannya; mengabadikan potret lelaki dan perempuan yang sepertinya sepasang suami istri. Ulfur tidak tahu siapa mereka. Mungkin pemilik lama rumah ini, atau dirinya sebelum menjadi seperti ini. Dengan membuka seluruh tirai, dia biarkan cahaya membilas ruangan, lalu mengambil sebuah buku di dalam lemari. Dia perlu berjerih untuk membaca kata-kata di dalamnya. Apa boleh buat, membaca merupakan salah satu insting yang mampu diraih kenangannya, semacam gerak spontan jika kau terbiasa melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun. Namun, dalam wujud ini, kemampuan membaca Ulfur melemah, seperti pula kemampuannya yang lain. Satu-satunya yang berkembang hanya insting hewaninya, atau jika melihat wujudnya yang menyerupai pohon berjalan, lebih tepat disebut insting nabati. Berkali-kali dia mengeja sebuah kata, bahkan yang paling sederhana, tanpa memahami maknanya. Meski begitu, menyerah tak ada dalam kamusnya; baik dalam arti harfiah maupun tidak. Dia membaca dan tetap membaca dengan lamban dan sangat hati-hati. Dia mengeja setiap silabel, lantas menggumamkannya lamat-lamat. Jika berhasil memahami sebuah kalimat, hatinya bergetar, rasa tenteram mengalir bersama darahnya, lalu menghangatkan seluruh tubuhnya. Dia menyerap rasa dan gagasan dalam setiap halaman. Dia mengulangi kata dan kalimat yang disukainya sesering mungkin. Hanya saja, karena tidak mampu membaca buku-buku berat, dia memilih buku-buku yang mudah dimengerti. Dia mampu membaca selama berjam-jam. Tanpa usik, tanpa jeda. Tak terkecuali saat ini.
Sementara Ulfur berupaya menyelami lautan kata, burung-burung di depan jendela tak henti berkicau. Detik-detik jatuh dengan suara yang melembutkan telinga. Lalu senyap meledak seketika—yang tersisa tinggal bunyi kertas yang tersibak. Satu demi satu, lembar demi lembar. Tanpa disadari, hari sudah beranjak sore, kicau semakin samar gemanya, bahkan tak terdengar apa pun selain rindang cuaca. Ulfur menutup bukunya, lalu memandang jendela. Karena jam bandul di samping perapian berhenti di angka 11.27, untuk menerka waktu Ulfur memeriksa seberapa banyak cahaya yang jatuh di padang depan jendela. Rupanya, dia sudah membaca enam jam lamanya, tapi halaman yang tersibak sedikit semata, hanya sebelas. Dia menutup semua tirai. Dibiarkannya rumah remang dalam gelap. Gelap selalu membuatnya tenang—tidak, dia sendiri tidak tahu apa itu tenang, dia hanya merasakan suatu getaran nyaman di dada kirinya.
Sementara itu, di dalam hutan, Edelweiss berjalan dengan mengandalkan tongkat yang ditemukannya di timbunan dahan patah. Dia terus berjalan, dan berjalan, mengikuti Bintang yang semakin redup cahayanya, seolah sebentar lagi akan padam. Padam yang berbeda. Padam yang berarti perpisahan. Bintang itu ternyata mengantarnya ke sebuah sungai yang tersembunyi di balik rimbun pohon. Segera saja, Edelweiss merendam kakinya di dingin air. Sepanjang perjalanan, kaki kanannya bagai dirajam ribuan jarum yang melesak menembus kulit dan mematahkan tulangnya. Namun, begitu segar air menyentuhnya, perih yang dirasakannya sedikit terperi. Edelweiss menghitung jarinya—satu, dua, tiga—ah, ini sungai kelima yang sudah dijumpainya. Dia menyapu panorama dengan matanya. Biasanya, di dekat sungai ada pohon-pohon buah. Perutnya merintih lapar. Ah, itu dia, ada. Murbei, markisa hutan, dan ciplukan. Edelweiss, dengan langkah tertatih dan dengan bersandar pada tongkatnya, mengambil buah yang terjangkau tangannya dan memunguti yang jatuh di tanah. Pohonnya sendiri tidak terlalu tinggi, tapi tidak mungkin memanjat dengan kondisi seperti ini. Setelah cendera dan sakit di kakinya sedikit terobati, Edelweiss kembali melangkah. Beberapa jarak di balik sungai, ada jalan setapak yang terhubung dengan lapangan luas berselimut salju. Salju? Seketika saja, Edelweiss tak lagi tahu di mana dia berada. Bukankah beberapa saat lalu, kau ada di hutan yang sarat tanaman-tanaman berdaun lebat? Bagaimana mungkin sekarang kau mendapati lapangan luas dengan salju setebal tumit menutupi jalanmu. Pohon-pohonnya berdaun jarang, bahkan hanya menyisakan ranting-ranting telanjang. Kau pernah melihat salju, tapi tak pernah melihat yang sebanyak ini. Tertatih kau melangkah, menebas bidang putih yang membiru. Kau menutup kepala dengan tudung, lalu memeluk jaket erat-erat, tapi percuma. Hawa dingin tetap saja menembus kulitmu.
