Setelah menuruni perbukitan, Ulfur sampai di tepi sungai kecil berarus kencang. Airnya jernih dan dingin, seperti baru mencair. Karena musim semi belum lama bertandang, jumlah ikan di dalamnya tidak banyak, tapi tidak sulit melihatnya. Dia memungut salah satu ranting dedalu yang gugur di jalan berbatu dan menjadikannya tongkat pancing. Di pojok sana, ada pohon mati yang menyembunyikan cacing berlimpah ruah. Dia mengambil satu yang terbesar lalu menancapkannya di ujung kait.
Setelah mengayun joran dan membiarkan benang pancing mengikuti aliran air, Ulfur duduk di tepi sungai—diam, tak bergerak sama sekali. Selama menit-menit panjang penantian, beberapa ekor burung hinggap di tanduknya, beberapa ekor tupai dan kelinci bermain di sekitar jubahnya yang berayun tertiup angin. Dalam satu jam, tidak ada ikan yang menyantap umpannya. Saat Ulfur menarik pancingnya, burung-burung sontak berterbangan, tupai-tupai berpencaran. Dia mencoba lagi dengan umpan yang baru, sayang hasilnya tetap sama. Mungkin karena aku terlalu dekat dengan sungai. Dia mundur beberapa langkah, lalu melempar pancingnya lagi. Tetap saja tak ada gerakan.
Akhirnya, dia menggulung benang pancingnya lalu berjalan ke hilir, berharap mendapat ikan di air yang dangkal. Seolah semesta bergurau dengannya, di sana dia malah berhasil memancing ikan besar dengan punggung gelap dan berbintik-bintik, lalu dua ekor ikan kecil yang sembunyi di dasar berbatu. Ulfur mengeluarkan isi perut ikan yang besar dan melemparkannya ke sungai, lalu memutuskan pulang.
Ketika kembali menuju lereng, matahari mulai terbenam. Seluruh jalan penuh hantu—sosok-sosok pucat tembus pandang yang berjalan di setapak dengan membawa lentera merah di tangannya. Suasana hening menjelang malam membuat suara hutan terdengar lebih jelas.
Sesampainya Ulfur di pondok, dengan senyum semingrah, Edelweiss sudah duduk di depan pintu, menunggu. Ulfur, tanpa mengucapkan sepatah pun kata, langsung menyiapkan kompor janzibil, memanaskan arang, lalu memanggang ikan hasil tangkapannya, yang ternyata terlalu banyak untuk berdua. Ikan tersebut renyah di bagian luar, tapi empuk di dalam. Mereka bersantap dalam keheningan—hanya sesekali terdemgar kepak sayap burung-burung, hendak pulang menuju cakrawala yang jauh. Di antara mereka, unggun menyala-nyala menyebarkan bayangan api yang bergelombang.
Apa yang kau kerjakan—siang tadi?
Aku membaca.
Buku apa?
Edelweiss menyebutkan judul-judul yang dibacanya. Tapi sayang tidak ada dongeng.
Ada, kok.
Masa?
Ulfur memasuki pondok, lalu mengambil buku Rabindranath Tagore dan menunjukkan bagian yang menuturkan kisah kakek dan cucunya. Edelweiss segera membacanya dalam gelombang nyala unggun yang bergoyang-goyang tidak stabil, tapi langsung menyerah, sebab matanya sakit. Unggun padam sebelum larut. Tidak ada lampu di pondok, dan bulan sabit tidak cukup sebagai penerang. Tetapi di dalam terasa tenteram.
Sudah mengantuk?
Belum.
Belum? Bukankah—sekarang sudah larut?
Tadi sore aku ketiduran. Edelweiss tertawa kecil.
Oh. Kalau begitu—mau pergi ke suatu tempat?
Ke mana, Paman?
Nun jauh di puncak bukit, ada kunang-kunang yang berpendar dengan cahaya pusparona—bukan hanya hijau, melainkan juga merah, biru, kuning, dan warna-warni lain. Di sana, berlimpah pula kupu-kupu yang sayapnya berpendar biru muda nan lembut.
Maukah kau melihatnya?
Mau!
Tanpa bicara sepatah pun, Ulfur berjalan menuju hutan gelap di seberang pondok, lalu melapisi dahan besar dengan getah dan menyulutnya. Ketika Ulfur datang dengan obor di tangan kanannya, hantu-hantu berhamburan. Beberapa malah berubah menjadi bola-bola cahaya yang pecah saat menyentuh api. Tetapi segera menyatu lagi, lalu mengerubungi Ulfur yang bergeming—menunggu Edelweiss di sempadan.
Malam tidak terlalu dingin. Redupnya rembulan membuat bintang-bintang di langit terlihat jelas. Edelweiss mengenakan mantel merahnya yang masih berbau rumput, lalu menutupi kepalanya dengan tudung.
Si—Tudung Merah.
Edelweiss terkikik, lalu menunjuk Ulfur dengan jemarinya. Seri—gala.
Cahaya obor menjadi satu-satunya cahaya dalam kelam malam.
Paman, apakah Paman tahu nama-nama rasi?
Ulfur memandang bintang-bintang yang berkedap-kedip lirih di angkasa. Tidak—sayangnya tidak.
Nenek suka bintang-bintang. Katanya, dia hapal nama-nama rasi dan letaknya. Tapi, di kota kami, kabut-kabut kelabu menutupi langit selalu.
Kabut—seperti yang ada di sini?
Bukan. Kabut asap, dimuntahkan cerobong-cerobong asap. Warnanya hitam-kelabu, tidak putih menyejukkan seperti di sini. Kota kami selalu berasap, udaranya kuning dan kering. Saat keluar rumah, kami harus mengenakan masker. Sebab, kalau tak sengaja terhisap, kita bisa batuk-batuk. Uhuk, uhuk. Baunya tidak enak, tapi karena setiap hari menghirupnya, aku sudah terbiasa, bahkan tidak menyadarinya. Tak ada cahaya yang mampu menyelinap, apalagi bintang-bintang dan dia dewi rembulan.
Pantas, kau tampak semingrah—saat melihat bintang-bintang. Saat memejamkan mata—rasanya aku dapat melihatnya—tarianmu itu.
Aku bahkan tak tahu bagaimana wujud bintang sampai melihatnya sendiri di rumah.
Bahkan—di buku?
Bahkan di buku. Aku sering membuka-buka buku yang isinya penuh gambar bintang, tapi ternyata aslinya sangat berbeda.
Pasti.
Pada suatu malam, aku melihat ribuan burung terbang meretas udara, lalu membelah mendung yang sepanjang waktu membuana. Sesaat, hanya sesaat, bulan mengintip malu-malu, memendarkan cahayanya yang berkilau perak. Aku benar-benar terpukau. Aku langsung jatuh cinta.
Aku—mengerti. Adakalanya—aku menghabiskan malam dengan memandang rembulan. Aku tak dapat tidur, tapi bulan tak membuatku jenuh—sama sekali.
Begitukah?
Benar.
Berada di sini, di pondok musim semi, dalam rimbun rimba, waktu seolah tak beranjak. Aku tak tahu lagi berapa lama waktu berlalu. Sebenarnya, apa itu waktu?
Itu pertanyaan retoris. Edelweiss tidak mengharapkan jawaban. Tetapi Ulfur berkata pelan, Waktu—adalah panas.
Panas?
Jika tidak ada panas—tidak ada waktu.
Panas, seperti api?