Mestinya aku tidak boleh mengatakan ini, karena di balik kecantikan ibuku, ia menyimpan banyak sifat buruk yang sering dipertontonkan kepadaku. Ketika dewasa, aku menyadari itu bagian dari tekanan yang tidak bisa dilepaskan dari batinnya yang tersiksa. Bagaimanapun, Yueyin, ibuku, sudah mengalami banyak penderitaan, rasa sakit, penghinaan, kekerasan, dan pelecehan yang tak pernah bisa diterimanya begitu saja.
Mungkin ia hanya ingin menunjukkan padaku bahwa ia kuat dan bahwa laki-laki pilihannya ternyata sama sekali tidak punya harga diri, mau diinjak-injak keluarganya, dan tidak bisa mengambil keputusan. Begitupun, Yueyin juga mungkin akan bilang jika ia tidak pernah menyerah, sekalipun harus terbuang.
Aku ingat bagaimana ia bereaksi jika Salim datang mengunjungiku saat tengah bulan dan akhir bulan di hari Sabtu pagi. Ia akan bersungut-sungut, mondar-mandir di depan rumah, mengawasiku dari kejauhan ketika sedang menemui ayahku dengan gelisah seperti para ayah yang mondar-mandir ketika menunggu kelahiran anak pertamanya.
Apalagi jika melihatku tertawa-tawa, ia seperti iri dan sesekali berteriak memintaku tidak berlama-lama dengan alasan cuaca dingin, padahal cuma berhembus angin pagi gunung seperti biasa.
Yueyin kemudian akan kembali duduk di kursi mahoni di depan rumah, mengawasi sambil melamun. Matanya tertumbuk pada ilalang di jalan setapak. Dan jika aku kembali dengan membawa barang-barang pemberian ayahku yang kutunjukkan padanya, ibuku akan mengejekku.
“Baik sekali ayahmu, mau pergi jauh-jauh ke kota lain cuma untuk membelikanmu kalung imitasi. Mengapa ia tak menyuruh orang saja,” kata Yueyin mengolok-olok.
“Kata Ayah, cuma kebetulan waktu menemukan toko penjual kalung. Kalau Ibu mau, ambillah. Lain kali aku bisa memintanya lagi.”
Yueyin langsung mencibir, meskipun ia juga penasaran melirik ke arah kalung yang sekarang melingkar di leherku.
“Cantik juga,” katanya mengomentari, setengah bergumam, suaranya tidak jelas.
“Maksudku, kau kelihatan cantik dengan kalung itu.”
Pernah suatu kali Salim tidak bisa berkunjung, sehingga ia menyuruh dua saudara jauhnya mengantar barang ke rumah. Aku langsung menemui mereka sekalian menanyakan kabar ayahku.
“Kau tahu, Mei, mengapa ayahmu menyuruh saudara-saudaranya mengantar barang? Ia tak mau aibnya diketahui orang lain, biar di antara mereka saja ‘bau bangkai’ itu tercium. Ia mau menunjukkan jika ia tetaplah orang baik menurutmu, agar kau tak pernah curiga bagaimana jahatnya ayahmu yang sebenarnya.”
Tapi aku tidak mau memprotesnya, membiarkan ibuku terus mengomel. Ketika seluruh pesanan barang telah diambil, ibuku bahkan meminta mereka segera pulang atau ia akan berubah pikiran dan meradang.
Ibuku bilang, mengapa bersusah payah menyuruh saudaranya sendiri dan tidak mengupah orang saja. “Ternyata ayahmu tetap tak berubah, tak punya harga diri, tak punya pendirian!” sungut Yueyin dengan amarah yang berkobar.
***