Hari berganti.
Pemandangan di depan jendela masih menghamparkan panorama kelam, tapi ada seberkas cahaya yang jatuh di dalam hutan. Cahaya bulan. Udara subuh terasa segar, lembut, dan tenang. Hanya sesekali terdengar cericit burung-burung kecil menyambut datangnya musim semi. Musim semi. Ulfur berdiri di balik jendela dan mendapati sesuatu di rongga dadanya menghangat. Musim semi tidak datang tiba-tiba. Kau selalu mampu merasakannya, melalui mata, sentuhan, hati, dan jiwamu. Kau menemukannya dalam tunas yang merekah, angin sepoi-sepoi yang mengantar hawa hangat, dan sinar matahari yang tak lagi kelabu. Ketika berjalan meninggalkan jendela, Ulfur membiarkan kacanya tetap terbuka—berharap udara hangat menyelinap masuk dan menyebarkan cahayanya di ruangan yang semula kelabu. Sebelum melewati pintu keluar, Ulfur mengecek kamar Edelweiss. Si kecil ternyata masih bergelung nyaman dalam lelapnya. Seberkas cahaya jatuh miring tepat di tungku yang kayu bakarnya hanya menyisakan abu putih, tapi sisa hangatnya masih mengisi seluruh ruang. Ulfur memperbaiki selimut yang membungkus tubuh gadis kecil itu dan menariknya hingga bahu.
Rerumputan mulai tumbuh menggantikan putih salju. Bunga-bunga perlahan bertunas. Di depan pagar, ada jalan setapak yang pohon-pohonnya kembali diteduhkan daun-daun. Ulfur berjalan perlahan mengikuti suara sungai. Pohon-pohon beri seharusnya sudah berbuah. Setelah mencapai padang lapang di ujung jalan setapak, dia tahu dugaannya benar. Semak beri liar yang tumbuh di sepanjang jalan dengan tidak beraturan, menawarkan buah-buahnya yang berwarna merah cerah. Dia memetiknya satu per satu, lalu menaruhnya dalam keranjang. Dia hanya mengambil dari satu pohon, dan menbiarkan sisanya menjadi makanan hewan-hewan liar di hutan. Ternyata, pohon apel yang tumbuh di samping parit kecil itu juga sudah berbunga, bahkan mulai berbuah juga. Ulfur memetik empat apel yang menjuntai di dahan terendah. Dan terakhir, dalam perjalanan pulang, Ulfur menciduk satu toples madu yang disimpan para lebah dalam lubang pohon tua. Hanya sedikit. Secukupnya saja. Toh hanya Edelweiss yang membutuhkannya. Lebah-lebah menyerang Ulfur, tapi sia-sia. Ulfur bahkan tidak merasa perlu menggusahnya. Dia hanya berdiri diam, membiarkan sekerumun lebah menyengatnya.
Ketika Ulfur kembali, Edelweiss berlari menyambutnya. Ulfur yang tidak terbiasa dengan sentuhan tidak tahu harus berbuat apa, tapi dia tidak menolak ketika Edelweiss memeluk kakinya. Dengan sangat hati-hati, Ulfur meletakkan tangan kirinya di kepala Edelweiss, lalu mengajaknya memasuki rumah.
Sesampainya di dapur, Ulfur menyeduh secangkir madu, lalu berusaha sekuat tenaga mengupas apel pertama musim semi, tapi hasilnya berantakan. Banyak daging buah yang terbuang bersama kulitnya.
Tidak perlu dikupas, kok. Aku makan langsung saja.
Bisakah—tidak apa?
Edelweiss mengambil sebutir apel, lalu menggigitnya, tapi giginya langsung ngilu. Aw! Serat-seratnya mampat di sela-sela gigi. Menyebalkan. Namun, syukurlah, setelah gigitan pertama, tak sulit menyantap sisanya. Tahu-tahu, satu setengah butir sudah dilahapnya.
Apel yang tumbuh di hutan hampir sebesar melon dan kulitnya tidak terlalu mengilap. Sebagian besar sudah menjadi santapan ulat, tapi selalu ada yang selamat. Menurut Edelweiss, rasanya sedikit berbeda dengan yang biasa Nenek beli di supermarket. Namun, ketika ditanya apa bedanya, dia tidak mampu menjawab selain ukurannya.