Edelweiss mual dan muntah, tapi tak ada yang keluar selain cairan asam berwarna kuning bening nan pekat. Pahit. Pahit. Dia meraih napas, tapi udara kering yang didapat. Dia menggigit bibirnya. Seketika saja, hanya bayang-bayang buram, samar, dan pudar yang tersisa di matanya. Tiba-tiba, saat air matanya mulai membeku di pipi, dia merasakan hangat yang menjalar, bahkan juga di hatinya. Ternyata itu Bintang kecilnya — yang selama ini setia di sisinya. Mendekatlah padaku, temani aku dalam penghabisan ini. Aku bersyukur memilikimu di sisiku. Tak ada yang lebih berarti daripada seorang sahabat, bukan? Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi saudara dalam kesukaran. Itu Amsal yang sering Nenek katakan. Entah bagaimana Edelweiss tahu, perpisahan itu sudah dekat, bahkan mungkin sedang terjadi. Benar saja, sang bintang memberikan kecupan mesra di pipinya. Hangatnya membuat air mata yang sempat membeku, mencair. Selamat tinggal, dia mendengar suara dalam hatinya, tapi bukan berasal dari dirinya. Dengan nanap, dipandangnya sahabat terangnya. Melayang—jauh dan jauh—tinggi dan tinggi. Dia menangis sejadi-jadinya, tapi tiada suara yang keluar, hanya pekik tertahan. Kerongkongannya tercekat. Dia terjatuh, merasa sangat sendiri. Diserahkannya seluruh takdir pada Sang Pemilik. Aku akan mati di sini. Sebentar lagi, menyusul bintangku—barangkali ke suatu tempat yang Nenek sebut sebagai surga—tanah tanpa air mata dan penderitaan, tanpa perpisahan dan penyesalan—suatu ranah dengan kebahagiaan meraja. Ah, ternyata sekarang masih malam. Malam sarat bintang. Betapa indah bintang-bintang itu! Seandainya aku dapat menari di bawahnya. Pemandangan terakhir yang dilihatnya ketika kesadaran mulai lenyap, adalah sosok hitam dengan tanduk bercabang di belakang kepalanya, yang menangkapnya tepat sebelum kepalanya membentur tanah.
Ulfur memandang gadis kecil dalam dekapannya, dan dengan jari-jarinya yang panjang, dibelainya rambut cokelatnya. Dia sama sekali tak tahu bagaimana jari-jarinya mengingat itu. Diluruskannya rambut yang kusut dengan belaian yang lembut. Teramat lembut, justru. Disibaknya pelan poni yang menutupi bulu-bulu halus di keningnya. Gadis kecil yang teramat manis, seperti bunga. Lalu dia melangkah pelan meninggalkan padang perak itu. Angin berembus masai dan dingin mengendap di udara, tapi punggung Ulfur yang bungkuk melindungi Edelweiss dari gigil cuaca. Langkahnya pelan, tapi pasti. Dia berusaha tak mengusik lelap gadis kecil itu, dan ketika rumahnya terlihat sebagai noktah di saujana, dia melangkah cepat. Dipilihnya salah satu kamar di lorong dan dibaringkannya Edelweiss di kasur. Dan dirawatnya dengan—haruskah dikatakan—penuh welas asih. Ketika terjaga, Edelweiss sudah berbaring di kasur yang nyaman, dalam lindungan selimut tebal nan hangat. Semula, dia mengira masih berada di rumah Nenek dan segala yang dialaminya mimpi buruk belaka, tapi rasa sakit di kaki kanannya menyadarkannya. Dia masih mengenakan bajunya, tapi jaket merahnya sudah dilepas dan digantungkan di gantungan baju samping lelapnya. Kakinya yang membiru bahkan sudah dibebat perban tebal. Seluruh ruangan gelap. Satu-satunya sumber cahaya hanya pemanas anglo dengan kayu bakar yang tak henti-henti bergemeletuk di sudut dinding. Sebagian bara hanya menyisakan debu arang putih dalam tungku. Edelweiss membuka tirai jendela. Di luar, salju turun lebat, merabunkan panorama, seolah di luar sana hanya ada salju—dan dia berada di dasar jurang yang dalam dan pekat. Langit terlitup mendung. Namun, di dalam ruangan, dingin tidak menyentuhnya sama sekali. Bahkan suara-suara itu—angin