“JANGAAANNNN!!”
KRIINNNGGGGG ...
Alarm berbunyi pertanda pagi telah tiba. Sinar dari bintang biru Formalha yang baru saja terbit dari ufuk timur menyilaukan mata dari jendela. Alisa terbangun dari mimpi yang mengerikan itu, dan baru sadar bahwa ia tengah berada di kamar asrama.
“Oh, sudah pagi ya?” ucapnya sambil memandangi cermin dan mengusap matanya. Rambutnya terlihat acak-acakan.
“Sudah waktunya sekolah.”
Alisa bergegas untuk membersihkan diri lalu sarapan dengan menu yang telah disediakan pengelola asrama. Dengan mengenakan seragam berupa kemeja lengan pendek dan rok pendek berwarna putih bercorak abu-abu, ia pun bergegas ke sekolah.
Delapan tahun setelah peristiwa mengerikan itu, Alisa bersama anak-anak korban selamat lainnya dipindahkan ke Kartovik. Di sana mereka menjalani kehidupan yang baru, termasuk bersekolah. Alisa yang kini berusia 14 tahun bersekolah di SMA Khusus Wanita Kartovik, sebuah sekolah besar yang mampu menampung lebih dari seribu orang siswi.
Kelas dimulai pukul 8 pagi. Para siswi bergegas menuju gedung sekolah mereka yang berjarak sekitar 100 meter dari asrama. Dan seperti biasanya, Alisa yang masih trauma akibat peristiwa pada masa lalu itu berjalan sambil tertunduk lesu.
Saat sedang berjalan menuju kelas, seorang gadis lain menyahutnya dari belakang.
"ALISA!! SELAMAT PAGI!!”
Alisa menengok ke arah suara itu. Terlihat seorang gadis berambut pirang panjang yang sedikit lebih tua darinya. Ia berlari ke arah Alisa itu sambil melambaikan tangan kanannya.
“Oh, Frenska? Selamat pagi juga,” jawabnya dengan suara pelan.
“Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya gadis berambut pirang panjang itu. Dirinya selalu bertanya seperti itu hampir setiap pagi.
“Seperti biasa,” jawab Alisa sambil menunduk.
“Lah kau ini. Setiap aku tanya kabarmu pasti biasa biasa biasa terus. Tak ada jawaban lain apa?” kata Frenska.
“Memang kau ingin aku jawab apa?” tanya Alisa balik.
“Ya, bagaimana gitu,” ujar temannya itu sambil menggaruk-garuk kepalanya. Rupanya ia juga masih bingung.
“Hehe ...” Alisa sedikit tertawa dengan senyuman tipis.
Gadis enerjik bernama Frenska Albertovia itu lalu memberitahukan suatu informasi menarik padanya.
“Oh iya, Alisa. Mulai hari ini aku akan pindah sekamar denganmu ya.”
“Loh, kenapa?”
“Aku udah tak tahan sama Gisella. Dia selalu bawa rivalnya Griselia ke kamarku dan ribut terus sambil main perang bantal. Akhirnya aku mengajukan untuk pindah dari kamarnya. Eh, Kak Novi malah memasukanku di kamarmu. Boleh 'kan?”
“Oh, tidak masalah kok. Justru aku senang kau pindah ke kamarku. Aku jadi ada teman, hehe ...” cakap Alisa sambil tersenyum.
KRIINNGGGG
Bel sekolah berbunyi pertanda kegiatan belajar mengajar dimulai. Sebuah ruangan kelas menyerupai ruang media yang cukup besar menjadi tempat bagi para siswi untuk belajar. Alisa sendiri duduk di sebelah kanan baris ketiga dari belakang, tepatnya di antara kedua teman di sampingnya. Mereka duduk di meja yang panjang itu.
Kelas pagi pun dimulai. Seorang pengajar wanita yang terlihat cukup tua memimpin jalannya kegiatan belajar mengajar di kelas ini.
“Baiklah anak-anak. Kita kembali membahas materi yang kemarin,” kata sang guru.
Para siswi menyimak dan mencatat apa yang disampaikan oleh wanita itu, termasuk juga Alisa yang menggunakan sebuah pulpen biru. Ia pun mulai menulis sejumlah materi yang disampaikan olehnya.
Sambil mencatat poin-poin penting yang diucapkan oleh wanita itu, Alisa memandangi sebuah benda yang ada di jari tengah tangan kanannya. Benda itu menyerupai cincin batu akik berwarna merah, namun takkan pernah bisa dilepaskan seumur hidupnya.
Itu bukan sembarang cincin, melainkan benda ajaib yang memberikan kekuatan baginya untuk menggunakan ilmu sihir. Orang-orang di planet ini menyebutnya sebagai permata Angke.
“Jadi, sudah lebih dari setahun aku dirapalkan jadi gadis penyihir ya?” gumam Alisa dalam hati.
Tak terasa waktu istirahat pun tiba. Namun hari ini ia tak mengajak temannya yang berambut pirang itu. Berbagai menu masakan lezat tersedia di tempat ini, namun Alisa hanya ingin menikmati semangkuk sop saja dengan air mineral biasa seharga 7 Dim atau koin perak.
Tak lama berselang, ia pun bergegas kembali ke kelas tanpa bersenda gurau terlebih dahulu dengan siswi lainnya di sana. Namun sayangnya tepat di taman sekolah dirinya menabrak siswi lainnya karena tak melihat ke depan. Alisa pun terjatuh.
“Hei, kalau jalan pakai mata ya!!” bentak gadis yang ditabraknya itu. Ia adalah siswi berambut panjang berwarna emas.
“Ma-maaf ...”
“Eh tunggu. Kau Alisa dari kelas 2-F 'kan?” tanya gadis itu setelah menyadari sesuatu.
“Eh, anu, kak ...” Alisa terbata-bata menjawabnya.
Melihat hal tersebut, siswi yang ditabraknya itu memanfaatkan kesempatan.
“Berani sekali kau menabrakku seperti itu. Oh iya, kenapa kau ke sini? Ini 'kan daerah terlarang bagi junior sepertimu.”
Teman-teman siswi senior tersebut menertawakan peristiwa itu di belakangnya.