Sebenarnya, Edelweiss tidak biasa sarapan buah-buahan. Namun, sudah hampir sebulan dia tidak menelan apa pun, selain air, buah, madu, ikan, dan sayuran liar—pokoknya apa saja yang ada di hutan. Namun, Edelweiss sama sekali tidak keberatan. Sebaliknya justru, dia menyukainya dan merasa bugar karenanya. Edelweiss meminum seduhan madu yang dicampur dengan bunga-bunga kering. Terima kasih, bisiknya.
Di dekat rumah, ada desa terbengkalai yang setiap hari disambangi Ulfur. Hanya ada sedikit bangunan di sana, jaraknya berjauhan, dan sebagian besar memiliki tiga lantai. Lantai dasar dibangun dengan batu—sebab dulu digunakan untuk menyimpan hewan ternak—sementara sisanya terbuat dari kayu. Meski sudah ditinggalkan selama bertahun-tahun, kondisinya hampir tidak berubah. Bahkan masih ada jerami-jerami kering di lantai teratasnya, dan sisa-sisa perabot di lantai dua. Lumbung-lumbung gandum dibangun di tanah yang membukit.
Ulfur memeriksa salah satu rumah untuk mencari persediaan kayu bakar dan bumbu-bumbu dapur yang masih tersisa, tapi yang didapatinya justru buku-buku terbengkalai di ruang keluarga. Dia mengambilnya beberapa, lalu menyusunnya di dalam gerobak yang ditemukannya di lumbung. Meski kayu gerobaknya perlu ditambal, rodanya belum rusak. Dia juga mengisi sisa ceruk dengan kentang, wortel, kol, dan kompor zanjabil. Lalu Ulfur memutuskan pulang. Di perbukitan, ada sawah liar yang ditumbuhi sayur-sayur musim dingin. Mungkin saat musim semi datang, ada gandum liar yang bisa dipanen. Dia membayangkan wajah semingrah Edelweiss ketika menyantap roti buatannya. Di setapak berbatu, Ulfur mendapati sebidang tanah yang ditumbuhi pepohonan pisang. Seperti beri, pisang juga berlimpah selama musim dingin. Dia memetik beberapa tandan, lalu menaruhnya di gerobak.
Salju yang gugur di tanduk belakang kepalanya, membentuk gundukan-gundukan kecil di cabangnya. Salju juga membasahi jubah hitamnya yang gombal. Roda pedati yang ditariknya berkali-kali tergelincir, dan harus dikembalikan dengan susah payah. Sesekali dia memandang ke arah timur—menebak-nebak apakah Edelweiss sudah terjaga. Di ufuk, bintang-bintang masih berkilauan bagai bercak darah—rembulan bersinar cemerlang, tapi juga manai, sebab tidak lagi memancarkan hangat.
Ketika sampai di rumahnya, fajar sudah menyingsing, dan Edelweiss menunggunya di teras. Dia selalu penasaran, apa yang dibawa Ulfur dalam perjalanannya setiap pagi. Namun, sekarang berbeda. Sebelum Edelweiss sempat bertanya, Ulfur sudah mengembannya, lalu memasukkannya dalam gerobak. Dia melihat sekumpulan beri, pisang, dan sejenis kompor berbentuk tabung, serta buku-buku di dalamnya.
Makanlah—apa pun yang kamu mau—kecuali buku dan kompor.
Edelweiss terkikik, tanpa diberi tahu pun, mustahil dia memakan itu, bukan? Dia mencari sudut kosong dan duduk di sana, lalu memetik sebuah pisang, mengupas kulitnya, dan menyantapnya pelan-pelan. Edelweiss terkejut ketika gerobak tiba-tiba bergerak. Tanpa berkata sepatah pun, Ulfur memasuki rumah, mengambil pakaian Edelweiss, menyusunnya di sudut pedati. Edelweiss bertanya-tanya dalam hati, tapi tidak menyuarakannya. Udara pagi tidak terlalu dingin, tapi Edelweiss memeluk jaket merahnya erat-erat, dan menutup kepalanya dengan tudung.
Kita mau ke mana, Paman Wendi?
Paman—Wendi?
Habisnya, Paman mirip Wendigo di buku-buku. Tapi mukanya saja yang mirip, sifatnya tidak.
Makhluk apa—itu?
Boleh tidak cerita?
Ya—. Boleh saja.