PERJALANAN TERAKHIR My Last Journey

Hans Wysiwyg
Chapter #6

Ayah Kesayanganmu Datang!-My Last Journey

Yueyin sudah tahu mengapa setiap hari Jumat, pagi-pagi sekali Mei bangun lebih cepat dari hari biasanya, apalagi kalau bukan menyiapkan pertemuan dengan ayah kesayangannya.

Esok adalah hari Sabtu minggu kedua April, jadi hari ini Melani berkemas membereskan semua pekerjaan rumah sejak pagi. Meski dihinggapi perasaan tidak senang, Yueyin juga tidak pernah macam-macam di hadapan Salim. Ia juga tidak menunjukkan sikap bermusuhannya secara langsung dengan Mei, putrinya. Ia akan bersikap lebih lunak, tidak seperti biasanya.

Karena sebenarnya, Salim juga tak sepenuhnya salah menurut Yueyin. Kecuali sifat penurutnya yang tidak pernah bisa menolak keputusan keluarganya, dan menjadi pangkal masalahnya sekarang ini. Membuat hidup istrinya terasing dan terbuang. Perasaan itu terus dipendamnya, seperti sesuatu yang asing yang terus bergejolak di dalam dirinya, tapi tidak hendak dibuangnya, karena menurutnya ia pernah begitu berharga buatnya.

Yueyin akan berusaha tampil rapi jika Salim datang, mengganti piyama dengan baju terusan dengan celana panjang di dalamnya. Sedikit berhias agar kulit putihnya yang agak kecokelatan karena terbakar matahari pegunungan tidak terlihat kusam. Meskipun tanpa riasan, wajah Yueyin masih menyisakan daya tarik masa lalunya. Garis-garis hidung dan bibirnya menurun pada Melani. Menyisakan garis-garis wajah oriental yang menawan, tersembunyi samar.

Menunggu hari Sabtu menjadi saat yang paling ditunggu Mei. Mei paling senang jika ada tamu yang berkunjung ke rumahnya, apalagi ayah kesayangannya itu. Ia akan bersuka cita, membantu Yueyin menyiapkan teh dan manisan labu yang dibuatnya bersama ibunya.

Tapi hanya beberapa tamu yang selalu dilayani Yueyin dengan baik, Salim dan hanya dua saudara tuanya, Ko Halim dan Bibi Xia, selainnya tidak. Sebagian orang di kampung juga tahu bagaimana ketusnya Yueyin, jadi mereka akan memilih menghindar daripada berurusan dengan ibunya Mei itu, yang cenderung akan diam seribu bahasa jika bertemu orang asing, dan akan bertingkah aneh dan ketus jika diajak bicara.

Jika saatnya Salim berkunjung, Yueyin kadang-kadang sengaja mengajak Mei memanen labu untuk dibuat dodol atau manisan dan membuat kue-kue di malam hari dengan alasan hanya untuk membuat stok makanan kecil di rumah, tidak mau berterus terang jika suguhan itu untuk menyambut Salim. Mei pernah menanyakannya sekali waktu, mengapa ia selalu membuat manisan labu dan kue-kue mochi manis berbahan tepung beras yang berbentuk kenyal.

Meskipun Yueyin tidak pernah menjawab pertanyaan itu dengan jujur, Mei tahu jika Salim, ayahnya, sangat menyukai manisan labu dan kue mochi buatan Yueyin, ibunya. Setiap kali mochi disuguhkan, selalu saja tandas. Salim selalu berusaha membuat-buat alasan karena tengah dirundung lapar. Tapi Yueyin menikmati kesenangan kecil itu sebagai sebuah bagian dari masa lalu.

Dulu, sewaktu mereka tinggal di Jakarta, hari Minggu menjadi waktu spesial bagi Yueyin membuat mochi. Kue manis itu, setelah dikukus, diisi dengan parutan cokelat, parutan keju, dan digulirkan di wijen serta tepung beras yang disangrai. Harum wijen tercium semerbak di antara bubuk tepung beras sangrai yang lembut.

Namun takdir membalik keadaan, memberikan pilihan yang tidak bisa ditolak Yueyin, dan keduanya sama-sama buruk. Hidup terasing di penjara sebagai mayat hidup yang disembunyikan oleh keluarga besar suaminya, dan ketiadaan pilihan untuk bisa bertahan hidup karena selama ini hanya dengan status itu ia berkeinginan bertahan seolah bergantung pada Salim, suami yang sekarang ini hanya menjadi suami bayangannya, yang bahkan tidak bisa disentuhnya, karena ia sendiri menolak menyentuhnya.

Salim pasti memikirkan risiko untung-rugi bisnisnya yang tidak boleh rusak karena “aib” kejadian Mei 1998 yang menimpa Yueyin, istrinya itu, terutama sikap keras keluarga besarnya, para istri baru yang masuk dalam kehidupannya yang disorong oleh ibunya sebagai barter kepentingan bisnis agar semakin menggurita.