yang nyaring, salju yang memekik—terdengar jauh. Edelweiss berusaha duduk dengan mengangkat kakinya yang diperban pelan-pelan. Dia ingin tahu siapa yang menyelamatkannya dan di mana dia berada. Di sisi ranjangnya, ada penyangga ketiak yang bagian atasnya sudah dilapisi bantalan empuk. Dia mengambilnya. Betapa beruntungnya aku, setiap kali beban yang mematahkan asa menghunjamku, selalu ada yang datang menolongku. Perlahan, dengan bantuan tongkat, dia turun dari kasur dan mendekat ke anglo—sebab itulah satu-satunya sumber cahaya di kamar itu. Lelatu yang memercik memantulkan petik-bunyi yang lembut. Seketika dia teringat pada bukunya dan mencari dengan gelisah—tapi segera mendesah lega ketika melihatnya di meja. Bintang kecilnya sudah tak ada. Ah—barangkali dia hanya kembali ke tempat seharusnya dia berada—di langit—dan menyisakan sedikit di hatinya. Dengan bertopang pada kaki kirinya, gadis kecil itu bangkit berdiri untuk mengambil buku bersampul biru. Dengan diterangi api arang, dipilihnya satu di antara dongeng-dongeng tua. Dia sedih sebab lembaran kertasnya basah dan beberapa halaman robek. Saat membaca judul-judul itu, matanya terasa panas mengenang Nenek. Namun, sebelum sempat memilih mana yang ingin dibacanya, dia mendengar kenop pintu diputar. Edelweiss menutup bukunya, lalu menengadah. Jantungnya berdegup kencang ketika memandang sosok yang berdiri di hadapannya. Seluruh tubuhnya hitam legam. Matanya merah menyala. Tanduk bercabang tumbuh di belakang kepalanya. Dia tidak seperti makhluk apa pun yang pernah dilihatnya. Dia Serigala. Bukan serigala, melainkan Serigala. Manusia terkutuk. Edelweiss bergeming. Diakah yang menyelamatkanku?
Kau—sudah sadar rupanya—? Syukurlah, suaranya dalam seolah kerongkongannya berisi pasir. Serigala itu bicara dengan tempo yang sangat lambat, seolah-olah mengucapkan sepatah kata saja membuatnya sangat kepayahan. Aku—hendak mengisi anglomu dengan arang baru—juga memeriksa keadaanmu. Maaf jika aku mengagetkanmu.
Andakah yang menyelamatkanku? Membebat lukaku? Edelweiss mencoba berdiri. Te—terima kasih, lalu terjatuh lagi.
Jangan—jangan berdiri. Kakimu belum sembuh benar. Duduklah di sana saja.
Apakah Anda dokter atau perawat?
Apa—itu? Ah—rasanya aku paham. Tapi aku tak tahu siapa diriku di masa yang lalu—sebelum aku menjadi seperti ini. Hanya saja, segera setelah aku membaringkanmu di kamar, entah bagaimana aku tahu di mana letak P3K dan membebat lukamu dengan perban. Kau baik-baik saja?
Edelweiss mengangguk. Sekarang sudah tidak apa-apa. Terima kasih.
Kau—tidak takut padaku?
Takut. Tapi aku percaya Nenek.
Nenek?
Edelweiss mengangguk.
Memangnya apa yang—dia katakan tentangku?
Bukan, bukan tentang Anda, tapi beliau pernah berkata, Bunga kecilku, saat kau bimbang, Tuhan akan memberimu petunjuk dan kau hanya perlu berkata ya. Hatiku berkata Anda orang baik, dan aku hanya perlu memercayainya.
Sosok hitam itu bergeming, tapi Edelweiss tahu dia tersenyum.
Ah—tunggu di sini. Aku baru saja memasak sesuatu.
Beberapa saat kemudian, semangkuk sup sayur dan ikan bakar tersaji di hadapan Edelweiss. Gadis kecil itu nyaris menangis saat menyantapnya. Kapan terakhir kali ada yang memasak untukku? Kapan terakhir kali aku menyantap makanan sehangat ini? Ulfur sudah lama tidak memasak. Dia tahu rasa masakannya pasti mengerikan, tapi Edelweiss menyantapnya lahap tanpa sepatah pun keluh. Supnya tawar, tidak dibumbui. Ikan bakarnya enak, tapi masih menyisakan amis—bagian dalamnya tidak dibuang dan sisiknya tidak disisiki dengan baik. Edelweiss harus memilah dan memilih bagian yang dapat dimakan, dan terpaksa menyisihkan sisanya.
