Saat berjalan di sisi danau seluas samudra, Ulfur melambatkan langkah. Di dalam gerobak, Edelweiss masih lelap dengan kepala bersandar pada timbunan buku bersampul kulit. Burung-burung kuntul dan bangau yang berdiri dengan satu kaki bergerumbul di bagian danau yang dangkal. Angin dingin berembus menyibak tirai pepohonan dedalu, burung ibis menyambar belalang di dahannya. Begitu banyak suara bersahut-sahutan di hutan, tapi tak ada, tak satu pun, yang seasing derit roda gerobak yang ditarik Ulfur di sepanjang jalan berbatu. Ulfur yang menyadari suara pedatinya mengusik geming suasana, berhenti sejenak, lalu mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk. Dia memandang matahari yang mewarnai seluruh panorama. Danau berkilau-kilauan. Daun-daun semakin tajam warna hijaunya. Burung-burung kecil mencuci kakinya di permukaan air. Ulfur menyandarkan gerobaknya di balik pohon besar yang daunnya rimbun meneduhkan, kemudian membetulkan letak selimut yang menutupi tubuh Edelweiss.
Setelah yakin gerobaknya aman, dia berjalan perlahan menuju danau. Ketika bercermin pada tenang air, sosok menyeramkan balas menatapnya. Itu wajahnya, tengkorak rusa dengan tanduk bercabang dan rongga mata yang diisi setetes darah kecil berwarna merah kelam. Siapa pun yang melihatnya pasti bergidik ngeri.
Ulfur membuka kancing bajunya. Di balik jubah rombengnya, ada tubuh kurus dengan tulang dada menonjol. Moncongnya yang tajam seperti gergaji mengatup, tapi tidak mampu menyembunyikan taring-taringnya yang runcing. Kulit perutnya menyatu dengan kulit punggungnya. Mungkin—inilah keindahan itu. Sesuatu yang bukan dia. Ulfur tak mampu berdiri tegak sebab punuk memberati tulang belakangnya. Berat sekali. Dia berjalan di tepi danau yang dangkal, lalu memasuki perairan yang lebih dalam, lalu semakin dalam, dan dalam, hingga yang tersisa hanya kepalanya. Kemudian kepalanya pun tak terlihat, hanya bulatan-bulatan air yang mengecil, lantas lenyap. Ulfur lenyap tenggelam. Seperti sehelai daun yang jatuh tanpa diterbangkan angin, melandai perlahan sebelum mencapai permukaan tanah, begitulah tubuhnya melayang gugur di gelapnya air. Sesaat kemudian, dia sudah tiba di dasar danau yang tak tersentuh cahaya.
Ulfur—anakku.
Sebuah suara tanpa wujud mendatangi Ulfur.
Ibu. Apakah Ibu yang—memanggilku?
Kau lupa suara Ibu, Nak?
Tidak, Bu—hanya saja—aku tidak lagi mengenal diri sendiri. Ada yang—berbeda.
Aku tahu. Aku ibumu, Ulfur.
Lalu—apa itu?
Suatu saat kau akan mengerti.
Apakah Ibu masih menyimpan ingatanku yang dulu? Sebelum aku berubah menjadi—sosok ini?
Tidak, Nak. Sudah lenyap selamanya.
Ah.
Pentingkah itu?
Aku tak tahu.
Lalu—apa tujuan Ibu memanggilku?
Aku hanya ingin menjumpaimu. Sudah lama kau tak mendatangi Ibu. Seandainya kau tahu bagaimana rasanya menjadi seorang ibu—deritanya, duka batinnya, rindunya. Sekarang, kembalilah.
Baik—Ibu.
Ketika menyelam, Ulfur bagai sebongkah batu yang melandai turun—batu itu seringan daun, tapi tetap saja tenggelam jika bertemu air—dan ketika kembali naik, dia bagai bayang-bayang yang melambung mengejar cahaya. Dia tiba di permukaan tanpa menciptakan riak dan gelombang. Dia bergerak—tanpa gerak—mendekati daratan, mengambil jubahnya, mengenakannya, lalu, dengan sekujur tubuh basah, dia meraih gerobak. Edelweiss masih lelap, berselimut jaket dan tudung merahnya. Matahari bersinar tenang di barat. Awan-awan mendung berarak.
Di kaki gunung, dengan mudah kautemukan pohon ek dan pendula yang lebat daunnya menghalangi cahaya. Di dataran yang lebih tinggi, pohon pinus, cemara, dan cemara spruce mengisi seluruh ceruk. Di dataran yang lebih tinggi lagi, ada pohon pinus dan larch. Semakin tinggi dataran, semakin jarang pula daun-daun yang tumbuh di dahan pepohonan.
Ketika Ulfur memarkir gerobaknya di depan sebuah rumah, hari sudah beranjak petang. Kincir air di samping rumah bergerak malas dengan bantuan sungai yang mengalir pelan. Ada suara kayu berderak di antara jeruji kincir yang menghantam riak. Sayangnya, meski baling-balingnya masih berfungsi dengan baik, sudah bertahun-tahun tidak ada gandum yang digiling.
Edelweiss terjaga begitu mendengar suara sejuk di sekitarnya. Dia tidak langsung yakin di mana dia berada. Pemandangan di sekitarnya mirip dongeng kekal yang senantiasa dirindukannya. Bentangan hijau menghampar sejauh mata memandang. Rumput-rumput menari dibelai angin. Di puncak bukit, kincir angin berdecit.
Inilah—pondok—musim semi, kata Ulfur.
Di dalam pondok, hanya ada satu kasur tanpa ranjang, rak berisi 30-an buku, dan meja tulis dengan lilin yang sudah separuh terbakar. Jendela besar di sisi kasur menghadap selatan—menghamparkan pemandangan bukit dengan kincir angin yang berdecit di puncaknya. Di langit-langit, ada lubang lampu yang tidak berisi lampu, dan di sudut ruangan, sebuah pemanas terhubung dengan cerobong di belakang rumah. Dindingnya, yang terbuat dari bata merah tanpa dilapisi cat, memantulkan cahaya senja sewarna apel yang meredup seiring terbenamnya matahari. Seluruh panorama seolah menarik Edelweiss ke masa yang tak dikenalnya. Sesuatu yang menyerupai nostalgia mengisi hatinya.
Sebaliknya, Ulfur tidak memperlihatkan emosi apa pun. Tidak ada yang tahu isi hatinya, tapi perlahan-lahan Edelweiss mulai mengerti. Ulfur memeriksa kasur. Dengan tangannya yang kosong, dikibasnya debu yang menempel di seprai. Karena terletak di dekat jendela, kasur itu beraroma matahari. Baunya enak.
Sepanjang perjalanan, Edelweiss menghabiskan sebagian besar waktu di dalam pedati. Kendati tadi dia tidak merasakan capai, saat melihat kasur, dia segera ingin berbaring.