Bukan sesuatu yang asing dalam kehidupan para taipan pedagang besar bisa memiliki beberapa perempuan sebagai istri sahnya, dan seringkali itu selalu berkaitan bukan hanya urusan cinta, tapi juga sangkut paut dengan bisnis.

Tidak siapapun mau menjadi korban seperti halnya Yueyin. Itu sebuah takdir. Hanya saja, Salim tidak mau berurusan dengan masalah itu berlarut-larut. Keluarga besarnya memaksanya mengorbankan istri yang telah menjadi korban kerusuhan dan tengah mengandung anak dari para pelaku kerusuhan dan penjarahan yang menyerangnya.

Tapi Salim berusaha sebisanya bertanggung jawab, termasuk dengan cara sembunyi-sembunyi dan kucing-kucingan dengan keluarga besarnya, terutama para istri baru yang sama sekali tidak mau kompromi. Dengan caranya, Salim mencukupi semua kebutuhan Mei dan Yueyin, kecuali satu hal, kehadirannya di antara mereka setiap saat.

Ia menyempatkan hanya berkunjung setiap Sabtu, selama beberapa jam, tak sampai bermalam. Salim bahkan menolak untuk sekadar mencoba memenuhi permintaan Mei untuk tinggal meski hanya semalam.

Bagi keturunan China Benteng yang telah berbaur dengan masyarakat asli, sebagian dari mereka bahkan berada di garis kemiskinan. Berbeda dengan warga keturunan China kebanyakan, Salim adalah sedikit dari generasi mereka yang tidak hanya mampu bertahan, tapi juga memiliki kelimpahan kekayaan. Menjadi bagian dari sepuluh persen yang berhasil menjadi kaya dan makmur dari hasil niaga yang mereka lakukan.

***

Dan Sabtu ini, pagi sekali Mei sudah berdiri di depan pintu rumahnya, sambil sesekali menepis luruhan bunga flamboyan yang memenuhi teras batu itu dengan kaki putihnya yang jenjang telanjang. Melayangkan pandangan ke jalan setapak yang dipenuhi ilalang setinggi pinggang yang menjulur hingga ke bibir sungai. Ilalang akan bergerak serentak seperti ombak ketika angin berhembus kencang.

Tatapan Mei tidak bisa lepas memandangi ujung jalan setapak itu, hingga akhirnya muncul seorang laki-laki dengan baju cokelat terakota, dengan topi dan celana hitam. Dari jauh, Salim sudah melambai-lambaikan tangannya. Yueyin juga berseru kepada Mei, “Tuh, ayah kesayanganmu datang. Bergegaslah,” kata Yueyin, antara menggoda dan mencibir sinis.

Tapi Mei tahu, perintah itu bukan sebuah perintah dari hati ibunya. Ia tahu bagaimana Yueyin bersikap jika tidak berada di depan Salim. Bagi Yueyin, tidak ada apa pun dari Salim yang bisa dianggap baik jika tidak berhadapan langsung; semuanya buruk. Jadi, Mei tahu bagaimana harus memahami perintah ibunya.

Ia menahan diri untuk tetap tidak beranjak dari halaman, meski hatinya yang tadi cemas karena takut Salim datang terlambat membuat Mei ingin berlari melompat, melonjak menyambut ayah kesayangannya itu. Namun, ia juga tidak mau Yueyin terluka.

Mei menunggu ayahnya mendekat, hingga senyumnya terlihat jelas, dengan gigi-gigi putihnya yang menawan. Ketika ayahnya merentangkan tangannya dan merunduk, barulah Mei berlari menyambutnya. Ia memeluk ayahnya, yang langsung mengangkatnya dan tertawa-tawa, membawanya ke depan teras rumah yang telah tersedia suguhan teh, manisan labu, dan kecimpring.

Dulu, ketika Mei kecil, ayahnya akan melemparkannya ke udara. Mei terkesiap karena sejenak melayang, dan di bawahnya menunggu ayahnya dengan tangan terjulur menangkap dan memeluknya. Sesekali diputar, Mei bisa melihat hamparan gunung, ngarai, hutan berputar, dan merasakan ujung-ujung kakinya menyentuh bunga-bunga ilalang seputih kapas yang lembut.

Mei tetap duduk di kursi dekat ayahnya, sementara Yueyin hanya menunduk di hadapan Salim. Tapi ia mencuri-curi pandang untuk melihat bagaimana reaksi Mei terhadapnya.

Kadang-kadang sikap itu membuat Mei canggung. Apakah harus bersukacita di balik penolakan Yueyin atas keberadaan ayahnya? Namun, Mei juga bisa melihat pipi ibunya merona jika Salim menceritakan hal-hal lucu yang membuat Mei tergelak. Tapi semua itu hanya sesaat sebelum Yueyin kembali memasang muka cemburunya kepada Mei di pangkuan Salim.

Lihat selengkapnya