Aku juga—sudah mencari baju yang sepertinya cocok dengan ukuranmu. Ada beberapa yang ditinggalkan di desa. Tapi karena salju turun terus-menerus, aku tidak sempat mencucinya. Semuanya sudah berbau apak, tapi tidak terlalu—mungkin. Lalu, Ulfur menghilang di balik pintu. Dia kembali beberapa saat kemudian, membawa setumpukan baju tua. Edelweiss yang sudah terbiasa dengan bau apak ensiklopedianya, sama sekali tak mempersalahkannya. Perlahan-lahan, dengan pengobatan yang diberikan Ulfur, sakit di pergelangan kaki Edelweiss berkurang. Hanya dalam seminggu, Edelweiss sudah bisa berjalan lagi. Dia menjadi sangat akrab dengan Ulfur seolah sudah sangat lama berteman dengannya. Karena setiap hari salju turun lebat, Edelweiss merintang hari dengan berkeliaran di dalam rumah—mencari tahu apa saja yang ada di dalamnya. Ulfur hampir setiap hari keluar untuk mencari sayur dan buah liar di hutan, pun berburu jika waktunya tepat. Sesekali, jika cuaca tidak terlalu buruk, Edelweiss ikut serta bersamanya. Ada tungku di luar ruangan yang sudah bertahun-tahun tidak dipakai, lengkap dengan peralatan masak yang ternyata masih bagus. Untuk menyimpan persediaan, Ulfur mempunyai gudang besar di dalam tanah—tadinya kosong, tapi perlahan mulai terisi lagi. Ulfur biasa memasak sayur mayur di kuali dan—mungkin karena tak memakai bumbu sama sekali—seringkali rasanya tidak mengesankan. Meski demikian, Edelweiss memakannya dengan tabah dan Ulfur menyadarinya. Dia berusaha mempelajari teknik memasak yang lebih baik lagi demi memuaskan Edelweiss.
Paman Ulfur persis Nenek.
Ulfur, dengan wajahnya yang hitam legam seperti burung gagak dan matanya yang merah tanpa bagian putih, serta tanduknya yang panjang dan bercabang, menatap Edelweiss.
Per—sis?
Edelweiss tersenyum.
Mungkin itu sebabnya aku jadi tidak terlalu kesepian lagi.
Nenek itu—seperti apa dia?
Nenek baik. Pandai memasak dan mendongeng. Dan selalu ada saat aku mem—membutuhkannya, tahu-tahu setetes air mata mengalir di pipinya. Edelweiss menyembunyikan wajahnya di lutut.
Itu—sama sekali tidak mirip aku—bukan?
Mirip kok.
Baik—baiklah. Tapi aku benar-benar tidak mirip dengannya. Satu-satunya kesamaan—mungkin—sebentar lagi—aku juga akan meninggalkanmu. Atau, lebih tepatnya, kau harus meninggalkanku.
Ke—kenapa?
Aku—sudah kehilangan sebagian besar indraku, jadi aku takkan lama bisa menjagamu. Nanti, kau harus berlari dariku dan aku akan mengejarmu. Tapi untuk saat ini, kau aman di sini.
Edelweiss tidak tahu harus menjawab apa.
Edelweiss, kau mengerti—bukan? Aku—Serigala. Úlfur. Jika saatnya tiba, aku akan jadi makhluk buas yang sama sekali—tidak kau kenal. Saat kau menjadi Serigala, kau akan kehilangan indra-indramu. Kau tak lagi merasakan sakit, kau tak kepanasaan saat menyentuh api, dan tidak kedinginan saat berjalan di dinginnya salju, kau tak perlu menahan napas saat menyelam di dalam air. Satu-satunya yang kelak tersisa hanya nafsu makan. Jika saat itu tiba, pergi!—pergilah dari sini. Tapi, nafsu makan pun akhirnya tak ada. Kami akan perlahan-lahan kehilangan jiwa, lalu berakhir menjadi iblis yang memburu jiwa manusia-manusia lain. Kami akan berjalan dengan empat kaki dan bertindak laiknya hewan buas.
Be—benarkah? Aku tidak percaya.
Itulah yang aku baca, tapi aku sama tidak tahunya denganmu. Tapi—untuk saat ini, kau aman bersamaku.
Kenapa Paman mengizinkanku tinggal bersama Paman?