Salim Wijaya, ayahnya, di Pasar Lama dikenal sebagai seorang taipan, saudagar Cina Benteng yang telah tinggal beberapa generasi di dekat muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.
Ibu dan ayah Liem berdarah campuran-amalgamasi, perkawinan Cina Benteng dengan pribumi. Itulah mengapa Yueyin dan juga Salim tidak lagi seperti orang Cina umumnya; berkulit sedikit gelap, bukan putih cemerlang, dan tidak bermata sipit.
Beberapa generasi sejak kedatangan mereka dari daratan China, dari beragam etnik yang di negerinya sendiri mereka menyebut tanah airnya sebagai Zhongguo-Chungkuo atau Tiongkok, mereka berlayar dengan perahu tongkang hingga berbulan-bulan lamanya dan akhirnya menjejak Tanah Jawa.
Mereka berbaur dan mendapat sebutan sebagai Wong Cino, Tiang Cinten, dan hidup menjadi pedagang-pedagang ulet yang berhasil menguasai pasar-pasar milik pribumi. Mereka tidak hanya melihat dirinya sebagai bagian dari totalitas.
Sebagai pendatang baru di tempat yang sama sekali asing dan sering kali tidak “diterima” oleh penduduk setempat, maka orang Cina harus bisa cepat menyesuaikan diri.
Mereka memakai filosofi mei fazi, biasa mereka menyebutnya dengan, “apa boleh buat, habis mau bagaimana lagi.” Itu akan membantu mereka berkompromi agar bisa mengalah dengan keadaan sebagai cara mereka bertahan.
Yueyin juga pernah bercerita kepada Mei bahwa dulunya ia adalah gadis yang menarik di kota kecil Teluk Naga itu. Berapa banyak laki-laki yang ingin mempersuntingnya, selalu saja ditolaknya.
Padahal ia telah cukup umur, berpostur tinggi, dengan kulit putih sedikit kecokelatan yang lembut, dan badannya sintal padat. Tentu saja menjadi daya tarik bagi banyak laki-laki di kota kecil itu, meskipun ia bukan kembangnya. Takdir Yueyin tetap memilih Salim, meskipun ketika itu belum sekaya sekarang.
Salim bersikeras memilihnya meskipun kakak-kakaknya sejak awal selalu menentangnya, dan membawa Yueyin menghindar jauh ke ibu kota.
Tinggal di pinggiran, sebelum akhirnya bisa memiliki rumah dan toko sendiri di bilangan wilayah bisnis Jakarta, tempat uang bergerak dinamis menunggu para pemburunya. Meskipun di sana juga malapetaka ini kemudian bermula.
Ketika Yueyin menceritakan kisah itu, Mei duduk tepat di depan ibunya, dengan tangan bertumpu di sandaran kursi, membungkuk bertumpu pada kedua lututnya. Wajahnya memandang ibunya yang begitu bersemangat.
Ibunya selalu berwajah gembira jika menceritakan masa-masa indah, dan melupakan betapa kesedihannya begitu mendalam mengingat perlakuan Salim. Satu-satunya lelaki yang dipilihnya, tapi justru menyakitinya dengan begitu rupa.
“Bagaimana cara Ibu menolak semua yang melamar?” Wajah Mei dipenuhi rasa penasaran.
“Gampang saja, aku bilang sudah ada ayahmu yang melamar! Kau tahu bagaimana kecewanya mereka?” Yueyin tergelak puas membayangkan kelucuan itu.
“Muka mereka langsung masam, dan mendesakku menunjukkan bukti jika memang ada yang melamar. Karena menurut mereka selama janur kuning belum melengkung, maka mereka masih merasa punya peluang memperebutkanku. Jadi, aku tunjukkan saja cincin pengantin nenekmu di jari manisku, dan satu per satu laki-laki itu langsung kabur.” Kali ini keduanya tertawa lepas, sejenak melupakan hidup yang pahit. Rumah seperti berwarna dalam ledak suara tawa mereka.
***
Rumah kayu di pinggiran gunung yang mereka tinggali sekarang dibangun oleh para tukang suruhan Salim dan hanya selesai dalam seminggu.
Ruangan rumah kecil itu berisi dua buah tempat tidur yang ditutupi gorden tebal, dengan pintu bilah papan tanpa cat berwarna kuning pernis dengan garis-garis lingkaran pohon yang terang menutup sisi-sisinya. Di ruang tengah diletakkan sebuah meja bulat dengan kaki berwujud naga, dikelilingi dudukan bantal-bantal. Sebuah lemari kecil tempat gelas-gelas keramik peninggalan orang tua Yueyin dibiarkan seperti pajangan, karena jarang mereka pakai, bercampur dengan tumpukan pakaian di rak bagian tengah dan bawahnya.
Beberapa buah jendela berterali yang bertirai vitrase putih dan sebuah dapur bersih di sudut rumah. Perabot itu semua pilihan Yueyin dari rumah lama keluarganya, karena ia tidak mau rumah kecil itu dipenuhi barang pemberian Salim.
Dapur lain berada di sisi luar sebelah kiri rumah. Yueyin lebih senang memasak di luar pada siang hari, dan membawa masuk seluruh masakan dan meletakkannya di dapur bersih.
Kecuali hanya ketika ia memasak di malam hari, memasak camilan dan kue, tapi itu juga jarang dilakukannya. Ia tidak mau rumah mungil itu menjadi terlihat kotor berjelaga, apalagi atap rumah itu tidak terlalu tinggi di ruang dapur, dan setiap kali asap keluar dari tungku akan melintasi jendela, membuat beberapa bagian jendela menghitam dan kusam.